Search This Blog

Wednesday, December 03, 2014

"Saya melakukan yang terbaik yang saya tahu, yang terbaik yang saya bisa, dan saya akan terus melakukannya sampai pada akhirnya." (Abraham Lincoln)

1. "Saya melakukan yang terbaik yang saya tahu, yang terbaik yang saya bisa, dan saya akan terus melakukannya sampai pada akhirnya." (Abraham Lincoln)

2. "Saya berkali-kali mengalami kegagalan dalam hidup. Itulah sebabnya saya bisa seperti sekarang ini." (Michael Jordan)

3. "Jika segala sesuatu tampak menjadi kacau, jangan ikut bingung." (Roger Babson)

4. "Orang-orang yang terjerumus ke dalam masalah adalah mereka yang senantiasa membawa masa lalu." (John F. Welch Jr.)

5. "Anda dapat kaya lebih cepat jika bekerja lebih keras, lebih cerdik, lebih bertanggung jawab, dan lebih berhati-hati." (Erich Watson)

6. "@ao_Buddha: Saat kematian, kita meninggalkan apa yang kita anggap sebagai milik kita."

7. "Saya belum pernah melihat orang meninggal karena terlalu banyak bekerja, tapi banyak yang karena ragu." (Charles Mayo)

8. "@Crazy_Golfer: "No matter how well you perform, there's always somebody of intelligent opinion who thinks it's lousy." - Sir Laurence Olivier"

9. "Saya ingin menyelesaikan tugas yang besar dan mulia, tetapi tugas saya yang utama adalah menyelesaikan tugas-tugas kecil seolah-olah itu adalah tugas yang besar dan mulia." (Helen Keller)

Dari berbagai sumber.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Monday, November 24, 2014

Merenungi Epistemologi Bencana (Eko Yulianto)

MESKI tak menyebabkan jatuhnya korban jiwa, gempa kuat dengan skala magnitudo 7,3 di Laut Maluku Utara pada 15 September 2014 kembali mengejutkan masyarakat.
Media cetak, media elektronik, dan media sosial nasional berlomba-lomba memuat penjelasan para ahli dan para birokrat penanggulangan bencana tentang mengapa gempa ini bisa terjadi. Pola ini selalu terulang dalam setiap kejadian bencana. Meski mungkin menarik dari sudut pandang keilmuan, penjelasan para ahli itu justru lebih sering melahirkan ketakutan generik di masyarakat. Ini karena penjelasan-penjelasan itu sering menyebutkan secara tersamar ataupun terbuka bahwa wilayah Indonesia adalah rawan bencana. Posisi geografis dan geologis Indonesia dijadikan alasannya. Namun, apakah dengan posisi geografis dan geologis itu, bencana, khususnya yang selama ini disebut sebagai bencana alam, adalah sebuah keniscayaan di wilayah Indonesia?

Egoistik manusia
Sesungguhnya bencana bukanlah bencana alam atau bencana non-alam, atau bencana sosial seperti didefinisikan di dalam UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kalau ini anggapan kita dan yang kita ajarkan kepada masyarakat dan anak- anak kita, ibaratnya kita sedang mengajarkan kepada mereka untuk menyalahkan kodok saat terjatuh ketika sedang berjalan. Karena, perilaku alam bersifat netral. Anggapan baik dan buruknya muncul karena pandangan egoistik manusia. Alam dikodratkan bersifat pasif sehingga hanya bisa merespons. Alam ibarat sebuah cermin yang hanya bisa memantulkan apa yang dihadapkan kepadanya. Jika kebaikan yang kita hadapkan kepadanya, kebaikan pula yang akan kita terima. Keburukan yang kita sodorkan kepadanya, keburukan pula yang kita dapatkan.

Gunung meletus, gempa bumi, longsor, banjir, tsunami, dan angin puting beliung sudah ada sejak ada bumi, jauh sebelum kehadiran manusia. Semua itu termasuk kodrat yang telah ditetapkan bagi bumi. Ada atau tidak ada manusia, bumi tetap akan berperilaku sesuai kodratnya itu. Gunung-gunungnya tetap akan meletus, gempa-gempanya tetap akan terjadi, tsunaminya tetap berulang kali melanda daratan, longsornya tetap menyambangi lereng-lereng terjal, hujan-hujan derasnya setia mengguyur wilayah-wilayah tropisnya, angin puting beliungnya akan berulang kali mengunjungi. Karena, itu semua adalah "napas bumi", bukti bahwa bumi ini hidup.

Sebagai gambaran nyata, tsunami Aceh pada 26 Desember 2004, yang merenggut ratusan ribu nyawa manusia, bukanlah yang pertama kali terjadi. Hasil penelitian geologi terkini memberikan bukti bahwa tsunami serupa pernah terjadi di tempat yang sama sekitar 550, 1.700, dan 2.400 tahun yang lalu.

Seandainya penelitian geologi dilakukan untuk rentang waktu yang lebih panjang, mungkin kita akan mendapatkan bukti untuk ratusan tsunami serupa yang terjadi dalam rentang waktu ribuan, ratusan ribu, atau jutaan tahun yang lalu. Yang membedakan tsunami 2004 dengan tsunami-tsunami sebelumnya adalah tsunami sebelumnya tidak mengakibatkan bencana. Karena sangat sedikit manusia atau tidak ada manusia sama sekali yang tinggal di dataran pantai saat tsunami-tsunami itu terjadi.

Gempa, bahkan dengan magnitudo terbesar sekali pun, tidak ada dan tidak akan mengakibatkan kematian. Yang menyebabkan kematian adalah robohnya bangunan, terjadinya tanah longsor, kebakaran, atau hal lain akibat guncangan gempa. Jadi, kalau kita mampu membuat bangunan dan rumah yang tahan atau ramah gempa, niscaya kita tidak akan menjadi korban gempa akibat tertimpa rumah kita sendiri. Kalau kita tidak tinggal di dataran pantai yang rawan tsunami, tetapi di atas bukit di belakangnya, niscaya kita tak akan jadi korban tsunami. Kalau kita tak membangun rumah di lereng terjal, niscaya kita tak akan menjadi korban tanah longsor. Kalau kita tidak menebangi hutan secara membabi buta, tidak tinggal di bantaran sungai, dan tidak membuang sampah di sungai, niscaya kita tidak akan kebanjiran. Kalau kita berlaku baik dan sewajarnya kepada semua orang tanpa pandang bulu, niscaya tidak akan ada kerusuhan sosial.

Pada sisi lain, mekanisme yang menghasilkan gempa-gempa inilah yang mengangkat daratan Indonesia dari dasar lautan sejak jutaan tahun lalu, membentuk pulau-pulau, bukit, dan gunung dengan segala keindahan di dalamnya. Gempa-gempa itu pula yang retakan-retakannya menjadi ruang-ruang yang saat ini ditempati oleh minyak bumi, emas, perak, tembaga, dan berbagai bahan tambang yang lain.

Gunung meletuslah yang membuat tanah-tanah menjadi subur dan air tersimpan melimpah di dalam tanahnya. Longsor dan banjirlah yang menghamparkan sedimen dan membentuk tanah-tanah datar yang subur dan nyaman ditinggali. Curah hujan yang sangat tinggilah yang menghidupkan tumbuhan setelah matinya dan menghidupi semua makhluk lainnya. Lalu, adilkah kalau kita menyalahkan perilaku-perilaku bumi sebagai penyebab terjadi bencana?

Membangkitkan kesadaran
Maka, jika kita tidak menghendaki gempa, gunung meletus, longsor, dan banjir itu karena menuduhnya sebagai biang keladi semua bencana yang terjadi selama ini, adilnya kita mesti menolak anugerah minyak, segala bahan tambang, kesuburan tanah, melimpahnya air, serta kekayaan flora dan fauna yang ada di bumi Indonesia saat ini.  Kalau hingga saat ini gempa, tsunami, tanah longsor, banjir, musim kemarau panjang, angin puting beliung, kebakaran, kerusuhan sosial, dan kegagalan teknologi masih menyebabkan banyak kerugian dan korban, semua itu terjadi karena perilaku kita. Ini berarti masih banyak perilaku kita yang harus diperbaiki. Selama perilaku kita masih belum baik kepada alam sekitar dan kepada sesama kita, niscaya bencana-bencana masih akan terus terjadi.

Banyak dari kita yang bahkan "menyalahkan" Tuhan ketika bencana menimpa. Katanya, Tuhan sedang murka atau sedang menghukum karena perilaku buruk kita. Namun, bukankah kasih sayang-Nya jauh mendahului murka-Nya? Dia jadikan bencana itu pantulan cermin atas perilaku kita. Ia jadikan bencana itu jalan untuk membangkitkan kesadaran kita untuk segera mengubah perilaku buruk kita menjadi perilaku baik. Karena itu, cermin tersebut masih akan terus disodorkan oleh-Nya sepanjang perilaku kita kepada diri kita sendiri, lingkungan, dan sesama manusia masih buruk. Dia menginginkan manusia bisa hidup nyaman di bumi yang sejak semula diciptakan dipenuhi-Nya dengan berbagai keindahan.

Jadi, untuk bagian bumi yang saat ini disebut sebagai wilayah Indonesia, kejadian gempa, tsunami, letusan gunung api, banjir, dan tanah longsor adalah sebuah keniscayaan. Karena, begitulah kodrat bagi bumi tempat kita tinggal ini telah ditetapkan oleh-Nya. Semua fenomena itu adalah tanda-tanda bahwa "bumi kita hidup". Namun, bahwa kejadian-kejadian itu akan mengakibatkan bencana bagi kita, barulah sebatas kemungkinan.

Sebagai sebuah perenungan, dapatlah disampaikan bahwa bencana sesungguhnya adalah jalan Tuhan untuk membangkitkan kesadaran. Adalah tangan yang membuat seorang anak mampu merangkak dari semula duduk, lalu berdiri, berjalan tertatih dan kemudian sempurna, lalu berlari. Inti dari bencana bukanlah kerugian, kehilangan, kesakitan, kepedihan, atau penderitaan. Ia adalah sebuah cermin besar yang disediakan. Ia mestinya membangkitkan kesadaran tentang masih banyaknya noda yang mengotori wajah-wajah peradaban kita.

Eko Yulianto
Peneliti Paleotsunami dan Kebencanaan LIPI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010209694

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Monday, November 10, 2014

Pengertian Kafir (perspektif Kristiani)

Kafir - pagans - Terjemahan kata Latin 'paganus' yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang tinggal di desa-desa pelosok dalam kekaisaran Romawi. Mereka ini menerima pewartaan Injil dan kemudian menjadi Kristiani sesudah orang-orang kota. Dalam Perjanjian Lama (PL) dipakai kata 'goyim' (Ibrani: bangsa-bangsa) untuk menyebut orang-orang yang tidak mengenal Allah yang benar (Ul 7:1; Mzm 147:20). PL menolak penyembahan berhala yang dilakukan oleh orang-orang ini, sekaligus menyatakan bahwa karya penyelamatan Allah juga menyangkut orang-orang ini (Yes 2:1-4; 49:6; 60:1-3; Am 9:7, Yun). Abraham dipanggil untuk menyampaikan berkat ilahi kepada seluruh umat manusia (Kej 12:1-3). PL juga memperkenalkan tokoh-tokoh "kafir" yang suci seperti Melkisedek, Ratu Syeba, Ayub, dan Ruth. Santo Paulus menyatakan bahwa Allah berkenan membenarkan baik orang Yahudi maupun bangsa-bangsa lain (Rm 3:29; 9:24; 15:8-12; lih. Luk 2:29-32). Penganut agama-agama lain sering kali disebut "kafir" dalam arti yang tidak baik. Takhayul dan praktek-praktek keagamaan asli yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah menjadi Kristiani juga disebut kafir. Konsili Vatikan II menghindari penggunaan kata "orang kafir" dan lebih memilih istilah "bangsa-bangsal (Latin, gentes) yang masih perlu menerima pewartaan injil.

Sumber: Sumber: Gerard O'Collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ dalam Kamus Teologi, Kanisius: Yogyakarta 1996
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Definisi Agama

Agama

Religion - (Latin. 'diikat'). Pada dasarnya agama adalah sikap dasar manusia yang seharusnya kepada Allah, Pencipta, dan Penebusnya. Agama mengungkapkan diri dalam sembah dan bakti sepenuh hati kepada Allah yang mencintai manusia. Karl Barth (1886-1968) melawankan iman (yang didasarkan pada Sabda Allah dan tergantung pada rahmat ilahi) dengan 'agama' yang ia sebut melulu sebagai hasil usaha manusia yang tidak ada gunanya.

Agama-agama

Religion - sistem kepercayaan kepada Yang Ilahi dan tanggapan manusia kepada-Nya, termasuk kitab-kitab yang suci, ritus kultis, praktik etis para penganutnya. Orang-orang Kristiani pada umumnya dan orang-orang Katolik pada khususnya diharapkan dapat hidup dalam tegangan antara tugas evagelisasi dan dialog, yang masing-masing dikemukakan dalam Dekrit Ad Gentes (tentang kegiatan misioner Gereja) dan Nostra Aetate (tentang hubungan Gereja dengan agama-agama bukan kristiani) dari Konsili Vatikan II.

Agama-agama Dunia

World Religions - agama-agama besar yang disebut demikian karena usia, jumlah penganut, dan ajarannya. Setiap daftar mengenai agama-agama ini selalu dapat dipermasalahkan, namun sekurang-kurangnya dapa disebutkan: agama Kristiani, Yahudi, Islam, Budhisme, Hinduisme, dan Taoisme.

Sumber: Gerard O'Collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ dalam Kamus Teologi, Kanisius: Yogyakarta 1996
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Friday, November 07, 2014

Egoisme (Filsafat)

Pengertian

Egoisme adalag doktrin yang mengatakan bahwa semua tindakan seseorang terarah atau harus terarah kepada diri sendiri.

Pandangan Beberapa Filsuf

1. Hobbes membentangkan pandangan mengenai hakikat manusia. Baginya, tiap individu tidak dapat tidak mencari kepentingannya sendiri.

2. Giulio Clement Scotti dalam Satire "La Monarchie des Solipses", melukiskan masyarakat sebagai orang-orang yang mencari dirinya sendiri. Di sini kadang istilah "egois" dan "solipsis" dipakai bergantian.

3. Max Stirner memandang egoisme sebagai tujuan hidup.


Jenis Egoisme

Terdapat dua macam egoisme: egoisme etis dan egoisme psikologis. Egoisme etis adalah pandangan bahwa a) setiap pribadi hendaknya bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan kepentingannya sendiri; b) hedonisme etis egois: kesejahteraan tertinggi dalam hidup semestinya untuk memperoleh sebanyak-banyaknya kepuasan (kenikmatan, tujuan, hasrat, kebutuhan) bagi dirinya sendiri; c) eudemonisme etis egois: sukse dan kebahagiaan diri sendiri hendaknya menjadi nilai pertama dan terakhir dan semua nilai lainnya datang darinya.

Egoisme psikologis mengacu pada a) tesis bahwa semua individu pada kenyataannya sungguh-sungguh mencari kepentingannya sendiri pada setiap waktu; b) teori bahwa semua tindakan manusia, sadar atau tidak sadar, digerakkan oleh suatu hasrat akan kesejahteraan dan kepuasan diri sendiri; bahwa seseorang bertindak demi kepentingan orang lain, itu hanya tampaknya saja.

Berkaitan (tetapi tidak persis sama) dengan egoisme adalah egotisme (egotism). Yang disebut terakhir ini berarti a) kecongkakan diri yang menjijikkan, puji-diri berlebihan, mengagung-agungkan diri, dan b) hidup hanya demi pemuasan kepentingan, hasrat, kebutuhan sendiri dan cita rasa belaka.

Sumber: Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia, 2002
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Monday, November 03, 2014

Sikap Mental ”Orang Bersih” (Saifur Rohman)

PARA menteri yang diumumkan Presiden pada Minggu (26/10) didahului oleh isu penting tentang hadirnya "orang bersih".
Hal itu merupakan tindak lanjut dari hasil penelusuran institusional yang ditengarai mampu menentukan seseorang sebagai "bersih" dan "tidak bersih". Setelah pengumuman, Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan ada delapan orang dari 34 menteri memiliki label "kurang bersih" (Senin, 27/10). Institusi tersebut menyatakan nilai moral itu dengan cara memberi identitas merah, kuning, dan hijau. Merah berarti memiliki individu bermasalah, kuning berarti ada potensi memiliki masalah hukum, dan hijau berarti bersih dari masalah. Dengan begitu, menteri haruslah memiliki label "hijau" dari institusi yang dimaksud.

Moralitas versus hukum 
Atas dasar pengertian itu, "orang bersih" dapat dimengerti sebagai individu yang tidak memiliki kasus-kasus hukum. Lagi pula, cita-cita reformasi sebagaimana dituangkan dalam naskah perundang-undangan adalah hadirnya individu yang bebas dari praktik  korupsi, kolusi, dan nepotisme. Apabila "orang bersih" itu dimaknai orang yang bebas dari kasus hukum, bagaimana  kasus lain yang terkait dengan sikap mental mereka? Model sikap seperti apakah "orang-orang bersih" yang akan membantu Presiden selama lima tahun nanti?

Dalam pengalaman formal di masyarakat, rekam jejak individu ditentukan oleh institusi kepolisian. Polri mengeluarkan surat keterangan sebagai catatan kepolisian. Surat itulah yang kemudian disebut dengan "perilaku baik". Kendati demikian, surat keterangan itu bukanlah jaminan terhadap sikap mental yang dimiliki individu. Itulah kenapa dalam pencarian sumber daya manusia di sebuah perusahaan tak hanya dibutuhkan seseorang yang memiliki prestasi bagus, tetapi juga sikap mental yang tepat untuk posisi tertentu. Tak aneh jika korporat-korporat besar melakukan terobosan untuk mengetahui sikap mental calon pegawai melalui penelusuran terhadap media sosial yang dimiliki.

Logika ini berupaya untuk menyatakan bahwa Indonesia sebagai sebuah "perusahaan besar" dianggap telah memiliki sebuah mekanisme pendidikan untuk menghasilkan warga negara yang "bersih". Karena itu, dalam pola pikir pendidikan dikenal empat indikator keberhasilan pendidikan terhadap individu, yakni kemampuan spiritual, sosial, kognitif, dan psikomotorik. Dalam praktiknya sekarang, ukuran-ukuran yang dapat ditembus oleh institusi-institusi formal itu adalah kemampuan kognitif dan psikomotorik seorang pejabat.

Kebijakan-kebijakan sebelumnya dapat dinilai dengan variabel-variabel kinerja, sedangkan karya pejabat dilihat berdasarkan efek terhadap publik. Sementara kemampuan spiritual dan sosial tidak mendapatkan perhatian yang proporsional. Institusi formal tidak mampu menembus tingkat kesalehan seseorang kepada Tuhan dan kesantunan kepada orang lain.

Masalahnya, pencapaian pembelajaran dari individu tidak pernah diukur melalui penelusuran diskursif. Dalam teori-teori wacana ditunjukkan tentang cara menguak maksud-maksud terselubung yang tidak bisa ditembus dengan pemaknaan formal.

Untuk mengetahui keadaan sesungguhnya, Jurgen Habermas, filsuf Jerman, pernah membuktikan teknik pengujian melalui teknik kesungguhan dan kebenaran. Kesungguhan mengacu kesadaran seorang penutur melalui kalimat yang harus diulang dalam wacana dan kebenaran mengacu pada fakta-fakta yang memadai untuk mendukung wacana. Praktik pembelajaran individu yang praktis, empiris, dan pragmatis selama ini menjadi orientasi fundamental untuk menemukan aparat negara.

Sikap mental para menteri
Itulah kenapa kita tidak harus merasa aneh apabila melihat "orang bersih" ternyata memiliki perilaku tidak santun. Ditemukan bukti, seorang perempuan yang menjadi menteri sedang merokok ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan. Demikian pula tidak aneh apabila beberapa menteri yang baru dilantik ditemukan sedang duduk di emperan gedung Istana Presiden sambil mengisap rokok sehingga ditegur oleh Paspampres.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, kita bisa menganalisis wacana yang muncul setelah pelantikan. Alhasil, sebetulnya kita telah memperoleh gambaran tentang sikap mental para pembantu Presiden itu. Pertama, menteri yang tak sopan. Bukti, merokok dalam komunikasi formal jelas menimbulkan pertanyaan etis ketimbang pertimbangan efisiensi. Dalam pergaulan publik memerlukan sebuah etiket yang dipatuhi pejabat.

Seorang menteri yang tidak memahami etiket komunikasi akan berdampak terhadap perilaku publik. Orang-orang yang diduga memiliki sikap tidak etis memang tidak menjadi bagian dari ranah yuridis, tetapi tetaplah menjadi bagian dari ingatan kolektif yang buruk.

Kedua, menteri pragmatis. Pejabat ini akan mengedepankan tujuan-tujuan jelas yang harus dilalui dengan permainan yang aman. Manusia yang tak bermasalah bukan berarti bersih karena ia bisa jadi sangat mengerti teknik-teknik permainan dalam sistem birokrasi. Bukti, menteri yang berasal dari kalangan pebisnis sangat jelas bertindak pragmatis. Demikian pula munculnya dugaan kasus yang belum tuntas pada seorang menteri jelas ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kemampuan pribadi keluar dari jeratan hukum.

Ketiga, menteri yang politis. Pejabat jenis ini memiliki kepentingan golongan yang tak bisa dinafikan begitu saja. Bukti, lebih dari separuh Kabinet Kerja merupakan orang-orang yang mengabdikan diri dalam organisasi politik. Hal itu akan berimplikasi secara ideologis terhadap setiap kebijakan yang muncul pada masa yang akan datang. Sistem yang bersih tak selalu berkorelasi hadirnya orang bersih. Kasus-kasus yang muncul dari partai selama ini menunjukkan tentang ketidakmampuan sistem membentuk sikap mental individu secara internal. Pandangan psikologi klinis menunjukkan pentingnya mengetahui motif terselubung, kepentingan yang tak terlihat, hingga taktik permainan dalam mekanisme birokrasi.

Jadi, pernyataan tentang "orang-orang bersih" dari institusi tetaplah tak bisa lepas dari petuah leluhur tentang hukum "mendulang air tepercik ke muka sendiri". Mekanisme formal cukuplah menunjukkan catatan hukum yang tak bisa dianggap sebagai bagian catatan moralitas, etiket, bahkan sikap mental menteri lima tahun mendatang.

Saifur Rohman Pengajar di Program Doktor Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009808056
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Friday, October 31, 2014

Pengertian Indulgensi (Teologi)

Indulgences - pembebasan dari hukuman sementara yang disebabkan oleh dosa, yang sudah disesali dan diampuni. Penghapusan hukuman ini diberikan berkat jasa Kristus yang tanpa batas dan keikutsertaan orang-orang kudus dalam sengsara dan kemuliaanNya. Dalam sejarah Gereja zaman dulu, doa orang-orang yang menantikan kematian sebagai martir dapat mengurangi hukuman keras yang dijatuhkan kepada para pendosa yang bertobat. Pada abad keenam belas, penyalahgunaan pemberian indulgensi menyulut api reformasi. Hak untuk memberikan indulgensi pada dasarnya dipegang oleh Takhta Suci. Indulgensi penuh menghapuskan seluruh hukuman, sejau syarat-syarat untuk penerimaannya dipenuhi. Baik indulgensi sebagian maupun penuh dapat diberikan kepada orang-orang yang sudah meninggal di api penyucian. Dalam Apostolik Indulgentiarum Doctrina (1967), Paulus VI membatasi indulgensi penuh dan menekankan pentingya pertobatan pribadi dalam hati (Lih. DS 1467; KHK 929-997)


Sumber: Gerard O'Collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ dalam Kamus Teologi, Kanisius: Yogyakarta 1996
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Friday, October 10, 2014

Mencari Filsafat Indonesia: Pluralisme (Tommy F Awuyy

PADA  19-20 September lalu diadakan Simposium Internasional Filsafat Indonesia: "Mencari Sosok Filsafat Indonesia".
Sebuah peristiwa yang teramat penting, khususnya bagi sejarah filsafat di Indonesia dan tentu saja diharapkan bisa memberikan kontribusi besar bagi kemajuan kebudayaan dan pendidikan secara umum. Tema "Mencari Sosok Filsafat Indonesia" langsung menggelitik!

Kata 'mencari' dalam filsafat memiliki arti khusus, yakni energi dasar yang membuatnya bergeliat hidup. Adapun istilah 'sosok' dan 'filsafat Indonesia' bisa dibaca sebagai dua istilah yang merangsang masalah; 'sosok' mengacu pada manusia-personal dan 'filsafat Indonesia' sebagai sebuah frase yang mengacu pada sistem produk konvensi yang nonpersonal. Bagaimana kedua istilah ini bisa berpadu?

Apakah Indonesia belum punya sistem filsafat dalam pengertian tunggal-akademis? Belum memiliki argumen-argumen dasar bagi berdirinya sebuah sistem pemikiran selayaknya filsafat sistematik dengan pilar-pilarnya seperti "ontologi/metafisika", "epistemologi", dan "aksiologi"? Tema "Mencari Sosok Filsafat Indonesia" tak lain bertujuan menjawab pertanyaan di atas.

Filsafat sistematik-akademis jelas bukan produk bangsa kita. Bahkan, sebagai bangsa pun kita masih asing dengan sebutan filsafat sistematik-akademis itu. Kita hanya dekat dengan turunannya bernama ilmu pengetahuan. Tak akan terdengar demikian signifikannya oleh bangsa ini bahwa sebuah negara bangkit jadi besar karena filsafatnya.

Sejarah filsafat
Filsafat sistematik-akademik adalah produk bangsa Yunani Kuno. Model atau paradigma institusinya, perguruan tinggi, didirikan Plato lalu diikuti muridnya, Aristoteles (Academy dan Lyceum). Tak pelak, siapa pun yang mempelajari filsafat menjadi suatu keniscayaan haruslah terlebih dulu mempelajari filsafat Yunani Kuno. Sebab, dari sanalah fondasi filsafat sistematik itu kita peroleh.

Apakah dengan demikian apabila kita mempelajari filsafat maka artinya kita hanya mengikuti filsafat Yunani Kuno? Jelas tidak! Filsafat merupakan disiplin berpikir yang sangat terbuka dan terutama bertolak dari soal-soal keseharian dari mana kita berada. Berpikir terbuka mengisyaratkan melihat ke berbagai arah, seluas-luasnya, dengan kemungkinan berhenti sejenak pada horizon tertentu, lalu bergerak lagi. Berpikir terbuka adalah pengembaraan yang sangat menantang, indah, dan abadi.

Filsafat tidaklah muncul dalam ruang tunggal dan monoton. Awal munculnya Filsafat Yunani Kuno bernapaskan pertemuan berbagai kebudayaan atau transgeografi. Sejarah filsafat Yunani biasanya dibagi tiga periode: pra-Sokrates, Sokrates, dan post-Sokrates. Para filsuf pra-Sokrates, pendiri, seperti Pherecydes, Anaximandros, Anaximenes, dan Pythagoras membangun filsafat dari berbagai pengaruh dalam perjalanan intelektual mereka. Kosmologi, teologi, sistem angka dan hitungan dalam filsafat pra-Sokrates itu bersinggungan erat dengan konsepsi yang ada di alam pikiran bangsa India dan Persia, misalnya.

Filsafat pada awalnya sudah menunjukkan model berpikir sinkretisme. Kesadaran akan realitas pun terbentang luas dan jelas antara kesadaran akan "yang satu" dan "yang banyak". Filsuf pra-Sokrates, Empedokles, menekankan dasar realitas adalah banyak (plural) terdiri dari air, udara, api, dan sebagainya. Pluralisme dalam filsafat sesungguhnya bukanlah 'barang' baru.

Semangat sinkretisme antar- kosmologi yang berbeda dan konsepsi pluralisme yang bertujuan mencari akar (radix) realitas terus berlangsung hingga kini. Filsafat Yunani Kuno diinterpretasi oleh para pemikir sesuai kondisi kosmologis dari mana mereka hidup. Muncul kemudian dengan label besar seperti filsafat Jerman, Inggris, Perancis, Amerika, dan Spanyol tak lepas dari sejarah awal sinkretisme dan pluralisme filsafat Yunani Kuno tersebut. Pada puncaknya terbagilah demarkasi filsafat Barat dan filsafat Timur dengan kekhasannya masing-masing. Keduanya terus berkelindan tanpa pertentangan substansial yang serius. Dalam banyak pemikiran filsuf Barat kita bisa temukan pengaruh kebijakan Timur, juga sebaliknya.

Merawat pluralisme
Filsafat muncul dari pertanyaan dan percakapan dengan realitas, peristiwa keseharian, ritual, mitologi, sastra, dan lain-lain. Setiap negara dan bangsa memiliki latar belakang atau infrastruktur seperti itu.

Para bapak dan ibu pendiri Republik Indonesia, bahkan para pujangga Nusantara, sudah berpikir filosofis dengan caranya masing-masing. Terutama sejak dilaksanakannya "politik etis" oleh Belanda mereka berkenalan dan akrab dengan filsafat Barat. Mohammad Yamin, Hatta, Soekarno, Sjahrir, Soepomo, Tan Malaka, Kartini, Sam Ratulangi, Soenaryo, S Takdir Alisjahbana, Driyarkara, Soedjatmoko, sedikit saja nama-nama dari banyaknya pemikir kita yang dari tulisan-tulisan mereka jelas bergelut dengan filsafat Barat. Sampai sejauh mana keterpengaruhan filsafat Barat  dalam membangun "keindonesiaan" itu jelas masih butuh interpretasi-interpretasi intertekstual secara intens.

Konsep republik, revolusi, batang tubuh UUD 1945, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan lain-lain tentu tak jatuh langsung dari langit. Semua itu merupakan pergumulan pemikiran filosofis dalam kurun waktu cukup lama dan sinkretik, dari berbagai fragmen kebijakan suku-suku, agama, ras, dan filsafat Barat.

Tak terelakkan negara dan bangsa Indonesia berdiri di atas semangat pluralisme. Bhinneka Tunggal Ika merupakan rumusan filosofis yang begitu terbuka untuk didalami, menyimpan benih yang sangat mungkin menjelma sebagai filsafat sistematik, akademis, dan tentu ideologis. Namun, sekaligus banalitas akan begitu saja muncul dari sana jika kita hanya membaca atau memaknainya sekadar slogan politik dan 'artefak' dengan perspektif budaya yang sempit.

Indonesia sebagai negara kesatuan dari dasar bangunan sinkretik-pluralisme adalah sebuah kata kerja. Kesadaran historik kenusantaraan hingga kini senantiasa ditandai oleh konsep "menjadi". Pluralisme menunjukkan sebuah kesadaran kosmologis bangsa sebagai ketersediaan ruang-ruang untuk bebas bergerak, berekspresi, berkarya, dalam merawat konsep "menjadi" itu.

Filsafat sistematik dan akademis sangat dibutuhkan dalam merawat pluralisme karena dari disiplin ini kita diajak untuk mengkritisi keberagaman kesadaran kosmologis yang historik itu. Membangun filsafat sistematik bernapaskan pluralisme menjadi filsafat Indonesia bukanlah harapan kosong atau mengada-ada. Dari bapak dan ibu bangsa, tradisi itu sebenarnya sudah ditebar, disemai, dan dipetik, bahkan memanennya sebagai negara-bangsa yang berdaulat.

Filsafat pluralisme bagi sebuah negara di sini bukanlah identik dengan negara sebagai lembaga formal-pemaksa yang memegang otoritas penuh bagi keberlangsungan hidupnya. Filsafat sistematik yang bernapaskan pluralisme beroperasi dan hidup dalam masing-masing pemikiran personal maupun komunitas, sebagai fragmen-fragmen kewilayaan. Kesadarannya hadir dalam kebersamaan yang terus saling menyapa dan memberdayakan.

Bagaimanapun, filsafat pluralisme bagi Indonesia, sama halnya dengan kesadaran negara dan bangsa lain, bukanlah
bentangan jalan yang mulus.
Tepatnya konsep pluralisme adalah sebuah taruhan menghadapi kemungkinan konflik-konflik yang tak terhindarkan. Namun dengan pluralisme itulah kita tertantang menjadikannya potensi kreatif, bukan serta-merta menghindar, apalagi melenyapkannya dengan alasan ancaman bagi kesatuan.

Filsafat sistematik di sini kita maknai sebagai konsep sinkretisme dan pluralisme. Simposium Internasional Filsafat Indonesia sekiranya bisa memunculkan kesadaran bagi kebutuhan metodik untuk mendalami lebih jauh lagi makna filsafat ini.

Tommy F Awuy
Dosen Filsafat FIB UI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009342319
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tuesday, September 16, 2014

PEMIKIRAN: Filsafat Tetap Aktual pada Segala Zaman

Filsafat sebagai induk dari ilmu pengetahuan memiliki tiga fungsi utama, yaitu memberi kritik terhadap ideologi, mencari arah dan menegaskan identitas, serta sebagai sarana dialog berdasarkan kesetaraan dan persamaan. Karena itulah, filsafat tidak pernah kehilangan fungsi dan tetap aktual di segala konteks zaman.
"Jika kita mau mencari wajah filsafat Indonesia, di sinilah kita mendapatkan ruangnya karena filsafat memiliki fungsi kritis terhadap ideologi, berperan penting untuk mencari arah dan menegaskan identitas bangsa, dan menjadi sarana bagus untuk berdiskusi," tutur dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Simon Lili Tjahjadi, Selasa (16/9), di Jakarta.

Ironisnya, di Indonesia hingga sekarang filsafat belum mendapat tempat yang layak di panggung pendidikan. Padahal, pada zaman sekarang, kehadiran filsafat sangat dibutuhkan untuk memberi kritik kritis terhadap ideologi, dogma-dogma ilmu pengetahuan, serta makna-makna palsu.

"Di Indonesia dukungannya sangat lemah, sekarang hanya ada dua universitas negeri, yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada yang punya Program Studi (prodi) Filsafat. Prodi ini juga tidak masuk dalam prioritas rektor-rektor yang bersangkutan," kata dosen STF Driyarkara, Franz Magnis-Suseno.

Menurut Magnis, di dalam kehidupan akademik, ilmu filsafat semestinya selalu mendapat tempat. Apalagi, di zaman sekarang filsafat dibutuhkan untuk mengkritik kondisi bangsa.

Budayawan Jaya Suprana mengatakan, Indonesia sebenarnya juga memiliki filsuf-filsuf yang diakui luar negeri. Dalam kamus filsuf yang diterbitkan University Presses of France 1984 tercatat beberapa nama filsuf Indonesia, seperti Nikolaus Driyarkara, Soekarno, Ronggowarsita, dan Mpu Tantular.

Dalam rangka menggagas sosok filsafat Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, STF Driyarkara, dan Institut Prestasi Nusantara/MURI akan menggelar Simposium Internasional Filsafat Indonesia, 19-20 September 2014.

"Kami mengundang 150 doktor filsafat dan tokoh intelektual dalam dan luar negeri. Sampai sekarang sudah ada 60-an pemikir yang merespons. Kita sebagai manusia Indonesia sebenarnya mempunyai pemikiran filsafat serta cara berpikir sendiri. Hanya, selama ini kurang digali," ungkap dosen STF Driyarkara, Setyo Wibowo. (ABK)

Source: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008926827
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Wednesday, July 23, 2014

Kenegarawanan (F Budi Hardiman)

PERBEDAAN antara ciri politikus partai dan negarawan cukup kita kenali, sekurangnya secara intuitif. Di dalam pemilu presiden yang baru saja lewat, kedua kategori ini diandaikan ketika salah satu calon menyebut calon lain sebagai seorang negarawan, yakni dengan siratan harapan agar ia mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan. Kenegarawanan, statesmanship, menjadi kategori yang sangat penting, khususnya ketika negara dalam ancaman konflik sektarian.
Polarisasi politis dalam demokrasi elektoral, misalnya, bukanlah sebuah pertarungan total. Ia "hanyalah" sebuah prosedur untuk suksesi kekuasaan secara damai. Pihak-pihak yang terpolarisasi menundukkan diri di bawah mekanisme hukum yang sama. Dengan ungkapan lain, the will to power direlatifkan di dalam batas-batas hukum. Seorang calon yang menerima kekalahan dengan ikhlas dan mengakui kemenangan pihak lawan dianggap memiliki kualitas kenegarawanan karena supremasi hukum diletakkan di atas hasrat pribadinya untuk berkuasa.

Kenegarawanan mengandung muatan-muatan normatif yang tidak dapat disamakan begitu saja dengan kualitas seorang politikus partai. Di dalam demokrasi, semua warga negara berhak menjadi politikus, tetapi tidak semua politikus memiliki kualitas kenegarawanan sehingga demokrasi menjadi arena kepentingan-kepentingan pragmatis belaka.

Tidak dibutakan oleh kepentingan kekuasaan semata, seorang negarawan tidak dapat dilepaskan dari keutamaan-keutamaan moral yang dimiliki oleh seorang manusia yang bijak dan bajik. Mengetahui perbedaan ini adalah sentral bagi pendidikan politis dalam masyarakat kita.

"Politikos" dan "stasiastikos"
Kedua konsep itu dapat dijelaskan dengan ide tentang keseluruhan dan bagian-bagian. Seorang negarawan memperhatikan keseluruhan, sementara seorang politikus biasa terobsesi pada bagian-bagian. Di dalam dialog Politikos, misalnya, Plato membedakan "politikos" (negarawan) dari "sophistes" (sofis). Seorang sofis adalah seorang guru yang "menjual" pengajarannya kepada orang-orang muda yang berambisi untuk karier politis.

Apa yang mereka pelajari dari seorang sofis adalah bagaimana merayu dan memanipulasi para warga negara. Ahli dalam agitasi massa, sofis adalah seorang ahli rekayasa politis yang ulung yang dapat mengubah kebenaran menjadi kesalahan dan kesalahan menjadi kebenaran, tentu lewat provokasi dan mobilisasi massa. Maka, Plato menyamakannya dengan stimulator monster.

Konsep sofis memang tidak dapat seluruhnya dialihkan menjadi politikus dalam pengertian modern, tetapi sulit menyangkal bahwa cukup banyak ciri politikus partai, tim sukses pemilu, dan konsultan politik dalam demokrasi elektoral mendekati ciri sofis sehingga kita boleh mengatakan bahwa politikus modern adalah saudara batin para sofis.

Kaum sofis ini mengajari para klien mereka untuk menang dalam perkara atau untuk merebut posisi kuasa, tetapi tidak membawa mereka pada kebenaran dan kebajikan yang terkait dengan kepentingan semua pihak. Mereka, seperti kata Plato, adalah stasiastikos atau expert dalam golongan karena para klien mereka tidak dibawa ke dalam kesadaran akan keseluruhan, tetapi ke dalam kepentingan sempit untuk sebagian orang.

Kenegarawanan bukanlah pengetahuan partisan, seperti yang diajarkan para sofis, melainkan pengetahuan tentang kepentingan semua pihak. Menarik untuk mencermati di sini bahwa, menurut Plato, kenegarawanan adalah sebuah pengetahuan, suatu keahlian khusus, tetapi obyeknya adalah keseluruhan yang disebutnya politiké epistemé atau pengetahuan negara.

Jadi, kenegarawanan tidak diraih lewat agitasi massa atau dengan mengecoh para warga negara, tetapi lewat pendidikan karakter untuk adil, bijak, berani, dan bersahaja. Seorang negarawan adalah seorang expert dalam keseluruhan atau, katakan, seorang spesialis dalam generalitas.

Karena tidak semua politikus adalah negarawan yang ahli, hukum tetap merupakan sarana untuk mengarahkan diri pada kepentingan semua pihak. Karena itu, Plato berpendapat bahwa jika tidak ada keahlian kenegarawanan, cara terbaik untuk memerintah adalah dengan menundukkan diri di bawah supremasi hukum. Dengan menjadi "penjaga hukum", seorang penguasa mendidik diri menjadi seorang negarawan. Akan tetapi, kenegarawanan tidak sama dengan legalisme, kepatuhan buta pada hukum.

Menurut Plato, kenegarawanan memungkinkan seorang penguasa juga untuk menyesuaikan hukum dengan kondisi yang terus berubah-ubah. Alasan dasarnya sekali lagi adalah bahwa kenegarawanan adalah sebuah pengetahuan tentang keseluruhan, bukan pengetahuan partisan seorang stasiastikos.

Kenegarawanan calon yang kalah
Saya sengaja mengacu kepada Plato, pemikir dari dua setengah milenium yang silam, karena kategori-kategori yang dikemukakannya sedang kita hadapi akhir-akhir ini. Kita memiliki banyak politikus partai yang bahkan di dalam Pilpres 2014 ini nyaring mengeluarkan klaim-klaim keseluruhan, padahal kebanyakan tidak lebih daripada stasiastikos.

Pilpres bukan momen normal, melainkan sebuah momen luar biasa sebuah suksesi kekuasaan. Dalam momen normal, para politikus partai dibatasi oleh sebuah pemerintahan politis. Namun, dalam suksesi kekuasaan, mereka memiliki klaim keseluruhan untuk membentuk sebuah pemerintahan politis. Artinya, suksesi kekuasaan adalah sebuah momen luar biasa karena para politikus partai yang dalam kondisi normal bersikap sebagai expert dalam golongan sekarang mengklaim diri sebagai expert dalam keseluruhan.

Klaim itu dalam demokrasi adalah wajar karena proses demokratis seperti pemilu merupakan momen seluruh warga negara bersentuhan dengan dimensi keseluruhan politis sekalipun mereka bertolak dari kepentingan bagian-bagian. Pernyataan-pernyataan, seperti seluruh bangsa terbelah menjadi dua, dan kecemasan akan terjadinya kerusuhan setelah pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan seolah-olah kedua kubu yang bertarung di dalam pilpres berhak atas keseluruhan, atas komunitas politis sebagai keseluruhan.

Satu hal yang dilupakan bahwa kita memiliki sistem hukum sebagai "yang ketiga" yang menengahi suksesi demokratis itu. Di dalam negara hukum demokratis, yang ketiga ini, sistem hukum, memiliki prioritas atas para politikus partai dalam klaim atas keseluruhan. Karena itu, kualitas kenegarawanan para capres-cawapres diukur dari pelaksanaan komitmen mereka untuk menjadi "penjaga hukum".

Memang tidaklah mudah menerima kekalahan setelah menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan harta disertai imajinasi agung untuk memenangkan pilpres. Perbedaan jumlah perolehan kedua kubu tidaklah sangat besar, tetapi lalu hanya ada satu pemenang yang boleh diterima oleh keseluruhan. Bagaimana mungkin dukungan oleh sebagian kemudian berubah menjadi dukungan oleh keseluruhan?

Itulah keajaiban sekaligus absurditas demokrasi elektoral! Karena itu, sangatlah berbahaya bagi keseluruhan jika kubu yang kalah tidak merelatifkan imajinasi politisnya di bawah sistem hukum. Menerima kekalahan merupakan sebuah keutamaan demokratis seorang kandidat yang telah terbukti memiliki dukungan suara yang hampir sama kuatnya dengan kandidat yang menang.

Kualitas kenegarawanan ditunjukkan lewat pelaksanaan komitmennya pada hukum dan demokrasi. Dengan cara itu, dia tidak bersikap sebagai stasiastikos yang dikurung oleh kesempitan kepentingannya dan yang mengancam keseluruhan, tetapi sebagai politikos yang mengutamakan kepentingan keseluruhan dan menjamin keutuhan komunitas politis. Untuk menerima kemenangan cukup dibutuhkan sikap seorang stasiastikos. Namun, untuk menerima kekalahan dibutuhkan sikap seorang politikos.

Tanpa damai sejahtera di hati dan kebesaran jiwa seorang negarawan, mustahil menerima kekalahan.

Kenegarawanan pemimpin baru
Pemimpin baru yang menang tidak lagi sendirian dengan kepentingan kubunya yang sewaktu kampanye lebih menunjukkan kepentingan kubunya. Dia sudah membawa momen keseluruhan di dalam fakta legal kemenangannya. Kualitas kenegarawanan ditunjukkan olehnya jika ia dapat merangkul kubu yang kalah di dalam sebuah gramatika kepentingan keseluruhan sebuah komunitas politis sehingga di dalamnya tidak ada lagi "kita dan mereka", melainkan hanya "kita".

Seorang pemenang yang masih berbicara dalam gramatika kepentingan golongan tak lebih daripada seorang stasiastikos yang memerintah. Orang ini berbahaya bagi keseluruhan. Kemampuan untuk mengubah gramatika kepentingan tersebut banyak tergantung bukan hanya dari karakter atau keutamaan politis seorang penguasa, melainkan juga dari sistem hukum yang membatasi kekuasaannya.

Selama Pilpres 2014, kita sudah telanjur terlalu percaya pada karakter para kandidat, padahal karakter bisa membusuk di dalam lingkungan sistem kekuasaan yang buruk. Dalam Politikos, Plato mengatakan bahwa penguasa dan pejabat yang gagal mengikatkan diri mereka pada hukum adalah seorang bajingan yang mengejar kepentingan golongannya. Membereskan negara dari para bajingan bukan pekerjaan mudah karena godaan untuk menjadi pembela golongan sendiri sangatlah besar.

Di sini kita bisa membedakan antara kenegarawanan yang sudah dan yang belum. Kenegarawanan calon yang kalah sudah terbukti begitu dia menerima kekalahan demi kepentingan keseluruhan. Akan tetapi, kenegarawanan seorang pemenang pilpres belum terbukti pada saat dia menerima kemenangannya, melainkan justru masih harus dibuktikan selama dia memerintah.

Baru dalam proses ujian panjang pemerintahannya dia akan menyingkapkan diri, entah sebagai seorang negarawan atau sebenarnya hanyalah seorang politikus partai yang mementingkan golongannya saja, seorang stasiastikos.

F Budi Hardiman
Pengajar Program Pascasarjana STF Driyarkara

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007966452
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Monday, May 12, 2014

Revolusi Doa (Sindhunata)

KITA memerlukan pemimpin yang taat beragama, yang bisa membawa perbaikan moral bangsa. Begitu dikatakan mantan Wakil Presiden Hamzah Haz baru-baru ini. Hamzah Haz juga menyarankan perlunya dibangun lebih banyak tempat ibadah, agar semakin banyak orang berdoa sehingga semakin banyak pula orang yang memiliki moral yang baik.
Hamzah Haz tidak keliru jika ia menghubungkan doa dan moral yang baik. Hanya masalahnya, doa manakah yang bisa membuahkan moral yang baik? Pertanyaan ini kebetulan juga sedang digeluti sejumlah sarjana antropologi dan teologi Islam maupun Kristen. Pergulatan mereka dikumpulkan di bawah tema "Prayer, Power, and Politics" dalam jurnal Interpretation, Januari 2014.

Para antropolog kultural memahami doa sebagai aktivitas ritual. Dari sudut kultural, ritus adalah kesempatan, di mana orang menjalin hubungan baik dengan kelompoknya, maupun realitas sosialnya, termasuk kekuasaan. Sementara karena pada hakikatnya kekuasaan selalu relasional, kekuasaan mau tak mau juga memengaruhi ritus dan dirasakan secara riil oleh mereka yang menjalankan aktivitas ritual itu. Di situlah terletak hubungan antara doa dan kekuasaan. Dengan pendekatan di atas, Rodney A Werline, profesor studi agama-agama di Barton College, North Carolina, meneliti bagaimana doa-doa dihidupi tokoh-tokoh Kitab Suci Perjanjian Lama, seperti Hannah, Ruth, Salomo, dan Daniel. Dari penelitiannya terlihat doa terjadi dalam cakupan relasi sosial dan historis yang amat luas.

Doa bisa berfungsi sebagai dinamika keluarga, sebagai ekspresi cinta di antara sahabat, sebagai ratapan orang jujur yang tidak bersalah tetapi menjadi korban, sebagai teguran pemuka agama terhadap umatnya dan sebagai upaya bagaimana mengobati luka sosial umatnya, sebagai jalan bagi para pemimpin untuk menjalankan kepemimpinannya, juga sebagai jalan menentang kekuasaan represif.

Kekuasaan sendiri bukanlah jelek atau baik. Namun, kekuasaan bisa digunakan untuk membangun hidup atau merusak hidup masyarakat. Karena terjalin dengan kekuasaan dalam sebuah realitas sosial dan kultural, doa juga bisa dijadikan jalan untuk membangun hidup, tetapi doa pun bisa dimanfaatkan untuk merusaknya. Ini semua berarti, doa tak pernah bisa dilepaskan dari etika.

Radikalitas doa
Lex orandi, lex credendi: bagaimana kita berdoa, itu menentukan bagaimana kita beriman dan percaya. Aksioma tersebut menegaskan bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum iman sangatlah ditentukan oleh bagaimana kita berdoa. Seperti dipaparkan Nico Koopman, profesor teologi sistematik dan etika di Universitas Stellenbosch, semasa rezim apartheid di Afrika Selatan, aksioma itu diperluas menjadi lex orandi, lex credendi, dan lex (con)vivendi. Artinya, bagaimana kita berdoa tidak hanya menentukan bagaimana kita beriman, tetapi juga bagaimana kita hidup, bahkan bagaimana kita hidup bersama.

Di Afrika Selatan semasa rezim apartheid, doa dan upacara agama memang menjadi ambivalen. Doa bisa untuk menindas ataupun untuk membebaskan. Di bawah rezim represif, doa dan iman bahkan dilegitimasikan secara teologis untuk melestarikan penindasan. Karena itu, doa juga perlu dikoreksi secara etis.

Maka, doa harus dibebaskan dari cengkeraman rezim represif, lalu dijadikan kekuatan untuk meraih terjadinya masyarakat baru yang bebas dari penindasan. Doa harus bisa menjadi kekuatan kritis untuk mendobrak masyarakat yang tidak adil. Di sini, seperti diajakkan filsuf Nicholas Wolterstorff dari Amerika Serikat, kita perlu memahami kesucian itu bukan semata-mata dari kategori kesucian sendiri, tetapi juga dari kategori keadilan.

Kata Wolterstorff, masyarakat yang tidak adil adalah masyarakat yang kehilangan keutuhannya. Dalam masyarakat ini sekelompok orang tersudut di pinggiran, dan tak terinkorporasikan ke dalam kehidupan yang sedang berkembang dalam masyarakat itu. Masyarakat demikian bukanlah citra atau cerminan dari Tuhan dalam keutuhan-Nya. Dalam keutuhan-Nya yang komunitarian, Tuhan tidak mengecualikan siapa pun. Karena itu, masyarakat yang tidak adil dan mengecualikan itu adalah masyarakat yang tidak suci. Maka, masyarakat baru yang kita cita-citakan hendaklah menjadi masyarakat kesucian dan keutuhan, masyarakat di mana terjadi integritas dan komunitas, inklusi dan pemerataan keadilan, serta kesatuan hidup yang subur berkembang.

Doa Kristiani sesungguhnya selalu merindukan datangnya masyarakat semacam itu. "Datanglah kerajaan-Mu", itulah yang didoakan mereka dalam doa Bapa Kami, seperti diajarkan oleh Yesus sendiri. Maka, ahli kitab suci Afrika Selatan, William Domeris, mengungkapkan, datanglah kerajaan-Mu itu adalah sebuah doa revolusioner. Doa ini menyerang jantung kejahatan di dunia, dan memaklumkan matinya segala macam bentuk penindasan, serta mengharap datangnya kerajaan baru di dunia. Dengan mendoakan "datanglah kerajaan-Mu", orang menatap berakhirnya zaman penindasan ini, dan pada saat yang sama, seperti diajakkan Yesus, bersama-sama mengusahakan tegaknya kerajaan baru sebagai realitas fisik, di mana penindasan diakhiri dan pembebasan Tuhan dimulai. Mendoakan "kedatangan kerajaan Tuhan" adalah melantunkan doa melawan pemerintah yang tidak adil.

Melawan kemungkaran
Jelas doa pada hakikatnya berhubungan dengan realitas sosial, pembebasan, dan keadilan. Menurut Mun'im Sirry dan A Rashied Omar, asisten profesor teologi dan peneliti studi Islam pada Universitas Notre Dame, Indiana, hakikat doa macam ini juga menjadi hakikat doa dalam tradisi Islam. Menurut kedua sarjana Islam itu, tidaklah benar anggapan bahwa Islam lebih menekankan tata cara doa sebagai praktik formalitas doa belaka, hingga doa itu tak bisa membawa transformasi moral bagi pelakunya. Sarjana-sarjana Islam modern menentang keras anggapan itu dengan berusaha menunjukkan adanya makna sosial dalam doa Islam.

Sirry dan Omar sendiri mengemukakan pendapatnya dengan bertolak dari ayat Al Quran 29:45: "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadat-ibadat lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Menurut kedua sarjana Islam di atas, berabad-abad lamanya sejak adanya agama Islam, raison d'être dari doa Islam adalah menjauhi fasha (ketidaksenonohan, ketidaklaziman, kekejian) dan mungkar. Selain Al Quran dan hadis, banyak kisah dan telaah yang menegaskan hakikat doa demikian itu. Misalnya, ada kisah di mana seorang pemuda dari Madinah berdoa bersama Nabi Muhammad. Toh, pemuda itu tetap melakukan perbuatan yang salah dan tidak pantas. Nabi Muhammad hanya menanggapi hal itu dengan kata-kata ini: "Doanya akan mencegah dia untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas." Nabi juga pernah ditanya, "Apakah pendapat Anda tentang seseorang yang berdoa di siang hari, tapi menjadi pencuri di malam hari?" Nabi kembali menjawab, "Doanya akan menahan dia untuk berbuat yang tidak baik."

Tampaknya Nabi Muhammad yakin, doa pasti mengubah seseorang. Jika orang tidak diubah oleh doanya, doanyalah yang kiranya kurang benar. Karena itu, doa atau shalat tidak dengan sendirinya mencegah orang untuk berbuat fasha dan mungkar. Kemungkaran itu baru bisa dicegah apabila doa itu dijalankan dengan benar, penuh komitmen, kejujuran, ketulusan, dan kepasrahan bahwa Allah akan membantu manusia dalam memperjuangkan kebaikan dan memberantas kejahatan.

Kata ahli tafsir Al Quran, Muhammad Husyan Tabatabai, jika shalat dijalankan dengan komitmen dan kejujuran, lebih dari institusi atau pengajar mana pun, shalat sendirilah yang akan melatih orang dengan lebih baik untuk menjalankan kebajikan dan menolak kejahatan. Ini dibenarkan oleh hadis yang berkata, orang yang doanya tak mencegah dia melakukan ketidaklaziman dan kesalahan tak akan memperoleh tambahan dari Tuhan; ia hanya akan makin jauh dari-Nya.

Menegur pemimpin
Hamzah Haz yang juga sesepuh PPP itu bicara soal doa karena gemas terhadap kondisi moral bangsa yang terus merosot. Setiap warga negara Indonesia kiranya juga gemas seperti dia. Kita adalah negara ber-Tuhan dan beragama. Mestinya kita juga warga negara yang pendoa. Memang, setiap hari Jumat masjid-masjid penuh, setiap hari Minggu gereja-gereja penuh, pada hari-hari raya agama umat berbondong-bondong berdoa dengan khusyuk. Tetapi mengapa korupsi merajalela, meracuni lembaga mana pun, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pejabat-pejabat mengkhianati kepercayaan rakyat dan kehilangan rasa malunya.

Mengapa doa tidak berefek bagi kebaikan moral bangsa? Dari penjelajahan singkat mengenai tradisi doa di atas, kita bisa menjawab: doa kita mandul karena terpisah dari masalah-masalah etika, sosial, dan moral yang dihadapi bangsa. Doa melulu menjadi praktik formal-ritual yang tidak bersentuhan dengan permasalahan masyarakat. Doa hanya menjadi kesalehan yang steril terhadap masalah sosial.

Dalam doa macam itu kita menemukan kenyamanan dan kemapanan, dan kehilangan kepedulian sosial. Lebih fatal lagi, doa macam ini membuat kita munafik, seakan-akan kita sudah menjadi baik karena sudah berdoa, tanpa ingin memberantas kemungkaran yang ada di sekitar kita. Doa tak lagi memberi kita kekuatan dan inspirasi untuk menggugat dan mendobrak segala bentuk represi yang menimpa banyak orang, lebih-lebih mereka yang miskin dan sederhana.

Mengapa kita sampai terjerumus ke dalam keadaan demikian? Doa memang bersifat pribadi. Tetapi kita tahu, penghayatan kita terhadap doa juga tergantung pada para pemuka umat, pemimpin jemaat, imam, ustaz, kiai, pendeta, atau pastor. Dari mereka-mereka itulah kita belajar berdoa. Karena itu merekalah yang paling berkewajiban mengajari kita bagaimana berdoa dengan benar.

Misalnya, dengan mendalami lagi tradisi doa yang diajarkan Al Quran dan Kitab Suci, di mana Tuhan menghendaki agar jika berdoa janganlah kita melepaskan diri dari masalah kemanusiaan, masalah sosial, lebih-lebih masalah mereka yang miskin dan menderita. Kalau itu tidak dilakukan, patutlah kita curiga, para petinggi doa itu diam-diam sedang menikmati kemapanan, dan mendukung penguasa yang benci terhadap kekuatan doa yang memberi inspirasi orang untuk menggugat dan mendobraknya. Kita mendengar, calon presiden dari PDI Perjuangan, Jokowi, bercita-cita mengadakan revolusi mental. Revolusi mental itu kiranya akan makin efektif jika disertai revolusi doa. Artinya, bagaimana doa kita dilepaskan dari sangkar keamanan dan kemapanan individualnya, dibebaskan dari kepentingan untuk membenarkan kelompok-kelompok tertentu saja hingga menjadi eksklusif terhadap kepentingan seluruh bangsa. Revolusi doa itu kiranya perlu membangunkan kesadaran moral, sosial, dan etika dalam doa yang dihayati warga negara.

Untuk itu, revolusi mental dan doa itu kiranya harus dimulai dari para pemimpin bangsa. Sebab, seperti dikatakan Hassan al-Banna, pendiri Persaudaraan Muslim di Mesir, paling tidak dalam tradisi Islam, doa itu seperti latihan harian dalam organisasi sosial dan praktis. Begitu muazin menyerukan doa dimulai, umat berkumpul, mereka punya hak dan kewajiban sama, tetapi mereka berdiri di belakang imam yang mengatur ketertiban dan kesatuan mereka. Imam itu pemimpin. Kalau ia salah dalam memimpin, umat berhak dan wajib menegurnya. Itulah demokrasi dalam doa. Para pemimpin kita ibarat imam itu. Kalau mereka salah berdoa, kita pun ikut salah dalam doa kita. Jangan-jangan inilah sebabnya mengapa kita terjerumus ke dalam kemerosotan moral, yakni karena para pemimpin kita tidak pernah berdoa, agar kekuasaannya digunakan untuk melayani rakyat dan tidak untuk memperkaya diri sendiri. Kalau demikian, doa dan mental merekalah yang terlebih dahulu harus direvolusi. Memang bisa-bisa kemungkaran yang harus dibongkar oleh doa dari bangsa ini adalah mental busuk, egois, dan korup para pemimpin bangsa kita sendiri.

Sindhunata
Wartawan, Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006472367
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sunday, May 11, 2014

FILSAFAT: Bedah Komunikasi Terdistorsi

Peradaban tetap diwarnai kekerasan secara individual maupun kelompok. Itu dipengaruhi komunikasi yang terdistorsi atau menyimpang. Filsafat dapat digunakan untuk membedah persoalan komunikasi tersebut.
"Hermeneutika kritis yang dikembangkan Habermas penting untuk sebuah analisis maupun refleksi kritis terhadap peristiwa seperti kekerasan di tengah masyarakat," kata pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, F Budi Hardiman, dalam acara Kelas Filsafat: Seni Ketaksepahaman: Hermeneutika Bultmann, Habermas, Ricoeur, dan Derrida, Sabtu (10/5), di Serambi Salihara, Jakarta. Kelas filsafat tersebut diikuti masyarakat umum.

Budi menitikberatkan pada hermeneutika kritis yang dikembangkan Habermas. Dia mengatakan, kesadaran palsu dalam kelompok-kelompok masyarakat menimbulkan perilaku agresif dan destruktif secara sengaja serta terencana, contohnya teroris pelaku bom bunuh diri dan sebagainya. "Tuturan dan perilaku mereka tidak dihasilkan akal sehat, tetapi oleh efek indoktrinasi ideologis sehingga memiliki kesadaran palsu," kata Budi.

Kasus psikopatologis, kata Budi, juga merupakan kasus distorsi komunikasi yang sistematis karena pasien salah memahami diri. Begitu pula dengan kasus kelompok yang sudah terindoktrinasi sehingga menghasilkan kesalahpahaman komunikasi yang tidak disadari.

Menurut Budi, komunikasi sehari-hari kadang terdistorsi karena sudut pandang berbeda, ketidaktahuan, atau prasangka. Dengan menjelaskan informasi yang sebenarnya, distorsi komunikasi seperti itu segera dapat dihilangkan.

"Distorsi komunikasi dapat diselesaikan dengan dasar komunikasi berupa akal sehat. Namun, distorsi itu akan terus berlangsung sistematis ketika menjauhkan atau bahkan mengisolasi para pelaku dari akal sehat mereka," kata Budi. Tugas seorang kritikus ideologi ialah menganalisis distorsi-distorsi komunikasi dan ketergantungan yang membuat suatu kelompok terhambat menuju kedewasaan.

Menurut salah satu peserta, Nuurul Fajar (19), mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia, filsafat dapat menjadi pengetahuan mendasar untuk memahami perkembangan masyarakat. "Ini penting untuk memahami teks atau wacana yang berkembang," kata Nuurul.

Peserta lainnya, seorang kolektor lukisan, Syakieb Sungkar, mengatakan, penting kemampuan menafsir suatu teks dan peristiwa baik pada masa kini maupun lampau. (NAW)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006574898
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sunday, March 23, 2014

Presiden dan Misteri Representasi (Donny Gahral Adian)

PEMILIHAN umum sejatinya adalah perebutan suara. Tak terkecuali pemilihan presiden. Survei pun digelar secara masif untuk mendeteksi keterpilihan dan keterkenalan seorang calon presiden.
Dia yang terdeteksi mewakili suara paling banyak biasanya menjadi primadona politik. Semua tokoh, tak peduli latar belakang ideologinya, berebut merapat ke sang primadona. Sebab, setiap orang ingin terciprat sihir suara sang tokoh. Padahal, representasi bukan sekadar jumlah  suara. Calon presiden tak hanya mewakili sekian banyak suara yang sudah dihipnotis media. Dia mewakili sesuatu yang jauh lebih sublim dari angka. Kita dapat  menyebutnya ideologi atau sesuatu yang lain.

Pada mulanya suara. Representasi adalah suara. Satu orang satu suara. Ini model representasi modern. Representasi modern dijangkiti apa yang disebut filsuf Jerman, Carl Schmitt, sebagai reproduksi teknologis. Reproduksi  teknologis adalah replikasi massal obyek material tanpa menyentuh esensi atau substansi obyek tersebut. Presiden hanya mewakili suara (kuantitatif) rakyat, dia abai persoalan substantif yang dialami rakyat, seperti kemiskinan, kebodohan, dan kesakitan.

Padahal, gagasan representasi pada abad pertengahan jauh sekali berbeda. Di sini, refleksi Schmitt tentang politik representasi Gereja Katolik Roma abad pertengahan patut dicermati. Politik representasi Gereja Katolik Roma, misalnya, beralas pada logika representasi tersendiri. Tak seperti representasi modern, Gereja Katolik Roma tak menghancurkan partikularitas konkret atas nama homogenisasi dan universalisasi. Representasi Gereja Katolik Roma merawat esensi yang tak serta-merta hadir dalam representan.

Gereja Katolik Roma tidak sekadar mereproduksi realitas kuantitatif dari representan sehingga menegasi orisinalitas dan partikularitasnya. Lukisan "Monalisa", misalnya, kehilangan orisinalitas dan partikularitasnya ketika direproduksi secara massal. Ucapan selamat lebaran menjadi banal ketika direproduksi dan disebarkan melalui layanan pesan singkat.

Representasi dalam politik Gereja Katolik tidak berarti menghadirkan kembali apa yang sudah hadir secara fisik. Kehadiran aktual bukan kehadiran fisik, melainkan sesuatu yang dihadirkan secara material melalui proses representasi. Kehadiran aktual dalam politik Gereja Katolik sama artinya dengan esensi atau sesuatu yang tidak serta-merta hadir dalam bentuk material. Representasi berfungsi mematerialisasikan esensi tersebut dan bukan semata mereproduksi realitas material yang diandaikan terberi.

Artinya, representasi politik tidak sama dengan sekian juta suara setelah pemilihan umum. Representasi bukan kerja setarikan napas. Representasi adalah kerja berkelanjutan dalam mematerialisasi substansi yang tidak serta-merta hadir dalam jumlah suara konstituen. Kerja politik pemimpin republik harus mampu menangkap esensi dari suara yang diwakilinya dalam bentuk kebijakan dan legislasi. Dia tidak sekadar memerintah berdasarkan pesanan pihak ketiga.

Pengejawantahan
Presiden adalah representasi politik yang dipilih secara langsung. Dia adalah  sekian juta suara yang memilihnya, habis perkara. Seolah semua selesai begitu suara dihitung dan pemenang diumumkan. Padahal, yang jauh lebih penting, apakah presiden terpilih mewakili sesuatu yang niskala bernama ideologi? Ideologi bukan suara terbanyak. Dia adalah seperangkat keyakinan politik yang diinstitusionalisasikan dalam kepartaian dan disemai melalui program dan kebijakan. Presiden tak lain kepanjangan ideologis partai pengusungnya. Bulat lonjong kebijakan presiden sebangun dengan garis besar politik partainya.

Dengan demikian, pencalonan presiden tidak sama dengan menjual barang. Pemilihan umum bukan etalase belaka. Komodifikasi calon presiden hanya membuatnya menjadi jargon berjalan yang dipandu suara kebanyakan. Saat kebanyakan orang suka yang blusukan, ramai-ramai calon lainnya ikut blusukan. Saat kebanyakan orang suka yang rendah hati, semua calon belajar menahan diri. Saat kebanyakan orang suka yang kerakyatan, semua calon berlomba-lomba makan di bawah jembatan.

Persoalannya, presiden komoditas adalah produk pabrik pencitraan, bukan institusi ideologis bernama partai politik. Presiden pun jadi "dia yang dikehendaki orang banyak". Orang banyak di sini diwakili oleh opini publik. Sementara, opini jarang yang benar-benar publik. Opini publik biasanya kepentingan segelintir orang yang didistribusikan secara sosial sehingga menjelma publik. Publik adalah arena tempat berbagai lembaga pembangun citra menancapkan pengaruhnya. Alhasil, muasal publik adalah sesuatu yang amat privat bernama nafkah dan upah.

Padahal, publik adalah sesuatu yang sakral. Kehadiran rakyatlah yang menghasilkan publik. Formula ini jadi penting ketika berbicara mengenai representasi politik. Representasi hanya dapat dilangsungkan di ruang publik. Tak ada representasi bertempat di ruang privat. Presiden mendapatkan karakter representasinya melalui aktivitasnya di ruang publik. Dia yang tak pernah turun ke lapangan menemui konstituennya kehilangan watak representasinya. Sesi-sesi rahasia, kesepakatan, dan konsultasi memang tak dapat dilepaskan dari kerja politik sehari-hari. Namun, segenap aktivitas ini tak punya karakter representasi sama sekali.

Tahun politik ini tahun penentuan. Apakah kita akan memperoleh presiden yang berbasis representasi atau  reproduksi. Reproduksi adalah perwakilan kuantitatif (suara, angka), sementara representasi adalah perwakilan kualitatif (nilai, prinsip). Suara dan angka digodok di lembaga-lembaga pembangun citra yang sepenuhnya swasta. Sementara, nilai dan prinsip digodok di parpol  selaku lembaga publik. Calon presiden produk partai akan bertarung dengan calon dari pabrik citra. Di sini kita akan melihat apakah kalkulasi akan mengalahkan ideologi. Apakah partai akan dilindas lembaga survei.

Ideologis dan aksesoris
Melepaskan capres ke mekanisme pemungutan suara hanya akan membuatnya jadi bulan-bulanan rekayasa media. Padahal, terdapat calon yang memang sungguh-sungguh pengejawantahan ideologi partainya. Dia tak blusukan karena hendak memungut suara terbanyak, tetapi ingin mengemban amanat ideologis partainya. Di sini, sang calon tidak bisa diobral untuk dipasangkan dengan siapa saja. Dia yang berpihak pada kedaulatan pangan tak bisa dipasangkan dengan yang gemar impor beras. Dia yang berniat meninjau ulang kontrak karya tak bisa dipasangkan dengan antek korporasi asing. Capres adalah prajurit ideologis partai. Suara dipanen karena konsistensi dirinya menjalankan amanat ideologis partai pengusung. Suara tak dipanen karena dia yang pro waralaba asing dipoles sehingga tampil layaknya pembela kaum papa.

Pemilihan presiden sudah dekat. Calon-calon mulai bermunculan. Sebagian sudah resmi sebagian masih bersembunyi. Kini saatnya kita memilih pemimpin tidak seperti mencomot sabun mandi. Kita memilih bukan karena iklan yang diulang secara murni dan konsekuen di stasiun-stasiun televisi swasta. Ini adalah pemilihan publik, bukan swasta. Kita harus memilih dia yang "blusukan ideologis", bukan "blusukan aksesoris".

Donny Gahral Adian, Dosen Filsafat UI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005516992
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Monday, March 10, 2014

Ketukan Palu Hakim (F Budi Hardiman)

DI  dalam sistem peradilan yang dikendalikan mafia hukum, korupsi diganjar dengan hukuman yang terlalu ringan. Hakim terkesan "mengerti" kebutuhan koruptor dan kurang peduli akan rasa keadilan. Publik merasa hukum telah dipermainkan dan tidak dapat menjadi tempat untuk menemukan keadilan.

Di tengah-tengah krisis wibawa hukum itu, Hakim Agung Artidjo Alkostar menjatuhkan vonis yang mengesankan atas sejumlah koruptor. Ketukan palunya menggentarkan mereka yang belum tertangkap bukan karena ancamannya, melainkan terutama karena diketukkan oleh seorang yang dapat menghasilkan keputusan yang berwibawa.

Gebrakan Artidjo mendorong kita untuk menimbang keadilan. Mengapa vonis "luar biasa" bisa menghasilkan keadilan? Dalam Politeia, lewat mulut seorang sofis, Plato mengemukakan kesangsian umum tentang keadilan. Thrasymachos, sofis itu, berkata bahwa keadilan adalah keuntungan bagi yang kuat. Waktu itu dalam polis yang dipimpin seorang tiran, definisi atas adil dan tak adil ditentukan oleh penguasa, maka keadilan mencerminkan kepentingan sang tiran sendiri. Hukum mendefinisikan apa yang adil dan tak adil, tetapi hukum itu sendiri tidak mencerminkan keadilan karena keadilan hanya menguntungkan pihak yang kuat.

Tentu saja konsep keadilan semacam itu bukanlah aspirasi semua orang. Keadilan seharusnya melindungi yang lemah. Yang lemah dengan sangat mudah ditindas dan dikecoh. Berbagai kasus korupsi pejabat di negeri ini membeberkan bagaimana pemegang mandat kekuasaan dengan mudahnya berdusta kepada pemberi mandat. Institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mewakili teriakan si lemah.

Lalu, apa itu keadilan? Keuntungan bagi yang kuat atau teriakan si lemah? Seharusnya keadilan adalah keuntungan dan perlindungan bagi semua, baik si lemah maupun si kuat, tetapi perbedaan antara kuat dan lemah itu sendiri sudah membuka problem keadilan. Keadilan baru bisa menjadi keuntungan bagi semua bila semua sama kuatnya. Itulah situasi hidup di dalam republik yang oleh Hannah Arendt dilukiskan sebagai sukacita bahwa semua pihak sama kuat.

Dalam republik, hukum bukan merupakan alat bagi si kuat untuk menindas si lemah dan juga bukan—seperti Nietzsche menyebutnya—ressentiment kelas yang tertindas, melainkan ungkapan kebebasan suara hati publik.

Mesin hukum
Tetapi, keadilan republik hanya sekadar gagasan bila tidak dijangkarkan ke dalam institusi hukum. Hukum itu harus merupakan hasil kontrak yang menjamin kesamaan semua pihak. Namun, tanpa ancaman, kontrak tidak bergigi. Seperti kata Thomas Hobbes dalam Leviathan, "Covenants, without the sword, are but words". Karena itu, negara, si pemegang monopoli pemakaian kekerasan, menjamin kepastian hukum dengan sistem sanksi.

Di dalam negara hukum, keadilan melembaga ke dalam sistem hukum. Adil dan tak adil adalah masalah kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan hukum. Positivisme hukum menjadi "syahadat" hakim. Tapi, keyakinan yang berlebihan atasnya hanya akan menghasilkan vonis dangkal yang tak lebih dari stempel administrasi rutin pengadilan. Pertanyaan tentang keadilan hukum lalu terdengar "bidaah" karena seolah ada sumber lain bagi keadilan di luar sistem hukum. Tentu pertanyaan itu manusiawi. Hakim bukanlah robot yang menjalankan mesin hukum.

Konsistensi berubah menjadi ketidakadilan ketika keadilan disamakan dengan kesesuaian dengan hukum belaka. Summum ius, summa inuria, tulis Cicero. Di dalam negara korup dengan mafia peradilan yang melindungi praktik korupsi, konsistensi bukan lahir dari tekad moral, melainkan dari naluri pemeliharaan diri. Situasi ini kita kenal bersama di negeri ini. Di mana ada uang dan kuasa, di situ orang tergoda untuk konsisten bukan pada suara hati, melainkan pada uang dan kuasa. Secara ironis tesis Thrasymachos—dengan sedikit revisi—dibenarkan dalam negara korup: keadilan adalah keuntungan bagi para penegak hukum dan para kroni mereka. Dalam konstelasi ini vonis tak lebih dari retorika sofistis yang melindungi kejahatan pejabat. Kenyataan ini juga tak asing bagi kita.

Murka publik
Negara korup gagal mengejawantahkan keadilan republik. Demokrasi ternyata juga tidak membagikan keadilan untuk semua. Koruptor bermultiplikasi bagai hewan-hewan pengerat. Harta rakyat yang mereka jarah mencapai ukuran superlatif yang memamerkan kerakusan yang tak bertepi. Terlalu sedikit perangkap yang dipasang, terlalu sedikit yang masuk ke dalamnya dan masih terlalu lunak hukuman yang diberikan kepada mereka. Di tengah frustrasi kolektif, mob lahir dari rahim ketidakberdayaan dengan teriakan murka menuntut keadilan.

Dalam Rechtsstaat tentu saja ada palang-palang yang membendung murka publik. Di situ ada trias politica, mekanisme pasar, masyarakat madani (civil society), dan sistem peradilan. Keempat pilar ini menjinakkan murka dengan menyublimasikannya menjadi argumen. Namun, mob kali ini tidak tampil telanjang, tetapi berbusanakan opini publik.

Kobaran murkanya terbaca di balik kritik dan sorotan media. Seandainya saja tidak dihalangi tertib hukum, mob di balik koran, TV, dan para demonstran ingin sekali langsung menjatuhkan vonis mati bagi para koruptor. Vonis tegas dan keras di meja hijau dikira dapat meredakan murka itu. Akan tetapi, bila tidak hati-hati, vonis itu justru mewakilinya dalam lambang dan atribut hukum. Apakah murka menghasilkan keadilan?

Menurut Jacques Derrida dalam Force of Law, jika diletakkan di luar sistem hukum positif, keadilan tak lebih daripada kobaran murka, dan vonis tak lebih dari pelaksanaannya. Namun, jika diidentikkan dengan sistem hukum, keadilan hanyalah kesesuaian dengan hukum, dan vonis tak lebih dari tindakan administratif.

Di dalam negara korup di mana konsistensi pada uang mempermainkan hukum, diperlukan vonis tegas yang konsisten pada hukum untuk mengembalikan wibawa hukum. Hal itu dilakukan Hakim Agung Artidjo dalam vonisnya. Vonis itu adil jika dihasilkan dari suara hati hakim yang memiliki integritas, bukan semata dari deduksi pasal hukum belaka. Keadilan tidak semata melayani reproduksi tatanan hukum, tetapi juga mendengarkan yang lain dalam keberlainannya, maka keadilan bukan sekadar hukum.

Ada "yang lebih" di sana, seperti tersirat dalam perkataan Artidjo dalam acara Kick Andy, "Di dunia ini saya hakim agung, tetapi di akhirat saya terdakwa." Takut akan Allah, bukan takut akan hukum, menangguhkan sistem hukum di dalam kesadaran hakim bagai momen "pemogokan umum" subyektif.

Hakim tidak sekadar mendeduksi, tetapi menafsirkan hukum untuk memberi fresh judgement. Seperti kata Derrida, vonis yang adil itu menjaga sekaligus menghapus undang-undang agar hukum ditetapkan lagi secara baru. Tanpa tegangan suara hati di mana sistem hukum ditangguhkan untuk mendengarkan singularitas kasus, sebuah vonis bisa saja sahih karena sesuai hukum, tetapi tidak adil. Hakim yang berintegritas menetapkan kembali undang-undang secara baru lewat ketukan palunya.

Dalam gerakan pemberantasan korupsi, kita membutuhkan hakim-hakim yang memiliki integritas tinggi seperti Artidjo. Keadilan tidak dapat diturunkan dari kepentingan oligarkis, dari murka publik, dan bahkan juga tidak dari sistem hukum. Ketukan palu berwibawa dari seorang hakim yang mendengarkan ketukan nuraninya merupakan bagian realisasi keadilan. Vonis seperti itu bukan berasal dari kedangkalan birokrasi hukum, melainkan dari kedalaman seorang manusia bajik dan bijak yang takut akan Allah.

Kedalaman itu pula yang membuatnya menyadari sebuah paradoks bahwa keadilan tidak dapat diputuskan, tetapi harus diputuskan justru untuk mewujudkannya sehingga setiap vonis memang lahir prematur.

F Budi Hardiman, Pengajar Filsafat Politik STF Driyarkara

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005369594
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Monday, February 24, 2014

Perang Simbolik Singapura-Indonesia (Stanislaus Sandarupa)

Protes Singapura lewat Menteri Pertahanan Kedua Chan Chun Sing atas penamaan kapal perang Indonesia, Usman Harun, merupa- kan peristiwa tutur menarik.
Apa di belakang serangan protes itu? Kita teringat pada Shakespeare lewat suara Juliet bertanya kepada Romeo, "Apalah arti sebuah nama? Yang kita sebut mawar, dengan nama lain pun, tetap sama harum." Meski kelu- arga besar Romeo, Montague, bermusuhan dengan keluarga Ju- liet, Capulet, nama tak penting lagi karena hubungan mereka dilandasi cinta sejati.

Walter Lippmann, seorang kolumnis politik, pernah berkata, "Pertama kita melihat, kedua kita menamai, dan hanya dengan itu baru kita memahami." Dari kedua pandangan itu, ada teka-teki sekitar nama dan penamaan. Terdapat suatu tradisi yang membedakan nama diri dan nama kelas. Nama diri berlaku untuk satu obyek, seperti Usman dan Harun, sedangkan nama kelas berlaku untuk sejumlah obyek seperti "manusia".

Sejak dulu para filsuf sudah memperdebatkan apakah nama diri punya makna seperti kata sifat, kata benda, dan deskripsi tertentu. Paling kurang ada tiga kelompok pendapat filsuf.

Pertama, teori nama tanpa makna atau nama menunjuk langsung yang dinamai, referen. Pendapat ini diajukan Plato dalam Theatetus dan Cratylus (dialog Plato dalam Hamilton 1985 [1961]) dengan prinsip Aufbau: nama merefleksikan bendanya. Russell tegas mengatakan bahwa nama diri tidak bermakna tanpa referen (Russell 1948). Wittgenstein menegaskan makna nama diri adalah obyek yang ditunjuk nama itu (Wittgenstein 1958).

Kedua, teori kelompok deskriptivis yang mengembangkan pandangan di atas. Frege, misal- nya, mengatakan bahwa di samping nama dan referen terdapat juga makna. Dalam The Evening Star is the Morning Star terdapat dua nama yang menunjuk refe- ren sama: planet Venus, tetapi punya makna berbeda. Makna memberi semacam cara obyek mempresentasikan diri yang berfungsi mengidentifikasi obyek. Obyek diterangi dari dua sisi oleh makna sehingga kedua ungkapan memberi informasi yang berbeda tentang referen sama.

Pandangan ketiga adalah teori mata-rantai historis komunikasi Kripke. Kripke melihat bahwa ruang yang ada antara nama diri dan referen sebenarnya diisi sebuah proses yang terjadi berda- sarkan sebuah mata rantai. Sesu- dah penamaan, terjadi penyebaran lewat pemakaian dalam percakapan, pembacaan, dengan cara from link to link as if by chain (Kripke 1981[1972]). Penting di sini historisitas sebuah nama.

Ketiga, teori ini mengetengahkan ada korelasi antara tiga komponen penamaan: nama, makna, dan referen. Dapat disimpulkan, nama diri adalah sejenis gantung- an tempat melengketnya deskripsi penuh makna yang muncul secara historis dalam proses komunikasi dan berfungsi mengidentifikasi referen yang statusnya sama dengan nama.

Transparansi penamaan
Kritik Singapura dan reaksi Indonesia dapat didefinisikan sebagai perang simbolik kata tentang kata yang ditujukan pada kata. Tiga aspek penting di sini.

Pertama, nama diri sebagai kata, seperti Usman dan Harun, secara denotatif menunjuk dua orang yang lahir ke dunia. Kedua, ia menunjuk kata masa lalu. Secara historis lambat laun kedua nama jadi gantungan tempat melengketnya berbagai deskripsi mengidentifikasi orangnya. Ada dua versi deskripsi yang memaknai kedua nama itu.

Versi Indonesia: kedua nama itu berarti anggota KKO, sukare- lawan atas perintah Soekarno, peledak bom di MacDonald House, WNI yang dieksekusi pada 17 Oktober 1968 di penjara Changi Singapura. Versi Singapura kurang lebih sama dengan Indonesia, kecuali deskripsi "sukarelawan". Yang sangat berbeda: deskripsi "peledak bom". Ini terjadi karena makna deskripsi itu mempresentasikan diri secara berbeda kepada kedua negara.

Singapura mengidentifikasi Usman dan Harun teroris karena mengebom kompleks perkantoran. Bagi Indonesia, ia pahlawan karena membela negaranya melawan proyek neokolonialisme.

Transferensi makna bukan saja mengungkap perbedaan makna historis, melainkan juga perbedaan ideologi bahasa. Bagi Singapura, itu mengandung ideo- logi pembangkit rasa sakit. Untuk Indonesia, ia membangun dan mempertahankan perjuangan semangat kepahlawanan kedua prajurit berani.

Aspek ketiga, perdebatan kata tentang kata ditujukan kepada kata. Yang dituju Jalesveva Jaya- mahe 'Di Lautan Kita Jaya'. Pembelian kapal fregat dari Inggris dan penamaannya sebagai kebangkitan model kepahlawanan kedua anggota KKO itu merupakan pelaksanaan ideologi kejayaan di laut. Singapura melihatnya bahaya.

Berdaulat
Dikelilingi kelemahan Indonesia berhubungan dengan tetangga seperti Australia (penyadapan, pengungsi, Corby), Malaysia (kasus TKI dan masalah kepulauan), muncul intervensi Singapura tentang penamaan. Kecil, tetapi perkaranya besar. Dengan membalik makna dialog Romeo dan Juliet, kita katakan nama penting karena Singapura belum memperlihatkan hubungan persahabatan sejati. Masa penamaan pun diintervensi? Penamaan merupakan hak dan kedaulatan RI.

Untunglah pemimpin TNI AL tegas. Namun, jangan  berhenti di penamaan. Pembangunan kejayaan di laut harus didukung dana besar dan program terpadu. Ini pekerjaan rumah untuk presiden terpilih nanti. Mari membangun kekuatan atas kekhawatiran lain. Namun, ini latihan perang-perangan simbolik saja. Mari tingkatkan hubungan persahabatan.

(Stanislaus Sandarupa, Dosen Antropolinguistik pada FIB Universitas Hasanuddin)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004901958
Powered by Telkomsel BlackBerry®