tag:blogger.com,1999:blog-187576712024-02-18T23:07:26.533-08:00Komunitas Filsafat dan TeologiMenjadi insan bijaksana dan religius....Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.comBlogger89125tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-20285704013339703112017-02-11T16:00:00.001-08:002017-02-11T16:00:30.796-08:00Kata Bijaksana tentang Kekuatan Pikiran<div><span style="font-family: Calibri, 'Slate Pro', sans-serif, sans-serif;">Sebagaimana kita ketahui bahwa pikiran itu akan mempengaruhi kehidupan kita. Apa yang terjadi pada kita adalah hasil dari bagaimana cara kita berpikir. Berikut ini adalah Kata-Kata Bijak tentang Kekuatan Pikiran.</span></div><div><br></div><div>*Saya tahu tak terhitung orang yang sedang belajar, namun mereka tak pernah berfikir – Wilson Miher*</div><div>===</div><div>Seorang manusia yang berfikir dan mengetahui cara berfikir selalu dapat mengalahkan 10 orang yang tidak berfikir dan tidak mengetahui cara berfikir – George bernard shaw.</div><div>===</div><div>*Pikiran memiliki kekuatan seperti angin, ia tidak terlihat tapi anda bisa merasakan efeknya – Seth Jane Robert.*</div><div>===</div><div>Semua sumber daya yang kita perlukan ada dalam pikiran kita – Theodore Rosevelt.</div><div>===</div><div>*Pikiran bukan sebuah bejana untuk di isi,tetapi api untuk dinyalakan – Plutarch*</div><div>===</div><div>Janganlah hanya menggunakan otak yang kita punya, tetapi gunakanlah semua otak yang dapat kita pinjam – Wodrow Wilson</div><div>===</div><div>*Otak adalah daya ungkit paling hebat, jika anda dapat merubah kata dan pikiran anda menjadi kata dan pikiran orang kaya, pensiunan muda, pensiunan kaya, itu mudah – Robert. T.Kiyosaki*</div><div>===</div><div>Kuasai pikiranmu, kamu akan dapat melakukan apapun yang kamu inginkan dengan pikiran tersebut – Plato,filsuf Yunani</div><div>===</div><div>*Kemenangan adalah milik pikiran. Ubahlah pikiran maka anda akan dapat merubah kehidupan – J.P.Vaswani*</div><div>===</div><div>Siapa diri anda dan dimana diri anda berada,ditentukan oleh apa yang masuk kedalam pikiran anda.anda dapat mengubah siapa anda dan dimana anda akan berada dengan mengubah apa yang masuk kedalam pikiran anda – Zig Ziglar</div><div>===</div><div>*Jauh di dalam diri manusia, berdiamlah kekuatan yang sedang tidur,kekuatan yang akan mempesona,yang tidak pernah diimpikan, kekuatan yang akan merevolusinya, jika dibangkitkan,dan diwujudkan dalam tindakan – OrionSwett Marden*</div><div>===</div><div>Tidak ada yang terjadi kecuali semua diawali dari sebuah mimpi – Carl Sandburg</div><div><br></div><div>===</div><div>Segala sesuatu yang dapat dibayangkan dan dapat diterima oleh akal pikiran kita,bisa menjadi kenyataan – Andrew Carnegie</div><div>===</div><div>*Kehidupan anda adalah jumlah dari semua pikiran yang anda buat baik secara sadar maupun tidak – Robert. F.Bennet*</div><div>===</div><div>Nothing happens by accident,tak ada satupun kejadian yang terjadi karena kebetulan – Bob proctor</div><div>===</div><div>*Bila anda sudah memiliki tujuan yang jelas,anda akan lupa dengan makan pagi anda – Bill gates*</div><div>===</div><div>Anda mungkin akan terkejut betapa mudahnya hal-hal terjadi. Keraguan anda tak sekuat keinginan anda,kecuali anda membuatnya demikian – Marcia wieder</div><div>===</div><div>*Sukses tidak bisa dicapai dalam waktu sekejap,namun pada saat rekan mereka tertidur mereka tetap membanting tulang hingga larut malam – Henry Wadsworth*</div><div>===</div><div>Tujulah bintang anda,tidak peduli berapa jauh,anda harus mencapai jauh tinggi dan menyentuh hidup anda dengan cinta.terus saja jangan pernah menoleh kebelakang – Bob Smith</div><div>===</div><div>*Kalau seorang dengan keyakinan menuju impian-impiannya dan berusaha untuk mewujudkan hidup yang telah diimajinasikannya,ia akan bertemu dengan kesuksesan-kesuksesan yang tak terduga dalam waktu yang wajar – Henry David Thoreau*</div><div><br></div><div> (kiriman dari WA)</div><div>Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.</div>Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-58484894858840467732017-02-04T02:39:00.001-08:002017-02-04T02:39:22.069-08:00*PRINSIP 90/10 STEPHEN J. COVEY*<div><span style="font-family: Calibri, 'Slate Pro', sans-serif, sans-serif;">Bagaimana prinsip 90/10 itu ?</span></div><div>- 10% dari hidup kita terjadi karena apa yg langsung kita alami.</div><div>- 90% dari hidup kita ditentukan dari cara kita bereaksi.</div><div><br></div><div>Apa maksudnya?</div><div>Anda tidak dapat mengendalikan 10% dari kondisi yg terjadi pada diri anda.</div><div><br></div><div>Contoh kasus :</div><div> </div><div>*Kasus 1*</div><div>Anda makan pagi dengan keluarga anda. Anak anda secara tak sengaja menyenggol cangkir kopi minuman anda sehingga pakaian kerja anda tersiram. Anda tidak dapat mengendalikan apa yg baru saja terjadi.</div><div><br></div><div>*Reaksi anda*</div><div>Anda bentak anak anda karena telah menjatuhkan kopi ke pakaian anda. Anak anda akhirnya menangis. Setelah membentak, anda menoleh ke istri anda & mengkritik karena telah menaruh cangkir pada posisi terlalu pinggir di ujung meja.</div><div> </div><div>Akhirnya terjadi pertengkaran mulut. Anda lari ke kamar & cepat2 ganti baju. Kembali ke ruang makan, anak anda masih menangis sambil menghabiskan makan paginya. </div><div><br></div><div>Akhirnya (1) anak anda ketinggalan bis. (2) Istri anda harus secepatnya pergi kerja. (3) Anda buru2 ke mobil & mengantar anak anda ke sekolah. Karena anda telat, anda laju mobil dengan kecepatan 70 km/jam, padahal batas kecepatan hanya boleh 60 km/jam.</div><div><br></div><div>Setelah terlambat 15 menit & terpaksa *mengeluarkan kocek Rp 600.000,- karena melanggar lalu lintas*, akhirnya anda juga sampai di sekolah. Anak anda secepatnya keluar dari mobil *tanpa pamit*</div><div> </div><div>Setiba di kantor *anda telat 20 menit, anda baru ingat kalau tas anda tertinggal di rumah*</div><div> </div><div>Hari kerja anda *dimulai dengan situasi buruk* Jika diteruskan maka akan semakin buruk. Pikiran anda terganggu karena kondisi di rumah. *Saat tiba di rumah, anda menjumpai beberapa gangguan hubungan dengan istri & anak anda*</div><div> </div><div>Mengapa? *Karena cara anda bereaksi pada pagi hari* Mengapa anda mengalami hari yg buruk?</div><div><br></div><div>1. Apakah penyebabnya *karena kejatuhan kopi?*</div><div>2. Apakah penyebabnya *karena anak anda?*</div><div>3. Apakah penyebabnya *karena polisi lalu lintas?*</div><div>4. Apakah *anda penyebabnya?*</div><div><br></div><div>Jawabannya adalah *No. 4 yaitu Anda sendiri !*</div><div><br></div><div>Anda tidak dapat mengendalikan diri setelah apa yg terjadi pada cangkir kopi yang tumpah. *Cara anda bereaksi dlm 5 detik itu yang menentukan*</div><div><br></div><div>*Kasus 2*</div><div>Cairan kopi menyiram baju anda. Begitu anak anda akan menangis, anda berkata lembut:</div><div>*Tidak apa2 sayang, lain kali hati2 ya.*</div><div><br></div><div>Anda ambil handuk kecil & lari ke kamar. Setelah mengganti pakaian & mengambil tas, *secepatnya anda menuju jendela ruang depan & melihat anak anda sedang naik bis sambil melambaikan tangan ke anda*</div><div><br></div><div>Anda kemudian mengecup lembut pipi istri anda & mengatakan: </div><div>*Sampai jumpa makan malam nanti.*</div><div><br></div><div>Anda datang ke kantor 5 menit lebih cepat & *dengan muka cerah menyapa staff anda*. Bos anda mengomentari semangat & kecerahan hari anda di kantor.</div><div><br></div><div>Apakah anda melihat *perbedaan dua kondisi tersebut?*</div><div><br></div><div>*Dua skenario berbeda, dimulai dengan kondisi yg sama, diakhiri dengan kondisi berbeda*</div><div><br></div><div>Mengapa?</div><div>Ternyata penyebabnya adalah dari cara anda bereaksi! *Anda tidak dapat mengendalikan 10% dari yg sudah terjadi yg 90% adalah akibat dari reaksi anda sendiri*</div><div><br></div><div>Sekarang anda sudah tahu *prinsip 90/10* Gunakanlah dalam aktivitas harian anda & anda akan kagum atas hasilnya. Tdk ada yg hilang & hasilnya sangat menakjubkan.</div><div><br></div><div>Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.</div>Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-86499275169487276822016-10-11T16:31:00.001-07:002016-10-11T16:31:38.886-07:00"Filosofi Orang Jepang Mengenai *Empati*"<div><br></div><div>"Filosofi Orang Jepang Mengenai *Empati*" (Bagus Banget , Wajib Dibaca & Share BerUlang2)</div><div><br></div><div>Hubungan antar Manusia yg paling tinggi Levelnya, yang terus diajarkan dari generasi ke generasi, diajarkan sejak Balita & menjadi Kiblat orang Jepang adalah *Empati*.</div><div><br></div><div>*Empati* atau mem-Posisi-kan diri menjadi ORANG LAIN</div><div>(memPosisikan diri Kita menjadi Lawan bicara).</div><div><br></div><div>Kalau sedang Ngomong sama Orang Tua, cobalah untuk menjadi orang Tua yang sering "keBingungan" itu.</div><div><br></div><div>Sedang Ngomong dengan "Anak Anda", maka jelmakan diri Anda menjadi Anak yang Bandel.</div><div><br></div><div>Sedang Ngomong ke Customer atau Downline, maka menJelmalah menjadi *Dia* terlebih dulu.</div><div><br></div><div>Mau Ngomong ke Upline, Sahabat, Musuh, maka jadikanlah diri Anda MenJadi diri Mereka terlebih dulu & bila Anda menjadi Dia, *Apa* yang ingin Anda Dengarkan?"</div><div><br></div><div>Kenapa dompet , Hp Dll yang jatuh di kereta Jepang, keMungkinan besar AKAN balik ke Pemiliknya?</div><div><br></div><div>Karena yg menemukan langsung akan berpikir, bila uang di dompet ini Saya Ambil... Jangan-jangan yang punya, gak Punya uang lagi, gajian baru bulan berikut nya, Dia pasti akan bingung bayar hutang, bingung bayar listrik, bingung beli makan, nanti Dia akan dimarahin Istri, Anak2nya & Dia akan keLaparan atau Dia akan Mati karena perBuatan Saya ini.</div><div><br></div><div>Ya, Mereka selalu berPikir tentang *Empati*.</div><div><br></div><div>Itulah makanya Negaranya Aman & cepat maju karena sejak Kecil sudah diAjarkan & MenDalami *Empati*.</div><div><br></div><div>1. Yang ketahuan Korupsi, bunuh diri karena Malu.</div><div><br></div><div>2. Pejabat yang merasa Gagal akan mundur, karena Dia pakai kacamata Rakyatnya.</div><div><br></div><div>3. Wanita pulang kerja malam hari terjamin keAmanannya, karena para Pria2 berPikir, gimana kalau itu Adik, Anak atau Istri Saya.</div><div><br></div><div>Milikilah ilmu orang Jepang seKiranya berManfaat .</div><div> </div><div>Gabatte Kudasai!</div><div><br></div><div><br></div><div>Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.</div>Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-9618588759530984812016-06-12T08:54:00.000-07:002016-06-12T08:55:05.368-07:00"GIVE AND GIVE, NOT TAKE AND GIVE"<div><span style="font-family: Calibri, 'Slate Pro', sans-serif, sans-serif;">Pada jaman Tiongkok Kuno, ada seorang petani mempunyai seorang tetangga yang berprofesi sebagai pemburu dan mempunyai anjing-anjing galak.</span></div><div><br></div><div>Anjing-anjing itu sering melompati pagar dan mengejar domba-domba petani. Petani itu meminta tetangganya untuk menjaga anjing-anjingnya, tapi ia tidak mau peduli.</div><div><br></div><div>Suatu hari anjing-anjing itu melompati pagar dan menyerang beberapa domba, sehingga terluka parah. Petani itu merasa tak sabar, dan memutuskan untuk pergi ke kota untuk berkonsultasi pada seorang hakim.</div><div><br></div><div>Hakim itu mendengarkan cerita petani itu dan berkata; "Saya bisa saja menghukum pemburu itu, memerintahkan dia untuk merantai dan mengurung anjing-anjingnya, tapi Anda akan kehilangan seorang sahabat dan mendapatkan seorang musuh. Mana yang kau inginkan, sahabat atau musuh yang jadi tetanggamu?"</div><div><br></div><div>Petani itu menjawab bahwa ia lebih suka mempunyai seorang Sahabat.</div><div><br></div><div>"Baik, saya akan menawari anda sebuah solusi yang mana anda harus menjaga domba-domba anda, supaya tetap aman dan ini akan membuat tetangga anda tetap sebagai teman".</div><div><br></div><div>Mendengar solusi pak hakim, petani itu setuju.Ketika sampai di rumah, petani itu segera melaksanakan solusi pak hakim. Dia mengambil tiga domba terbaiknya dan menghadiahkannya kepada 3 anak tetangganya itu, yang mana mereka menerima dengan sukacita dan mulai bermain dengan domba-domba tersebut.</div><div><br></div><div>Untuk menjaga mainan baru anaknya, si pemburu itu mengkerangkeng anjing pemburunya.Sejak saat itu anjing-anjing itu tidak pernah mengganggu domba-domba pak tani.</div><div><br></div><div>Sebagai rasa terima kasih atas kedermawanan petani kepada anak-anaknya, pemburu itu sering membagi hasil buruan kepada petani.</div><div>Sebagai balasannya, petani mengirimkan daging domba dan keju buatannya.</div><div><br></div><div>Dalam waktu singkat tetangga itu menjadi Sahabat yang baik.</div><div><br></div><div>Jika Anda berkumpul dengan serigala, Anda akan belajar melolong.</div><div><br></div><div>Tapi jika Anda bergaul dengan Rajawali, Anda akan belajar cara terbang mencapai ketinggian yang luar biasa.</div><div><br></div><div>Kenyataan yang sederhana tetapi benar, bahwa Anda menjadi seperti orang yang bergaul dekat dengan Anda.</div><div><br></div><div>Karena itu, carilah Sahabat SEJATI.</div><div><br></div><div>Anda boleh memiliki segala-galanya, namun hidup tidak akan bahagia tanpa sahabat sejati.....!!!</div><div><br></div><div>Persahabatan tidak ada sangkut pautnya dengan harta, jabatan dan popularitas.</div><div><br></div><div>Persahabatan yang di dapat dari uang, pangkat dan ketenaran bukan persahabatan sejati, melainkan hanya pergaulan dangkal yang penuh kepalsuan, yang egois, materialis, munafik dan penuh kebohongan.</div><div><br></div><div>Persahabatan sejati lahir dari kasih, ketulusan, kepercayaan, kejujuran, kesetiaan dan kebersamaan.</div><div><br></div><div>Itu sebabnya persahabatan itu indah, tidak dapat di nilai dengan harta benda, tidak dapat di perjual-belikan.</div><div><br></div><div>Sudahkah Anda memiliki persahabatan sejati dalam hidup ini?</div><div><br></div><div>Apa sesugguhnya arti dari sahabat ?</div><div>Sahabat adalah orang yang selalu ada di dekat kita. Orang yang menangis dan tertawa bersama dengan kita.</div><div><br></div><div>Orang yang tidak menjauhi kita saat kesulitan datang dalam hidup kita. orang yang selalu siaga 24 jam saat kita membutuhkan teman.</div><div>Lebih dari itu sahabat sebenarnya adalah orang yang bisa melihat dan menegur kita serta berbicara dari hati ke hati.</div><div><br></div><div>Sebuah ungkapan Tiongkok Kuno mengatakan : "CARA TERBAIK UNTUK MENGALAHKAN DAN MEMPENGARUHI ORANG ADALAH DENGAN KEBAJIKAN", "GIVE AND GIVE, NOT TAKE AND GIVE." ...... 👌👌👌🙏🙏🙏</div><div><br></div><div>Dari grup WA</div><div><br></div><div>Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.</div>Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-34213839440618137912016-06-06T17:08:00.001-07:002016-06-06T17:08:54.143-07:00Post-sekularisme (F BUDI HARDIMAN)<div><span style="font-family: inherit; font-size: 1.1em; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; background-color: rgb(255, 255, 255); color: rgb(0, 0, 0);">Apakah Eropa sedang pulang ke agama? Pertanyaan ini menarik, tidak hanya untuk ilmu politik internasional, tetapi terlebih untuk filsafat politis kontemporer. Rentetan aksi teror Negara Islam Irak dan Suriah dan gelombang pengungsi Suriah ke pusat-pusat peradaban Eropa tidak hanya menyibukkan para politikus dan menggelisahkan warga masyarakat. </span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: 1.1em; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; background-color: rgb(255, 255, 255); color: rgb(0, 0, 0);"><br></span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: 1.1em; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; background-color: rgb(255, 255, 255); color: rgb(0, 0, 0);">Tragedi-tragedi kemanusiaan itu juga ikut mengubah lanskap intelektual di negara-negara yang selama ini dikenal sebagai negara-negara sekuler. Konstelasi intelektual baru itu bernama post-sekularisme.</span></div><article style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 16px; font-size: 16px; vertical-align: baseline; position: relative; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(255, 255, 255);"><div class="article-media-container" style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;"><figure class="interactive-media-slideshow article-media-container pr" media-id="0" style="box-sizing: border-box; margin: 10px 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline; position: relative; cursor: pointer;"><img id="landscape" class="article-image" src="http://cdn.img.print.kompas.com/getattachment/4b520e86-b38e-4088-91d0-809bac153235/333219" alt="" style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline; max-width: 100%; display: block; width: 300px;"><figcaption class="article-image-caption" style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px 0px 10px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.3em; font-size: 0.8em; vertical-align: baseline; color: rgb(148, 148, 148); position: static; bottom: 0px; left: 0px; width: 300px;"><span class="photo-credit" style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 5px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; font-size: 0.75em; vertical-align: baseline; width: 300px; text-transform: uppercase; display: block; text-align: right;"></span></figcaption></figure></div><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;"></p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Apa itu post-sekularisme? Bagaimana kita merespons "isme" yang masih relatif baru ini?</p><p class="article-sub-interior" style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 20px 0px 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; font-weight: 700; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Gugurnya tesis sekularisasi</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Meski sekarang telah menjadi istilah umum, sekularisasi, sekularitas, dan sekularisme memiliki asal-usulnya yang sangat spesifik dalam gereja Katolik Roma. Kata <em style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;">saeculum</em> berarti zaman. Di Abad Pertengahan, sekularisasi diartikan sebagai proses seorang rahib meninggalkan biaranya dan kembali ke masyarakat. Kata itu pada masa Reformasi dipakai untuk proses pengalihan aset gereja Katolik ke pihak Protestan. Menjadi sekular berarti juga menjauh dari institusi religius.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Sejak perjanjian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun antara Katolik dan Protestan, sekularisasi menjadi istilah politis, yang berarti pemisahan gereja dari negara. Istilah politis itulah yang kemudian kita kenal sampai hari ini sebagai pemisahan antara agama dan politik. Regulasi-regulasi publik harus dijauhkan dari simbol-simbol dan alasan-alasan religius, dan negara harus netral dari doktrin-doktrin religius agar terwujud keadilan bagi semua pihak.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Sekularitas politis hanyalah salah satu arti. Dalam <em style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;">A Secular Age</em>, Charles Taylor menambahkan tiga arti lainnya. Sekularitas sosiologis adalah menghilangnya iman dan praktik religius, sedangkan sekularitas epistemis adalah hidup dalam <em style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;">immanent frame</em> atau kondisi percaya kepada Allah hanyalah salah satu opsi. Semua mengacu juga pada sekularitas spasio-temporal, yakni orientasi kita pada zaman ini, pada<em style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;">saeculum</em>. Di sini jelas bahwa sekularitas Eropa bukan sekadar struktur politis, melainkan sebuah <em style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;">Weltanschauung</em>(wawasan dunia). Orang modern melakukan hal-hal <em style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;">etsi Deus non daretur</em>(seakan Allah tidak ada). Telah terjadi apa yang disebut <em style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;">Weber disenchantment of the world</em>: Dunia tidak lagi berisi hal-hal gaib.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Hampir semua negara demokratis di dunia saat ini menganut sekularisme politis dengan kadar yang berbeda-beda. Prancis dengan <em style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;">laicite</em> dan Turki dengan<em style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;">laiklik</em> berada di baris depan. Sisanya adalah varian-varian. Sekularisme politis telah mengalami globalisasi. Namun, hal itu belum mengatakan apa pun tentang kesadaran religius. Sampai tahun 1980-an, para intelektual Barat masih meyakini suatu anggapan bahwa lewat modernisasi dan rasionalisasi, agama akan punah dan masyarakat akan sepenuhnya sekular.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Anggapan yang kemudian dikenal sebagai tesis sekularisasi ini dianut sejak abad-abad silam di Eropa. Pemikir-pemikir utama Eropa, seperti Comte, Feuerbach, Marx, dan Freud, menganggap agama sebagai semacam ilusi kolektif yang akan ditinggalkan ketika sains, teknologi, dan rasionalitas sekular mendominasi masyarakat. Tesis itu tidak pernah terbukti, malah terbukti gugur.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Alih-alih punah, memasuki abad ke-21 agama mengalami kebangkitan dan menjadi faktor yang menentukan dalam politik kontemporer. Diguncang isu terorisme dan pengungsi Suriah, Eropa tidak lagi diam soal agama. Popularitas kekuatan ekstrem kanan yang anti migran meningkat tajam. Persepsi kawan-lawan yang dikaitkan dengan agama mulai tumbuh. Semua berarti satu hal: agama kembali menjadi isu publik yang perlu dikalkulasi. Dunia ini tidak sepenuhnya sekular, melainkan sekular sekaligus religius.</p><p class="article-sub-interior" style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 20px 0px 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; font-weight: 700; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Kembalinya agama</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Sejak awal abad ke-21 ini, istilah post-sekularisme mulai masuk literatur filsafat dan forum-forum akademis di Eropa. Sungguhpun demikian, belum ada definisi yang bisa disepakati tentangnya. Seperti istilah yang nyaris menjadi kembarannya, post-modernisme, istilah tersebut mengacu kompleksitas baru seusai Perang Dingin, tetapi di sini fokusnya diberikan pada konstelasi baru hubungan antara agama dan sekularitas di Eropa. Namun, seperti juga sekularisme, post-sekularisme lebih daripada sekadar fenomena politis. Ada juga aspek sosiologis, teologis, dan filosofis di dalamnya.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Seperti diulas WA Barbieri, menguatnya kembali peran publik agama hanyalah salah satu gejala post-sekular. Kebangkitan global agama, termasuk Islam di Amerika dan Kekristenan di Tiongkok dan Rusia, menguatkan kembali orientasi pada hal-hal supranatural, suatu proses sosiologis yang boleh disebut <em style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;">re-enchanment of the world.</em>Post-sekularisme juga dapat ditunjukkan lewat suburnya literatur kontemporer yang berupaya untuk memberikan pendasaran teologis kembali agar iman dapat diyakini kembali dalam sekularitas, sebagaimana tampak dalam kritik-kritik para teolog Kristiani atas Pencerahan.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Di rumah filsafat, post-sekularisme tampak dalam menguatnya minat kembali pada agama, Allah, Alkitab, seperti dapat ditemukan pada Caputo, Levinas, dan Jean-Luc Marion. Kearny, misalnya, mencari "<em style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;">faith beyond faith</em>" atau "<em style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;">God after God</em>".</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Kehangatan diskusi tentang post-sekularisme ini juga mendorong para pemikir Eropa untuk menemukan kembali akar-akar religius sekularitas Eropa. Carl Schmitt dengan teologi politisnya dan diskusi hangat antara Habermas dan Kardinal Ratzinger di Muenchen tahun 2004 banyak memicu analisis genealogis ini, misalnya, untuk menunjukkan bagaimana negara hukum sekular dan hak-hak asasi manusia mengandung presuposisi-presuposisi teologis Kristiani. Post-sekularisme bahkan menjadi kritik atas proses marginalisasi yang dialami oleh agama lewat oposisi biner sekular-religius yang disebarkan lewat berbagai literatur dan forum pasca Pencerahan. Talal Asad, misalnya, mencurigai oposisi sekular-religius sebagai konstruksi Barat untuk mengokohkan dominasinya. Post-sekularisme lalu disambut bagaikan pembebas baru, tetapi kali ini oleh dan untuk agama.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Cukup ironis bahwa "agama" di sini tidak kurang daripada hasil konstruksi sekularisme juga sehingga libido kekuasaan—kali ini berbusana teologi—tetap operasional di dalamnya. Eropa tidak kembali ke agama dan menjadi religius. Ia mungkin menemukan ungkapan baru bagi gairah kekuasaannya.</p><p class="article-sub-interior" style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 20px 0px 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; font-weight: 700; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Post-sekularisme di Indonesia?</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Indonesia belum post-sekular karena belum sekular. Namun, komentar seperti itu keliru. Tidak ada sejarah universal bertahap yang dipimpin Barat. Globalisasi sekularisme tidak menghasilkan sekularisme global, melainkan <em style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;">multiple secularisms.</em> Di Indonesia, agama tidak harus kembali karena tidak pernah pergi. Di negeri ini ada terlalu banyak hal yang dikaitkan dengan agama, dan terlalu sedikit hal yang berjarak darinya. Kata "sekularisme" pun terdengar porno di negeri saleh ini sehingga sempat didaftarhitamkan. Sebaliknya, post-sekularisme mungkin akan disambut hangat. Namun, di sini kita justru perlu waspada.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Post-sekularisme Eropa mengandaikan sekularisme politis yang matang sehingga prosedur negara hukum demokratis tetap menjadi platform dialog agama dan sekularitas. Menurut Habermas, di sini agama pun ditransformasikan menjadi lebih "rasional". Inti post-sekularisme sebenarnya proses belajar antara agama dan sekularitas dalam masyarakat majemuk. Karena itu, dalam masyarakat serba-agama, seperti Indonesia, tidaklah tepat memahami post-sekularisme sebagai penguatan kembali peran publik agama karena agama sudah terlalu kuat di sana. Jika di Barat sekularitas ditantang untuk belajar mendengarkan agama kembali, di Indonesia justru sebaliknya: Agama ditantang untuk belajar dari sekularitas agar tidak menyepelekan kemanusiaan.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Proses saling belajar agama dan sekularitas itu tidak asing bagi kita sebab telah tercantum dalam Pancasila. Bukankah hanya sila pertama bicara tentang agama, sedangkan keempat lainnya tentang sekularitas? Indonesia dikonsepkan sebagai negara modern yang tidak serong ke negara agama, tetapi juga bukan negara sekular. Tanpa gaduh dengan post-sekularisme, Indonesia sebenarnya post-sekular, sekurangnya dalam cetak-birunya.</p><p class="credit" style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; font-weight: bold !important; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline; text-transform: uppercase !important;">F BUDI HARDIMAN, PENGAJAR FILSAFAT POLITIK DI STF DRIYARKARA</p><p class="article-footnote" style="box-sizing: border-box; margin: 30px 0px 50px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 0.75em; vertical-align: baseline; color: rgb(153, 153, 153);"><span style="box-sizing: border-box; margin: 10px 0px 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline; display: block;">Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Juni 2016, di halaman 6 dengan judul "Post-sekularisme".</span></p></article><div>Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.</div>Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-18419239567311019132016-05-24T16:24:00.001-07:002016-05-24T16:24:18.748-07:00Sains-Teknik Vs Sosial-Humaniora (EDWARD THEODORUS)<div><span style="font-family: inherit; font-size: 1.1em; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; background-color: rgb(255, 255, 255); color: rgb(0, 0, 0);">Ada kejanggalan pada alur penalaran para petinggi pemerintah dan organisasi profesi di Indonesia terkait fenomena kurangnya tenaga kerja di bidang sains-teknik.</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: 1.1em; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; background-color: rgb(255, 255, 255); color: rgb(0, 0, 0);"><br></span></div><article style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 16px; font-size: 16px; vertical-align: baseline; position: relative; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(255, 255, 255);"><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Pada <em style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;">Kompas</em> edisi 18 Mei 2016 halaman 12 disebutkan bahwa Direktur Eksekutif Persatuan Insinyur Indonesia mengeluhkan Indonesia kekurangan insinyur. Presiden dan Menristek Dikti mengatakan hal serupa dan berniat mengurangi proporsi maha- siswa sosial-humaniora guna memberikan ruang lebih luas bagi mahasiswa sains-teknik.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Indonesia menghasilkan sekitar 50.000 insinyur setiap tahun, tetapi kekurangan sekitar 10.000 insinyur setiap tahun. Data lain menyebutkan, saat ini ada sekitar 800.000 lulusan sains-teknik, tetapi hanya 45 persen atau 360.000-an lulusan sains-teknik yang bekerja di bidangnya.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Menarik mencermati cara pandang para petinggi. Para petinggi menganggap akar masalah kurangnya tenaga kerja sains- teknik adalah orientasi pendidikan tinggi lebih condong ke sosial-humaniora daripada ke sains-teknik. Coba kita bandingkan jumlah kekurangan insinyur dengan jumlah insinyur yang tak bekerja di bidangnya. Untuk memenuhi jumlah kekurangan insinyur, adalah lebih sangkil dan mangkus menggugah para insinyur yang tak bekerja di bidangnya kembali ke jalan yang benar: bidang studi yang dipelajarinya ketika kuliah daripada mengubah orientasi perguruan tinggi menghasilkan lebih banyak lulusan sains-teknik.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Lalu, mengapa para petinggi mengotot ingin "menyadarkan" dunia pendidikan untuk menambah lulusan sains-teknik dan mengurangi proporsi lulusan sosial-humaniora? Tampaknya ada yang tak sinkron antara pemahaman akan fenomena sosial, analisis akar masalah, dan pilihan kebijakan yang dibuat untuk menanganinya.</p><p class="article-sub-interior" style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 20px 0px 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; font-weight: 700; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Penelitian kebijakan</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Jabatan tinggi merupakan jabatan politis. Sudah umum, kebijakan politis lebih condong berbasis pada hitung-hitungan politis, opini instan, dan gejolak di masyarakat daripada berbasis pada pengetahuan sosial-humaniora dan akal sehat. Impian kebijakan politis adalah efek kereta musik, yaitu mengikuti arus dan keinginan orang banyak, tanpa perlu mempertimbangkan apakah keinginan orang banyak itu berdasarkan pertimbangan arif dan manusiawi ataukah tidak.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Pemerintah Jerman mulai berbenah melandaskan kebijakan-kebijakan politisnya pada dialog strategis dan penelitian sosial-humaniora. Misalnya, Kementerian Pendidikan Jerman melihat bahwa kebijakan pendidikan tak hanya berdampak pada industri dan pemerintah, tetapi juga pada institusi pendidikan dan masyarakat umum sehingga mereka mengembangkan mekanisme dialog strategis di antara keempat pihak itu. Pengembangan itu terus dipantau dengan penelitian kebijakan, salah satu jenis penelitian sosial-humaniora.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Orientasi pemerintah Jerman lebih pada melakukan penyelarasan di antara keempat pihak itu, bukan pada pilihan untuk lebih mengutamakan kepentingan pihak mana. Ada juga hasrat belajar membuat kebijakan berbasis alur penalaran yang runtut, sistematis, antisipatif, berorientasi jangka panjang.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Pemerintah kita perlu belajar dari Pemerintah Jerman dalam hal kebijakan pendidikan. Jerman terkenal dengan lulusan yang sangat ahli dan kompeten dalam sains-teknik. Namun, jangan lupa, Jerman juga menghasilkan sarjana sosial-humaniora yang sangat mumpuni. Bahkan, banyak tokoh kunci perintis sosial-humaniora berasal dari Jerman: Sigmund Freud, Wilhelm Wundt, Alexander von Humboldt, Ludwig Wittgenstein, Max Weber, Marianne Weber, dan Hannah Arendt, untuk menamai beberapa.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Kasus negara Jerman menunjukkan kepada kita bahwa untuk menghasilkan lulusan sains-teknik yang memadai, tak perlu menggeser orientasi pendidikan atau mengurangi proporsi mahasiswa di bidang lain. Kepentingan industri dan pemerintah perlu diselaraskan dengan kepentingan dunia pendidikan dan cita-cita masyarakat umum. Pada konteks Indonesia, kepentingan masyarakat umum tecermin dari cita-cita para pendiri bangsa. Karena itu, pemerintah perlu merenungkan kebijakannya apakah sudah menyelaraskan kepentingan pihak industri dengan cita-cita pendiri bangsa, atau lebih mengutamakan kepentingan industri dan kebutuhan pasar.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Dengan demikian, ada dua masalah dalam polemik sains- teknik versus sosial-humaniora saat ini. Pertama, ada kejanggalan dalam alur penalaran para pembuat kebijakan. Kedua, sistem pendidikan kita terancam bahaya laten industrialisasi dan komersialisasi yang merupakan salah satu kekhawatiran para pendiri bangsa.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Solusinya tiga. Pertama, sebaiknya pemerintah dan pejabat tinggi meningkatkan keterampilannya dalam penalaran yang runtut, sistematis, rasional, sekaligus manusiawi. Mereka perlu belajar melandaskan kebijakannya pada perkembangan ilmu sosial-humaniora. Kedua, lebih baik menemukan cara mengembalikan para insinyur yang tak bekerja di bidangnya ke "jalan yang benar" daripada "mengalihkan jalan" para mahasiswa di bidang ilmu selain sains-teknik.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline;">Ketiga, perguruan tinggi sebaiknya lebih memusatkan perhatian pada perjuangan menghasilkan lulusan yang memanusiakan manusia, bekerja sesuai dengan disiplin ilmu yang merupakan bakat dan minatnya, serta berkontribusi terhadap pemenuhan cita-cita para pendiri bangsa Indonesia. Hentikan adu domba antara sains-teknik dan sosial-humaniora karena keduanya setara dan sama-sama dibutuhkan bangsa ini.</p><p class="credit" style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; font-weight: bold !important; line-height: 1.5em; font-size: 1em; vertical-align: baseline; text-transform: uppercase !important;">EDWARD THEODORUS, DOSEN PSIKOLOGI DI UNIVERSITAS SANATA DHARMA</p><p class="article-footnote" style="box-sizing: border-box; margin: 30px 0px 50px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.5em; font-size: 0.75em; vertical-align: baseline; color: rgb(153, 153, 153);"><span style="box-sizing: border-box; margin: 10px 0px 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline; display: block;">Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul "Sains-Teknik Vs Sosial-Humaniora".</span></p></article><div>Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.</div>Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-15089186997510753842016-03-24T05:31:00.001-07:002016-04-04T02:25:47.379-07:00Menghadirkan gagasan Heidegger (M. Sunyoto)<div>
<div style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;">
Buku karya Martin Heidegger berjudul asli "Sein und Zeit" atau dalam Bahasa Inggris "Being and Time" yang diindonesiakan menjadi "Ada dan Waktu" (istimewa)<br /><br />Ketenaran Martin Heidegger di kalangan pembaca buku-buku filsafat tak disangsikan lagi. <br /><br />Bukunya yang masyhur, "Ada dan Waktu" yang ditulis dalam bahasa Jerman sebagai "Sein und Zeit" atau "Being and Time" dalam versi Inggrisnya, dinilai sebagai hasil pemikiran orisinal dalam jagat sejarah ide-ide filsafat.<br /><br />Namun, semua penelaahnya, dari masa ke masa, seraya mengagumi orisinalitas yang diusungnya, juga mengakui kompleksitas dan kesulitan untuk memahaminya. <br /><br />Bahkan filsuf eksistensialis Prancis Jean Paul Sartre yang merespons pikiran-pikiran itu dinilai oleh Heidegger bahwa Sartre tak tepat dalam menafsirkan gagasan-gagasan filosofisnya.<br /><br />Untuk memperkenalkan ide-ide Heidegger yang kontroversial karena kaitannya dengan penguasa Nazi itu kepada khalayak di Tanah Air, Dr. F. Budi Hardiman, alumnus Hochschule fur Philosophie Munchen Germany, menulis buku bertajuk "Heidegger dan Mistik Kehidupan", yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, edisi Februari 2016, setebal 214 halaman. <br /><br />Oleh penulisnya, buku yang ditulis di tengah kesibukannya sebagai dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu dimaksudkan sebagai semacam buku pengantar untuk memahami karya monumental Heidegger "Ada dan Waktu".<br /><br />Bagi pembaca yang awam terhadap risalah filsafat, apa yang disebut dalam konsep "ada" barangkali sudah membuatnya bingung atau tak berselera untuk menyimaknya. Konsep itu dipakai oleh Heidegger untuk mengupas problem mendasar dalam kehidupan dengan mengangkat pertanyaan: mengapa manusia atau segala sesuatu di jagat raya ini ada? Apa makna keberadaan semua itu? Mengapa keberadaan itu terbatasi oleh waktu?<br /><br />Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu sudah disediakan oleh agama dan belakangan oleh sains. Pendekatan filsafat, agama dan sains menjadi khasanah kekayaan pengetahuan dan rohani manusia. Masing-masing punya kekuatannya sendiri-sendiri. Jawaban filsafat sangat spekulatif, jawaban agama dilandasi oleh iman dan jawaban sains berpatokan pada bukti-bukti empiris.<br /><br />Heidegger mengajak pembacanya untuk merenungkan makna keberadaan di dunia ini dengan merenung secara serius. Bagi Heidegger, manusia perlu merenungkan hidupnya yang harus berhadapan dengan persoalan keseharian.<br /><br />Untuk memudahkan memahami pikiran Heidegger, Budi Hardiman yang juga bergulat dalam filsafat humanisme itu memberikan penjelasan bahwa konsep "ada" merujuk pada semua kenyataan, fenomen berupa perasaan, pikiran, peristiwa dan benda-benda di jagat raya ini. Ilmu untuk menelaah segala yang ada itu dikenal sebagai fenomenologi. Di ranah fenomelogi inilah pikiran-pikiran filsafati Heidegger bertebaran.<br /><br />Keberadaan manusia tentu merupakan bagian dari "ada", "mengada" dan bereksistensi. Dan di sinilah problem eksistensial yang menjadi lahan renungan Heidegger.<br /><br /><br />Menurut Heidegger, keberadaan manusia merupakan keterlemparan eksistensial. Artinya, manusia sejak awal dipaksa menerima nasibnya bahwa dia harus pasrah menerima nasib yang tak bisa dikalkulasikan sebelumnya.<br /><br />Tentu berdasarkan akal dan pengalaman, konsekuensi-konsekuensi nasib di masa depan bisa dikira-kira namun perkiraan itu tak bisa menolong untuk memecahkan masalah takdir eksistensial.<br /><br />Manusia tetaplah tak kuasa melawan kekurangan yang melekat dalam takdirnya. Dia tak kuasa membebaskan diri dari kecemasan, kegelisahan dan ketaksempurnaan dirinya.<br /><br />Bagi peletak dasar filsafat eksistensialisme itu, manusia juga tak bisa melawan takdirnya untuk menjalani kehidupan keseharian yang melenyapkan kesadarannya untuk berpikir otentik.<br /><br />Rutinitas keseharian menelikung manusia hidup dalam kepalsuan. Sebagai contoh, pilihan-pilihan hidup manusia bukan didasarkan atas pertimbangan atau alasan yang bermakna. Tapi alasan banal yang vulgar. Sebagai contoh, orang yang berlomba-lomba mewujudkan mimpi menjadi pesohor bukan karena di sanalah dia bisa memberikan makna dalam hidupnya tapi semata-mata karena alasan ketersohoran itu sendiri, terlepas apakah di dunia itu kelak dia akan terjerembab pada kehidupan hedonistis, penuh kepalsuan, dan destruktif.<br /><br />Namun, di saat-saat tertentu, setiap orang, menurut guru cendikiawan Hannah Arendt itu, bereksistensi sebagai sosok yang otentik. Hidup yang otentik itu dialami oleh setiap orang ketika dia mengambil keputusan penting dalam hidupnya.<br /><br />Tak jarang, manusia pun terperangkap dalam ironi, yakni mengalami eksistensi yang otentik ketika sedang memutuskan pilihan penting dalam hidupnya namun pilihan itu melemparkannya ke dalam dunia yang palsu.<br /><br />Untuk membebaskan diri dari kepalsuan, dari rutinitas keseharian, Heidegger mengajak individu untuk menarik diri dari keramaian, menyendiri dan merenungkan makna hidupnya dengan intens.<br /><br />Tentu untuk menjadi otentik dalam bereksistensi, menarik diri dari keramaian bukan jalan satu-satunya. Sebab seseorang bisa menjadi otentik dengan melibatkan diri dalam kebersamaan, dalam pilihan sadarnya untuk menyatakan solidaritasnya pada masyarakat.<br /><br />Itulah sebagian pokok pikiran tentang eksistensi atau keberadaan menurut Heidegger yang belajar di Universitas Freiburg di bawah guru filsafatnya, Edmund Husserl, salah satu penggagas fenomenologi.<br /><br />Sedangkan konsep tentang waktu, Heidegger menciptakan istilah-istilah yang bahkan untuk orang Jerman sendiripun sulit memahaminya seperti istilah "Innerzeitigkeit", yang tak ada dalam kamus bahasa Jerman. <br /><br />Uraian Heidegger tentang waktu begitu pelik, namun Budi Hardiman mengupayakan sejumlah parafrasa yang diharapkan dapat ditangkap oleh pembaca umum. <br /><br />Salah satu uraian itu adalah soal waktu masa depan. Di situ dijelaskan bahwa masa depan adalah kematian yang datang menghampiri. Artinya, manusia akan menghadapi keniscayaan yang menjadi konsekuensi dari keberadaannya. <br /><br />Uraian itu bermuara pada konklusi bahwa hanya karena manusia bisa mati maka hidup mempunyai makna dan akan ada waktu untuk mengisi hidup. Andaikan manusia tak dapat mati, hidup kehilangan maknanya.<br /><br />Buku karya F. Budi Hardiman ini tentu hanya sebatas untuk mengantar pembaca yang berminat menyimak pikiran-pikiran Heidegger. Tentu akan lebih afdol jika telaah terhadap pikiran-pikiran fenomenologis itu dilanjutkan dengan membaca langsung karya-karya Heidegger sendiri.<span style="color: rgb(153 , 153 , 153); font-size: 1.4rem;"><br /></span></div>
</div>
<div>
<span itemprop="copyrightYear" style="color: rgb(153 , 153 , 153); font-family: "raleway" , "helveticaneue" , "helvetica neue" , "helvetica" , "arial" , sans-serif; font-size: 1.4rem; line-height: 27px;"><br /></span></div>
<div>
<span itemprop="copyrightYear" style="color: rgb(153 , 153 , 153); font-family: "raleway" , "helveticaneue" , "helvetica neue" , "helvetica" , "arial" , sans-serif; font-size: 1.4rem; line-height: 27px;">Sumber: http://m.antaranews.com/berita/551577/menghadirkan-gagasan-heidegger </span></div>
<div>
<br />
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.</div>
Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-32896082692044709962016-03-22T03:26:00.001-07:002016-03-22T03:26:53.670-07:00KALIMAT PENYEJUK HATI (nasehat bijaksana)<div><span style="font-family: Calibri, 'Slate Pro', sans-serif, sans-serif;">1. Jika kita memelihara kebencian dan dendam, maka seluruh waktu dan pikiran yang kita miliki akan habis begitu saja. Kita tidak akan pernah menjadi orang yang produktif.</span></div><div><br></div><div>2. Kekurangan orang lain</div><div>adalah ladang pahala bagi kita untuk :</div><div>- memaafkannya,</div><div>- mendoakannya,</div><div>- memperbaikinya dan</div><div>- menjaga aibnya.</div><div><br></div><div>3. Bukan gelar dan jabatan yang menjadikan orang menjadi mulia. Jika kualitas pribadi kita buruk, semua itu hanyalah topeng tanpa wajah.</div><div><br></div><div>4. Ciri seorang pemimpin yang baik akan tampak dari :</div><div>- kematangan pribadi,</div><div>- buah karya dan</div><div>- integrasi antara kata dan perbuatannya.</div><div><br></div><div>5. Jangan pernah menyuruh orang lain untuk berbuat baik sebelum menyuruh diri sendiri. Awali segala sesuatunya untuk</div><div>kebaikan diri kita.</div><div><br></div><div>6. Para pembohong akan dipenjara oleh kebohongannya sendiri. Orang yang jujur akan menikmati kemerdekaan dalam hidupnya.</div><div><br></div><div>7. Bila memiliki banyak harta, maka kitalah yang akan menjaga harta. Namun jika kita memiliki banyak ilmu, maka ilmu lah yang akan menjaga kita.</div><div><br></div><div>8. Bekerja keras adalah kontribusi fisik. </div><div>Bekerja cerdas adalah kontribusi otak. </div><div>Bekerja ikhlas adalah kontribusi hati.</div><div><br></div><div>9. Jadikanlah setiap kritik bahkan penghinaan yang kita terima sebagai jalan untuk memperbaiki diri.</div><div><br></div><div>10. Kita tidak pernah tahu kapan kematian akan menjemput kita, tapi kita tahu persis seberapa banyak bekal yang kita miliki untuk menghadapinya.</div><div>Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.</div>Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-58544562107966453392016-03-13T16:34:00.000-07:002016-03-13T16:35:11.765-07:00Senjakala Humaniora (FADLY RAHMAN)<div><span style="background-color: rgb(246, 246, 246); color: rgb(0, 0, 0); font-family: 'Droid Sans', sans-serif; font-size: 1.1em; line-height: 1.5em;">Kabar tak sedap datang dari Jepang. Sebagaimana dilansir </span><a href="http://www.timeshighereducation.com/" target="_blank" style="font-family: inherit; font-size: 1.1em; line-height: inherit; box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-style: inherit; font-variant: inherit; vertical-align: baseline; text-decoration: none; outline: none; color: rgb(4, 88, 155);">www.timeshighereducation.com</a><span style="background-color: rgb(246, 246, 246); color: rgb(0, 0, 0); font-family: 'Droid Sans', sans-serif; font-size: 1.1em; line-height: 1.5em;"> bahwa pada September 2015 Pemerintah Jepang memerintahkan universitas-universitas di sana menutup fakultas-fakultas ilmu sosial dan humaniora.</span></div><div style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 16px; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);"><figure class="interactive-media-slideshow article-media-container pr" media-id="0" style="box-sizing: border-box; margin: 10px 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline; position: relative; cursor: pointer;"><img id="landscape" class="article-image" src="http://cdn.img.print.kompas.com/getattachment/367c8dcf-d59a-4e09-97d5-9fb79b9cabed/304137" alt="" style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline; max-width: 100%; display: block; width: 300px;"><figcaption class="article-image-caption" style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px 0px 10px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: 1.3em; font-size: 0.8em; vertical-align: baseline; color: rgb(148, 148, 148); position: static; bottom: 0px; left: 0px; width: 300px;"><span class="photo-credit" style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 5px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; font-size: 0.75em; vertical-align: baseline; width: 300px; text-transform: uppercase; display: block; text-align: right;">DIDIE SW</span></figcaption></figure></div><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);"></p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Dari 60 universitas nasional, 26 di antaranya telah mengonfirmasi akan menutup atau menimbang kembali perintah pemerintah itu. Perintah yang merupakan bagian dari upaya Perdana Menteri Shinzo Abe itu dimaksudkan untuk mempromosikan lebih banyak pendidikan kejuruan "yang lebih baik" dalam mengantisipasi "kebutuhan-kebutuhan masyarakat".</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Patut disayangkan, kemajuan Jepang yang sejak akhir abad ke-19 dipupuk dengan nilai-nilai luhur filosofi, sejarah, dan budayanya perlahan-lahan kini terkikis ketika-khususnya-humaniora sebagai pengontrol laju modernitas telah dianggap malafungsi. Tampaknya di tengah arus kecanggihan, kecepatan, dan keinstanan teknologi, posisi humaniora perlahan-lahan terpinggirkan oleh kebutuhan ekonomi dan industri pasar yang mengatasnamakan "kebutuhan masyarakat". Lalu, apakah kini humaniora benar-benar tengah menjelang senjakalanya?</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 20px 0px 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; font-weight: 700; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Humaniora, humanisme</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Gejala senjakala humaniora sebenarnya sudah digelisahkan sejak beberapa tahun lalu. Bukan hanya di Jepang, gejala itu bersifat global sebagaimana diramalkan Terry Eagleton dalam tulisannya, <em style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;">The Death of Universities </em>(2010).</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Menurut Eagleton, jika disiplin humaniora tersingkir dari universitas, maka tidak mungkin universitas bisa berdiri tanpanya. Dan, ketika ilmu sejarah, arkeologi, antropologi, filsafat, linguistik, sastra, dan seni menjadi tak lebih dari sekadar "artefak pengetahuan" belaka, maka jelas ini telah mengingkari landasan historis dan filosofis universitas itu sendiri yang sejak abad ke-18 tak bisa dipisahkan dari peran penting disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan, <em style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;">humane disciplines</em>.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Ketika Revolusi Industri bergeliat pada abad ke-18, saat itu lembaga-lembaga universitas di Eropa mengembangkan humaniora modern sebagai disiplin untuk mengimbangi laju kapitalisme dan modernisme. Posisi dan fungsinya tidak lain untuk menjaga nilai-nilai dan ide-ide kemanusiaan demi mewujudkan harmonisasi kehidupan.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Meski merupakan disiplin ilmu tersendiri, baik secara eksplisit maupun implisit, humaniora memiliki relasi sinergis dengan disiplin ilmu lainnya. Relasi itu menciptakan gagasan-gagasan humanistis semisal ekonomi kerakyatan, penegakan hukum yang berkeadilan, pelayanan kesehatan yang manusiawi, dan kewajiban memberikan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Bahkan, sinergi itu tak berarti harus dimulai di bangku universitas, melainkan sudah dirintis sejak di bangku sekolah. Misalnya, di beberapa negara Eropa (Jerman, Perancis, Belanda, dan Rusia), Amerika Serikat, dan Asia (Jepang, Tiongkok, Malaysia, dan Thailand), siswa-siswa diwajibkan membaca buku-buku sastra. Membaca sastra artinya menangkap pesan-pesan kemanusiaan yang dapat membentuk karakter moral para siswa. Dengan begitu, sikap jujur, adil, rasa welas asih, empati, toleran, serta berkesadaran dalam menjaga keharmonisan hidup manusia dengan alam bakal terus terpatri dalam jiwanya. </p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Maka, sinergi antara humaniora dengan disiplin ilmu lainnya diharapkan dapat menjadi kontrol untuk mengarahkan berbagai aspek kehidupan menjadi lebih manusiawi. Perjalanan humaniora sendiri seiring sejalan dengan kehadiran sosok-sosok humanis dalam sejarah peradaban yang menghendaki kebaikan hidup bagi umat manusia.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Tengok saja beberapa contoh sosok, seperti Gandhi (India), sarjana hukum yang terpanggil jiwanya untuk membela dan membebaskan rakyat India dari penindasan kolonialisme Inggris. Dalam bidang kedokteran, nama seperti Jose Rizal (Filipina), Sun Yat-sen (Tiongkok), dan Che Guevara (Kuba) mendedikasikan tanpa pamrih ilmu medisnya untuk menyembuhkan jiwa raga saudara-saudara sebangsanya yang tertindas.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Dalam bidang sosial keagamaan, ada Bunda Theresa yang menjadi sosok penerang hidup bagi kaum papa di Calcutta, India. Dalam bidang ekonomi, ada Muhammad Yunus yang berupaya mengembangkan ekonomi mikro dengan mendirikan Bank Grameen untuk memajukan para usahawan miskin di Banglades. </p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Terlepas apakah posisi humaniora memberi pengaruh secara langsung atau tidak langsung, kiprah hidup sosok-sosok di atas tidak bisa dilepaskan dari pengalaman pendidikan atau bacaan pengetahuannya terhadap sejarah, filsafat, sastra, budaya, dan teologi yang menempa jiwa dan pikiran mereka memahami hakikat manusia hidup di dunia. Humaniora sejatinya membimbing manusia menjadi reflektif dalam menyelami nilai-nilai kemanusiaannya.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 20px 0px 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; font-weight: 700; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Realitas di Indonesia</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Di Indonesia model "pendidikan yang memanusiakan manusia" pernah <bell style="box-sizing: border-box; text-transform: uppercase !important; font-weight: bold !important;">ADA PADA MASA HINDIA BELANDA. SISWA-SISWA AMS (ALGEMENE MIDDELBARE SCHOOL, SETINGKAT SMU) HINDIA BELANDA DIWAJIBKAN MEMBACA KARYA-KARYA SASTRA SEBANYAK BELASAN HINGGA 20-AN JUDUL SELAMA MASA STUDINYA. TIDAK HERAN JIKA GENERASI SAAT ITU DENGAN SEGALA PROFESINYA BEGITU TEGUH DALAM MENGEMBAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN.</bell></p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Para dokter, seperti Wahidin Sudirohusodo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soetomo menjadi tabib bagi saudara-saudara sebangsanya yang ditindas oleh rezim kolonial. Ada pula Hatta, ekonom yang rakus membaca buku itu, yang merumuskan pembentukan koperasi sebagai sokoguru ekonomi bangsa.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Generasi selepas mereka tak kalah hebatnya. Taruh saja Yap Thiam Hien "sang pendekar keadilan" dari bidang hukum yang memilih berjuang membela kaum tertindas dan minoritas. Atau YB Mangunwijaya, arsitek <em style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;">cum</em> sastrawan yang mendedikasikan hidupnya mendidik anak-anak melalui metode "pendidikan yang memanusiakan manusia" itu.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Dari mereka kita bisa menangkap makna penting nilai-nilai kemanusiaan yang perlu dirawat untuk Indonesia masa sekarang. Maka, posisi humaniora perlu benar-benar diperhatikan urgensinya dengan mengembangkan orientasi keilmuan di universitas secara lintas disiplin.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Bayangkan, betapa bahagia jika kita punya dokter-dokter yang meresapi secara tulus filosofi sumpah Hipokrates yang pernah diucapnya. Pun para ahli hukum belajar meneladani kisah-kisah para penegak keadilan dalam memihak kaum tertindas. Andai para dokter dan aparat hukum membaca tetralogi Pramoedya Ananta Toer, lalu meresapinya, barangkali masyarakat bakal menyanjung mereka sebagai "pahlawan kehidupan". </p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Indonesia dan juga dunia sekarang ini memerlukan generasi yang punya <em style="box-sizing: border-box; margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-family: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; vertical-align: baseline;">sense of humanities. </em>Generasi inilah yang diharapkan dapat memutus generasi yang krisis rasa kemanusiaannya seperti: tenaga medis yang hanya pamrih menyembuhkan orang- orang berduit; hakim yang memenangkan para pengusaha perusak lingkungan; politisi dan anggota dewan yang korup; serta pejabat negara yang tidak melindungi hak-hak kaum minoritas dan tertindas.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246);">Itulah sebabnya spirit humaniora harus terus bernyala, jangan dibiarkan menuju senjakala.</p><p style="box-sizing: border-box; margin: 0px 0px 12px; padding: 0px; border: 0px; font-family: 'Droid Sans', sans-serif; line-height: 1.5em; font-size: 16px; vertical-align: baseline; color: rgb(0, 0, 0); background-color: rgb(246, 246, 246); font-weight: bold !important; text-transform: uppercase !important;">FADLY RAHMANSEJARAWAN; ALUMNUS PASCASARJANA SEJARAH UGM</p><div><span style="font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; background-color: rgb(246, 246, 246); color: rgb(153, 153, 153); font-size: 0.75em;">Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Senjakala Humaniora".</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; background-color: rgb(246, 246, 246); color: rgb(153, 153, 153); font-size: 0.75em;"><br></span></div><div><span style="font-family: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; background-color: rgb(246, 246, 246); color: rgb(153, 153, 153); font-size: 0.75em;"><br></span></div><div>Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.</div>Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-54769182110958628412016-03-02T02:32:00.001-08:002016-03-02T02:32:51.911-08:00Filosofi AHOK (petikan kata-kata AHOK)<div><span style="font-family: Calibri, 'Slate Pro', sans-serif, sans-serif;">Inilah Beberapa PETIKAN KATA KATA Pak Ahok </span></div><div>yang selalu Membangunkan TIDURKU </div><div>dan Juga Mungkin Tidurmu ....</div><div><br></div><div># Gw memang Cina...</div><div>Tapi Gw dilahirkan dan dibesarkan di indonesia..</div><div>APA SALAH kalo gw ingin membangun Indonesia </div><div>BERSIH dari SISTEM KORUP ?</div><div><br></div><div># Ingat saja pepatah Tiongkok,</div><div>'sebelum bunyi empat paku di atas peti mati kamu, </div><div>kamu tidak bisa Nilai orang lain itu baik atau buruk', </div><div>nanti kamu baru tahu .....</div><div>apa yang saya kerjakan.</div><div><br></div><div># Kalaupun Gua Harus Mati Memperjuangkan Kepentingan Orang Banyak,</div><div>Loe Kagak Bisa BELI CARA MATI " Gua Bosss....</div><div><br></div><div># Saya bilang ke istri..APAPUN yang TERJADI , </div><div>Kamu jangan Pernah MENYALAHKAN TUHAN..</div><div>TUHAN Ngak Pernah Salah ..!</div><div>Jika saya nanti mati karna melawan korupsi ..</div><div>Tulis di Pusara saya : MATI adalah KEUNTUNGAN </div><div>Jika perlu pakai 3 bahasa...Indonesia , mandarin dan inggris</div><div>itupun kalau MAYAT SAYA KETEMU !</div><div><br></div><div># jika KEPALANYA LURUS</div><div>maka yang dibawahnya TIDAK BERANI untuk tidak lurus</div><div><br></div><div># Bedanya kami melakukan pendidikan politik untuk menyadarkan rakyat untuk memilih (pemimpin yang Bersih, Transparan dan Profesional) </div><div>bukan memilih karena diberi baju kaos atau uang.</div><div><br></div><div># Yang dibutuhkan (calon pemimpin) BUKAN suara rakyat saja,</div><div> tetapi bagaimana mendapatkan Hati rakyat</div><div>Terus mencari dan memotivasi pemuda-pemuda idealis, </div><div>terdidik dan mampu secara ekonomi untuk tidak apatis</div><div><br></div><div># ...Bukan sebaliknya mengatas namakan Tuhan</div><div> tetapi menikmati hidup atas penderitaan rakyat miskin</div><div><br></div><div># anda Tak perlu harus angkat senjata atau menyabung nyawa </div><div>seperti pejuang kemerdekaan kita dulu ..</div><div>CUKUP jangan korupsi saja , itu sudah menolong negara .</div><div><br></div><div># "Karena orang miskin akan terus ada. </div><div>Sampai kiamat pasti ada orang yang kurang beruntung.</div><div>Tidak selamanya Orang Miskin Dilupakan</div><div>Untuk itulah Pemerintah seharusnya ada .</div><div><br></div><div># Kita semua ini MUNAFIK ..</div><div>CURI Uang Rakyat dikatakan TIDAK DOSA..</div><div>Main Cewek diam diam dikatakan Tidak dosa</div><div><br></div><div># Jika sistem demokrasi kita engak pilih Orang baik..</div><div>maka orang TIDAK BAIK yang Berkuasa </div><div><br></div><div># Saya sudah MUAK dengan semua kemunafikan itu ..</div><div>setiap hari HARUS DENGAR Keluhan Warga.</div><div>seakan akan selama ini Negara Tak Pernah ada ...</div><div><br></div><div># Jangankan dipanggil Angket ..</div><div>dipanggil TUHAN Saja , Kita udah siap Koq...</div><div>Kita TAU resiko MELAWAN ARUS direpublik ini ..</div><div><br></div><div># Kalau KPK sampai menersangkakan saya </div><div>dengan alasan tidak jelas, </div><div>berarti TAKDIR SAYA juga melawan oknum KPK. </div><div>Top banget, republik ini saya lawan semua</div><div><br></div><div># Saya akan Berhenti Jadi Pemimpin ,</div><div> jika semua pejabat berkelakuan Baik</div><div><br></div><div># Bicara Saya memang Kasar..</div><div>TAPI saya Takkan Pernah mencuri Uang Rakyat .</div><div><br></div><div># "Haknya rakyat dibajak sekelompok politisi. </div><div>Sekelompok orang yang merasa mewakili rakyat." </div><div><br></div><div># Saat ini banyak kepala daerah yang tidak memikirkan rakyat. </div><div>Kepala daerah yang dipilih DPRD hanya berkonsentrasi bagaimana caranya agar anggota dewan senang... </div><div>Agar pertanggungjawabannya dapat diterima </div><div>dan menjaga posisinya tetap aman.</div><div><br></div><div># "Yang namanya bupati, wali kota dan gubernur itu</div><div> enggak pernah ngurusin rakyat....</div><div> Dia cuma mikirin ngurusin DPRD , Karena kan</div><div> yang milih dia balik ke DPRD. </div><div>Jadinya DPRD jadi raja. </div><div>Karena itu rakyat memberontak, </div><div>lagi pula kita enggak merasa diwakilin DPRD kok,</div><div><br></div><div># Saya SIAP Pasang badan...</div><div>Saya SIAP MATI demi membela kepentingan masyarakat Jakarta.</div><div>Jika ada yang macam macam , SAYA yang HADAPI !</div><div><br></div><div>(beredar di WA)</div><div>Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.</div>Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-59051653527530090222016-02-27T02:46:00.001-08:002016-02-27T02:46:24.506-08:00ISTRI BIJAKSANA<div><span style="font-family: Calibri, 'Slate Pro', sans-serif, sans-serif;">Ada seorang pria, tidak lolos ujian masuk universitas, orang tuanya pun menikahkan ia dengan seorang wanita.</span></div><div><br></div><div>Setelah menikah, ia mengajar di Sekolah Dasar. Karena tidak punya pengalaman, maka belum satu minggu mengajar sudah dikeluarkan.</div><div><br></div><div>Setelah pulang ke rumah, sang istri menghapuskan air matanya, menghiburnya dengan berkata: "Banyak ilmu di dalam otak, ada orang yang bisa menuangkannya, ada orang yang tidak bisa menuangkannya. Tidak perlu bersedih karena hal ini. Mungkin ada pekerjaan yang lebih cocok untukmu sedang menantimu."</div><div><br></div><div>Kemudian, ia pergi bekerja keluar, juga dipecat oleh bosnya, karena gerakannya yang lambat.</div><div><br></div><div>Saat itu sang istri berkata padanya, kegesitan tangan-kaki setiap orang berbeda, orang lain sudah bekerja beberapa tahun lamanya, dan kamu hanya belajar di sekolah, bagaimana bisa cepat?</div><div><br></div><div>Kemudian ia bekerja lagi di banyak pekerjaan lain, namun tidak ada satu pun, semuanya gagal di tengah jalan.</div><div><br></div><div>Namun, setiap kali ia pulang dengan patah semangat, sang istri selalu menghiburnya, tidak pernah mengeluh.</div><div><br></div><div>Ketika sudah berumur 30 tahun-an, ia mulai dapat berkat sedikit melalui bakat berbahasanya, menjadi pembimbing di Sekolah Luar Biasa Tuna Rungu Wicara.</div><div><br></div><div>Kemudian, ia membuka sekolah siswa cacat, dan akhirnya ia bisa membuka banyak cabang toko yang menjual alat-alat bantu orang cacat di berbagai kota.</div><div><br></div><div>Ia sudah menjadi bos yang memiliki harta kekayaan berlimpah.</div><div><br></div><div>Suatu hari, ia yang sekarang sudah sukses besar, bertanya kepada sang istri, bahwa ketika dirinya sendiri saja sudah merasakan masa depan yang suram, mengapa engkau tetap begitu percaya kepadaku?</div><div><br></div><div>Ternyata jawaban sang istri sangat polos dan sederhana.</div><div><br></div><div>Sang istri menjawab: sebidang tanah, tidak cocok untuk menanam gandum, bisa dicoba menanam kacang, jika kacang pun tidak bisa tumbuh dengan baik, bisa ditanam buah-buahan; jika buah-buahan pun tidak bisa tumbuh, semaikan bibit gandum hitam pasti bisa berbunga. karena sebidang tanah, pasti ada bibit yang cocok untuknya, dan pasti bisa menghasilkan panen darinya.</div><div><br></div><div>Mendengar penjelasan sang istri, ia pun terharu mengeluarkan air mata. Keyakinan kuat, katabahan serta kasih sayang sang istri, bagaikan sebutir bibit yang unggul;</div><div><br></div><div>Semua prestasi pada dirinya, semua adalah keajaiban berkat bibit unggul yang kukuh sehingga tumbuh dan berkembang menjadi kenyataan.</div><div><br></div><div>Di dunia ini tidak ada seorang pun adalah sampah. Hanya saja tidak ditempatkan di posisi yang tepat.</div><div><br></div><div>Setelah membaca cerita ini, jangan dibiarkan saja, sharing dan teruskan ke orang lain, Anda adalah orang yang berbahagia.</div><div><br></div><div>Delapan kalimat di bawah ini, semuanya adalah intisari kehidupan:</div><div><br></div><div>1. Orang yang tidak tahu menghargai sesuatu, biarpun diberi gunung emas pun tidak akan bisa merasakan kebahagiaan.</div><div><br></div><div>2. Orang yang tidak bisa toleransi, seberapa banyak teman pun, akhirnya semua akan meninggalkannya.</div><div><br></div><div>3. Orang yang tidak tahu bersyukur, seberapa pintar pun, tidak akan sukses.</div><div><br></div><div>4. Orang yang tidak bisa bertindak nyata, seberapa cerdas pun tidak akan tercapai cita-cita nya.</div><div><br></div><div>5. Orang yang tidak bisa bekerjasama dengan orang lain, seberapa giat bekerja pun tidak akan mendapatkan hasil yang optimal.</div><div><br></div><div>6. Orang yang tidak bisa menabung, terus mendapatkan rejeki pun tidak akan bisa menjadi kaya.</div><div><br></div><div>7. Orang yang tidak bisa merasa puas, seberapa kaya pun tidak akan bisa bahagia.</div><div><br></div><div>8. Orang yang tidak bisa menjaga kesehatan, terus melakukan pengobatan pun tidak akan berusia panjang.</div><div>☝☝☝👀☝☝☝</div><div>Sumber: WA</div><div>Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.</div>Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-84175249231208576052015-11-08T21:57:00.001-08:002015-11-08T21:57:39.732-08:00Istri Bijaksana<div><span style="font-family: Calibri, 'Slate Pro', sans-serif, sans-serif;">Ada seorang pria, tidak lolos ujian masuk universitas, orang tuanya pun menikahkan ia dengan seorang wanita.</span></div><div><br></div><div>Setelah menikah, ia mengajar di sekolah dasar. Karena tidak punya pengalaman, maka belum satu minggu mengajar sudah dikeluarkan.</div><div><br></div><div>Setelah pulang ke rumah, sang istri menghapuskan air mata nya, menghiburnya dengan berkata: "Banyak ilmu di dalam otak, ada orang yang bisa menuangkannya, ada orang yang tidak bisa menuangkannya. Tidak perlu bersedih karena hal ini. mungkin ada pekerjaan yang lebih cocok untukmu sedang menantimu."</div><div><br></div><div>Kemudian, ia pergi bekerja keluar, juga dipecat oleh bosnya, karena gerakannya yang lambat.</div><div><br></div><div>Saat itu sang istri berkata padanya, kegesitan tangan-kaki setiap orang berbeda, orang lain sudah bekerja beberapa tahun lamanya, dan kamu hanya belajar di sekolah, bagaimana bisa cepat?</div><div><br></div><div>Kemudian ia bekerja lagi di banyak pekerjaan lain, namun tidak ada satu pun, semuanya gagal di tengah jalan.</div><div><br></div><div>Namun, setiap kali ia pulang dengan patah semangat, sang istri selalu menghiburnya, tidak pernah mengeluh.</div><div><br></div><div>Ketika sudah berumur 30 tahun-an, ia mulai dapat berkat sedikit melalui bakat berbahasanya, menjadi pembimbing di sekolah luar biasa tuna rungu wicara.</div><div><br></div><div>Kemudian, ia membuka sekolah siswa cacat, dan akhirnya ia bisa membuka banyak cabang toko yang menjual alat-alat bantu orang cacat di berbagai kota.</div><div><br></div><div>Ia sudah menjadi bos yang memiliki harta kekayaan berlimpah.</div><div><br></div><div>Suatu hari, ia yang sekarang sudah sukses besar, bertanya kepada sang istri, bahwa ketika dirinya sendiri saja sudah merasakan masa depan yang suram, mengapa engkau tetap begitu percaya kepada ku?</div><div><br></div><div>Ternyata jawaban sang istri sangat polos dan sederhana.</div><div><br></div><div>Sang istri menjawab: sebidang tanah, tidak cocok untuk menanam gandum, bisa dicoba menanam kacang, jika kacang pun tidak bisa tumbuh dengan baik, bisa ditanam buah-buahan; jika buah-buahan pun tidak bisa tumbuh, semaikan bibit gandum hitam pasti bisa berbunga. karena sebidang tanah, pasti ada bibit yang cocok untuknya, dan pasti bisa menghasilkan panen dari nya.</div><div><br></div><div>Mendengar penjelasan sang istri, ia pun terharu mengeluarkan air mata. Keyakinan kuat, katabahan serta kasih sayang sang istri, bagaikan sebutir bibit yang unggul;</div><div><br></div><div>Semua prestasi pada dirinya, semua adalah keajaiban berkat bibit unggul yang kukuh sehingga tumbuh dan berkembang menjadi kenyataan.</div><div><br></div><div>Di dunia ini tidak ada seorang pun adalah sampah. hanya saja tidak ditempatkan di posisi yang tepat.</div><div><br></div><div>Setelah membaca cerita ini, jangan dibiarkan saja, sharing dan teruskan ke orang lain, Anda adalah orang yang berbahagia.</div><div><br></div><div>Delapan kalimat di bawah ini, semuanya adalah intisari kehidupan:</div><div><br></div><div>1. Orang yang tidak tahu menghargai sesuatu, biarpun diberi gunung emas pun tidak akan bisa merasakan kebahagiaan.</div><div><br></div><div>2. Orang yang tidak bisa toleransi, seberapa banyak teman pun, akhirnya semua akan meninggalkannya.</div><div><br></div><div>3. Orang yang tidak tahu bersyukur, seberapa pintar pun, tidak akan sukses.</div><div><br></div><div>4. Orang yang tidak bisa bertindak nyata, seberapa cerdas pun tidak akan tercapai cita-cita nya.</div><div><br></div><div>5. Orang yang tidak bisa bekerjasama dengan orang lain, seberapa giat bekerja pun tidak akan mendapatkan hasil yang optimal.</div><div><br></div><div>6. Orang yang tidak bisa menabung, terus mendapatkan rejeki pun tidak akan bisa menjadi kaya.</div><div><br></div><div>7. Orang yang tidak bisa merasa puas, seberapa kaya pun tidak akan bisa bahagia.</div><div><br></div><div>8. Orang yang tidak bisa menjaga kesehatan, terus melakukan pengobatan pun tidak akan berusia panjang.</div><div> </div><div>~Berbagi sebuah tulisan motivasi yang sangat bagus dengan Anda. Dan terima kasih jika sahabat ku mau membagikannya ke orang lain.</div><div><br></div><div>Dari: whatsapp</div><div><br></div><div><br></div><div>Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.</div>Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-20573920161271552172015-10-27T02:22:00.001-07:002015-10-27T02:22:07.744-07:00Great Minds discuss ideas<div><span style="font-family: Calibri, 'Slate Pro', sans-serif, sans-serif;">Menarik mengamati perkataan dari Eleanor Roosevelt, mantan Presiden USA yg mengatakan:</span></div><div><br></div><div>"Small Minds discuss people,</div><div>Average Minds discuss events,</div><div>Great Minds discuss ideas".</div><div><br></div><div>📌"Pikiran Kecil membicarakan orang.</div><div><br></div><div>📌Pikiran Sedang membicarakan peristiwa.</div><div><br></div><div>📌Pikiran Besar membicarakan gagasan".</div><div><br></div><div>Maka sebagai akibatnya...</div><div>📍PIKIRAN KECIL akan menghasilkan GOSIP.</div><div><br></div><div>📍PIKIRAN SEDANG akan menghasilkan PENGETAHUAN.</div><div><br></div><div>📍PIKIRAN BESAR akan menghasilkan SOLUSI.</div><div><br></div><div>Ketiga jenis pikiran ini ada di dlm setiap otak kita.</div><div>Pikiran mana yg lebih mendominasi kita, begitulah apa yg dihasilkannya.</div><div><br></div><div>Kalo setiap saat otak kita dipenuhi oleh Pikiran Kecil, maka kita akan selalu asyik dgn urusan orang lain, namun tdk mnghasilkan apa2, kecuali perseteruan.</div><div><br></div><div>Tetapi bila Pikiran Besar yg mendominasi, maka ia akan aktif menemukan terobosan baru.</div><div><br></div><div>📌PIKIRAN KECIL senang menggunakan "SIAPA"</div><div><br></div><div>📌PIKIRAN SEDANG senang mnggunakan:"ADA APA"</div><div><br></div><div>📌PIKIRAN BESAR selalu memanfaatkan: "MENGAPA&BAGAIMANA"</div><div><br></div><div>Dalam melihat satu peristiwa yg sama, cth jatuhnya buah apel dari pohon,akan cenderung ditanggapi berbeda.</div><div><br></div><div>📍Si PIKIRAN KECIL akan tertarik dg prtanyaan:"SIAPA SIH YG KEMARIN KEJATUHAN BUAH APEL?"</div><div><br></div><div>📍Si Pikiran Sedang: "APAKAH SKRG BERARTI SDH MULAI MUSIM PANEN BUAH APEL?"</div><div><br></div><div>📍Si PIKIRAN BESAR : "MENGAPA BUAH APEL ITU JATUH KE BAWAH,BUKAN KE ATAS?"</div><div><br></div><div>Dan..pikiran yg terakhir itulah yg konon menginspirasi SIR ISAAC NEWTON menemukan TEORI GRAVITASI-nya yg sgt terkenal!</div><div><br></div><div>Tdk ada satupun prestasi/karya di dunia ini yg dihasilkan o/ Pikiran Kecil.</div><div><br></div><div>Di samping itu, ketiga jenis pikiran ini jg mmpunyai 'MAKANAN' FAVORIT yg berbeda.</div><div><br></div><div>Si PIKIRAN KECIL biasanya senang "melahap"TABLOID, INFOTAINMENT,KORAN MERAH.</div><div><br></div><div>Si PIKIRAN SEDANG amat berselera dgn KORAN BERITA.</div><div><br></div><div>Si PIKIRAN BESAR memilih BUKU yg membangkitkan INSPIRASI.</div><div><br></div><div>So Let's think BIG! * </div><div>Sikap hrs Sederhana , pemikiran Hrs Besar & Luas. </div><div>Let's think Big</div><div><br></div><div>(kiriman dari WA)</div><div>Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.</div>Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-25457261545638949252014-12-03T22:10:00.001-08:002014-12-03T22:10:44.164-08:00"Saya melakukan yang terbaik yang saya tahu, yang terbaik yang saya bisa, dan saya akan terus melakukannya sampai pada akhirnya." (Abraham Lincoln)1. "Saya melakukan yang terbaik yang saya tahu, yang terbaik yang saya bisa, dan saya akan terus melakukannya sampai pada akhirnya." (Abraham Lincoln)
<br>
<br>2. "Saya berkali-kali mengalami kegagalan dalam hidup. Itulah sebabnya saya bisa seperti sekarang ini." (Michael Jordan)
<br>
<br>3. "Jika segala sesuatu tampak menjadi kacau, jangan ikut bingung." (Roger Babson)
<br>
<br>4. "Orang-orang yang terjerumus ke dalam masalah adalah mereka yang senantiasa membawa masa lalu." (John F. Welch Jr.)
<br>
<br>5. "Anda dapat kaya lebih cepat jika bekerja lebih keras, lebih cerdik, lebih bertanggung jawab, dan lebih berhati-hati." (Erich Watson)
<br>
<br>6. "@ao_Buddha: Saat kematian, kita meninggalkan apa yang kita anggap sebagai milik kita."
<br>
<br>7. "Saya belum pernah melihat orang meninggal karena terlalu banyak bekerja, tapi banyak yang karena ragu." (Charles Mayo)
<br>
<br>8. "@Crazy_Golfer: "No matter how well you perform, there's always somebody of intelligent opinion who thinks it's lousy." - Sir Laurence Olivier"
<br>
<br>9. "Saya ingin menyelesaikan tugas yang besar dan mulia, tetapi tugas saya yang utama adalah menyelesaikan tugas-tugas kecil seolah-olah itu adalah tugas yang besar dan mulia." (Helen Keller)
<br>
<br>Dari berbagai sumber.
<br>Powered by Telkomsel BlackBerry®Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-87562874519320901272014-11-24T01:46:00.001-08:002014-11-24T01:46:31.964-08:00Merenungi Epistemologi Bencana (Eko Yulianto)MESKI tak menyebabkan jatuhnya korban jiwa, gempa kuat dengan skala magnitudo 7,3 di Laut Maluku Utara pada 15 September 2014 kembali mengejutkan masyarakat.<br>Media cetak, media elektronik, dan media sosial nasional berlomba-lomba memuat penjelasan para ahli dan para birokrat penanggulangan bencana tentang mengapa gempa ini bisa terjadi. Pola ini selalu terulang dalam setiap kejadian bencana. Meski mungkin menarik dari sudut pandang keilmuan, penjelasan para ahli itu justru lebih sering melahirkan ketakutan generik di masyarakat. Ini karena penjelasan-penjelasan itu sering menyebutkan secara tersamar ataupun terbuka bahwa wilayah Indonesia adalah rawan bencana. Posisi geografis dan geologis Indonesia dijadikan alasannya. Namun, apakah dengan posisi geografis dan geologis itu, bencana, khususnya yang selama ini disebut sebagai bencana alam, adalah sebuah keniscayaan di wilayah Indonesia?<p>Egoistik manusia<br>Sesungguhnya bencana bukanlah bencana alam atau bencana non-alam, atau bencana sosial seperti didefinisikan di dalam UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kalau ini anggapan kita dan yang kita ajarkan kepada masyarakat dan anak- anak kita, ibaratnya kita sedang mengajarkan kepada mereka untuk menyalahkan kodok saat terjatuh ketika sedang berjalan. Karena, perilaku alam bersifat netral. Anggapan baik dan buruknya muncul karena pandangan egoistik manusia. Alam dikodratkan bersifat pasif sehingga hanya bisa merespons. Alam ibarat sebuah cermin yang hanya bisa memantulkan apa yang dihadapkan kepadanya. Jika kebaikan yang kita hadapkan kepadanya, kebaikan pula yang akan kita terima. Keburukan yang kita sodorkan kepadanya, keburukan pula yang kita dapatkan.<p>Gunung meletus, gempa bumi, longsor, banjir, tsunami, dan angin puting beliung sudah ada sejak ada bumi, jauh sebelum kehadiran manusia. Semua itu termasuk kodrat yang telah ditetapkan bagi bumi. Ada atau tidak ada manusia, bumi tetap akan berperilaku sesuai kodratnya itu. Gunung-gunungnya tetap akan meletus, gempa-gempanya tetap akan terjadi, tsunaminya tetap berulang kali melanda daratan, longsornya tetap menyambangi lereng-lereng terjal, hujan-hujan derasnya setia mengguyur wilayah-wilayah tropisnya, angin puting beliungnya akan berulang kali mengunjungi. Karena, itu semua adalah "napas bumi", bukti bahwa bumi ini hidup.<p>Sebagai gambaran nyata, tsunami Aceh pada 26 Desember 2004, yang merenggut ratusan ribu nyawa manusia, bukanlah yang pertama kali terjadi. Hasil penelitian geologi terkini memberikan bukti bahwa tsunami serupa pernah terjadi di tempat yang sama sekitar 550, 1.700, dan 2.400 tahun yang lalu.<p>Seandainya penelitian geologi dilakukan untuk rentang waktu yang lebih panjang, mungkin kita akan mendapatkan bukti untuk ratusan tsunami serupa yang terjadi dalam rentang waktu ribuan, ratusan ribu, atau jutaan tahun yang lalu. Yang membedakan tsunami 2004 dengan tsunami-tsunami sebelumnya adalah tsunami sebelumnya tidak mengakibatkan bencana. Karena sangat sedikit manusia atau tidak ada manusia sama sekali yang tinggal di dataran pantai saat tsunami-tsunami itu terjadi.<p>Gempa, bahkan dengan magnitudo terbesar sekali pun, tidak ada dan tidak akan mengakibatkan kematian. Yang menyebabkan kematian adalah robohnya bangunan, terjadinya tanah longsor, kebakaran, atau hal lain akibat guncangan gempa. Jadi, kalau kita mampu membuat bangunan dan rumah yang tahan atau ramah gempa, niscaya kita tidak akan menjadi korban gempa akibat tertimpa rumah kita sendiri. Kalau kita tidak tinggal di dataran pantai yang rawan tsunami, tetapi di atas bukit di belakangnya, niscaya kita tak akan jadi korban tsunami. Kalau kita tak membangun rumah di lereng terjal, niscaya kita tak akan menjadi korban tanah longsor. Kalau kita tidak menebangi hutan secara membabi buta, tidak tinggal di bantaran sungai, dan tidak membuang sampah di sungai, niscaya kita tidak akan kebanjiran. Kalau kita berlaku baik dan sewajarnya kepada semua orang tanpa pandang bulu, niscaya tidak akan ada kerusuhan sosial.<p>Pada sisi lain, mekanisme yang menghasilkan gempa-gempa inilah yang mengangkat daratan Indonesia dari dasar lautan sejak jutaan tahun lalu, membentuk pulau-pulau, bukit, dan gunung dengan segala keindahan di dalamnya. Gempa-gempa itu pula yang retakan-retakannya menjadi ruang-ruang yang saat ini ditempati oleh minyak bumi, emas, perak, tembaga, dan berbagai bahan tambang yang lain.<p>Gunung meletuslah yang membuat tanah-tanah menjadi subur dan air tersimpan melimpah di dalam tanahnya. Longsor dan banjirlah yang menghamparkan sedimen dan membentuk tanah-tanah datar yang subur dan nyaman ditinggali. Curah hujan yang sangat tinggilah yang menghidupkan tumbuhan setelah matinya dan menghidupi semua makhluk lainnya. Lalu, adilkah kalau kita menyalahkan perilaku-perilaku bumi sebagai penyebab terjadi bencana?<p>Membangkitkan kesadaran<br>Maka, jika kita tidak menghendaki gempa, gunung meletus, longsor, dan banjir itu karena menuduhnya sebagai biang keladi semua bencana yang terjadi selama ini, adilnya kita mesti menolak anugerah minyak, segala bahan tambang, kesuburan tanah, melimpahnya air, serta kekayaan flora dan fauna yang ada di bumi Indonesia saat ini.  Kalau hingga saat ini gempa, tsunami, tanah longsor, banjir, musim kemarau panjang, angin puting beliung, kebakaran, kerusuhan sosial, dan kegagalan teknologi masih menyebabkan banyak kerugian dan korban, semua itu terjadi karena perilaku kita. Ini berarti masih banyak perilaku kita yang harus diperbaiki. Selama perilaku kita masih belum baik kepada alam sekitar dan kepada sesama kita, niscaya bencana-bencana masih akan terus terjadi.<p>Banyak dari kita yang bahkan "menyalahkan" Tuhan ketika bencana menimpa. Katanya, Tuhan sedang murka atau sedang menghukum karena perilaku buruk kita. Namun, bukankah kasih sayang-Nya jauh mendahului murka-Nya? Dia jadikan bencana itu pantulan cermin atas perilaku kita. Ia jadikan bencana itu jalan untuk membangkitkan kesadaran kita untuk segera mengubah perilaku buruk kita menjadi perilaku baik. Karena itu, cermin tersebut masih akan terus disodorkan oleh-Nya sepanjang perilaku kita kepada diri kita sendiri, lingkungan, dan sesama manusia masih buruk. Dia menginginkan manusia bisa hidup nyaman di bumi yang sejak semula diciptakan dipenuhi-Nya dengan berbagai keindahan.<p>Jadi, untuk bagian bumi yang saat ini disebut sebagai wilayah Indonesia, kejadian gempa, tsunami, letusan gunung api, banjir, dan tanah longsor adalah sebuah keniscayaan. Karena, begitulah kodrat bagi bumi tempat kita tinggal ini telah ditetapkan oleh-Nya. Semua fenomena itu adalah tanda-tanda bahwa "bumi kita hidup". Namun, bahwa kejadian-kejadian itu akan mengakibatkan bencana bagi kita, barulah sebatas kemungkinan.<p>Sebagai sebuah perenungan, dapatlah disampaikan bahwa bencana sesungguhnya adalah jalan Tuhan untuk membangkitkan kesadaran. Adalah tangan yang membuat seorang anak mampu merangkak dari semula duduk, lalu berdiri, berjalan tertatih dan kemudian sempurna, lalu berlari. Inti dari bencana bukanlah kerugian, kehilangan, kesakitan, kepedihan, atau penderitaan. Ia adalah sebuah cermin besar yang disediakan. Ia mestinya membangkitkan kesadaran tentang masih banyaknya noda yang mengotori wajah-wajah peradaban kita.<p>Eko Yulianto<br>Peneliti Paleotsunami dan Kebencanaan LIPI<p>Sumber: <a href="http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010209694">http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010209694</a> <br>
<br>Powered by Telkomsel BlackBerry®Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-83751123875268372922014-11-10T05:55:00.001-08:002014-11-10T05:55:15.507-08:00Pengertian Kafir (perspektif Kristiani)Kafir - pagans - Terjemahan kata Latin 'paganus' yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang tinggal di desa-desa pelosok dalam kekaisaran Romawi. Mereka ini menerima pewartaan Injil dan kemudian menjadi Kristiani sesudah orang-orang kota. Dalam Perjanjian Lama (PL) dipakai kata 'goyim' (Ibrani: bangsa-bangsa) untuk menyebut orang-orang yang tidak mengenal Allah yang benar (Ul 7:1; Mzm 147:20). PL menolak penyembahan berhala yang dilakukan oleh orang-orang ini, sekaligus menyatakan bahwa karya penyelamatan Allah juga menyangkut orang-orang ini (Yes 2:1-4; 49:6; 60:1-3; Am 9:7, Yun). Abraham dipanggil untuk menyampaikan berkat ilahi kepada seluruh umat manusia (Kej 12:1-3). PL juga memperkenalkan tokoh-tokoh "kafir" yang suci seperti Melkisedek, Ratu Syeba, Ayub, dan Ruth. Santo Paulus menyatakan bahwa Allah berkenan membenarkan baik orang Yahudi maupun bangsa-bangsa lain (Rm 3:29; 9:24; 15:8-12; lih. Luk 2:29-32). Penganut agama-agama lain sering kali disebut "kafir" dalam arti yang tidak baik. Takhayul dan praktek-praktek keagamaan asli yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah menjadi Kristiani juga disebut kafir. Konsili Vatikan II menghindari penggunaan kata "orang kafir" dan lebih memilih istilah "bangsa-bangsal (Latin, gentes) yang masih perlu menerima pewartaan injil.
<br>
<br>Sumber: Sumber: Gerard O'Collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ dalam Kamus Teologi, Kanisius: Yogyakarta 1996
<br>Powered by Telkomsel BlackBerry®Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-91622046493602948742014-11-10T05:25:00.001-08:002014-11-10T05:25:52.718-08:00Definisi AgamaAgama
<br>
<br>Religion - (Latin. 'diikat'). Pada dasarnya agama adalah sikap dasar manusia yang seharusnya kepada Allah, Pencipta, dan Penebusnya. Agama mengungkapkan diri dalam sembah dan bakti sepenuh hati kepada Allah yang mencintai manusia. Karl Barth (1886-1968) melawankan iman (yang didasarkan pada Sabda Allah dan tergantung pada rahmat ilahi) dengan 'agama' yang ia sebut melulu sebagai hasil usaha manusia yang tidak ada gunanya.
<br>
<br>Agama-agama
<br>
<br>Religion - sistem kepercayaan kepada Yang Ilahi dan tanggapan manusia kepada-Nya, termasuk kitab-kitab yang suci, ritus kultis, praktik etis para penganutnya. Orang-orang Kristiani pada umumnya dan orang-orang Katolik pada khususnya diharapkan dapat hidup dalam tegangan antara tugas evagelisasi dan dialog, yang masing-masing dikemukakan dalam Dekrit Ad Gentes (tentang kegiatan misioner Gereja) dan Nostra Aetate (tentang hubungan Gereja dengan agama-agama bukan kristiani) dari Konsili Vatikan II.
<br>
<br>Agama-agama Dunia
<br>
<br>World Religions - agama-agama besar yang disebut demikian karena usia, jumlah penganut, dan ajarannya. Setiap daftar mengenai agama-agama ini selalu dapat dipermasalahkan, namun sekurang-kurangnya dapa disebutkan: agama Kristiani, Yahudi, Islam, Budhisme, Hinduisme, dan Taoisme.
<br>
<br>Sumber: Gerard O'Collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ dalam Kamus Teologi, Kanisius: Yogyakarta 1996
<br>Powered by Telkomsel BlackBerry®Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-68131971214473309592014-11-07T09:12:00.001-08:002014-11-07T09:12:48.359-08:00Egoisme (Filsafat)Pengertian
<br>
<br>Egoisme adalag doktrin yang mengatakan bahwa semua tindakan seseorang terarah atau harus terarah kepada diri sendiri.
<br>
<br>Pandangan Beberapa Filsuf
<br>
<br>1. Hobbes membentangkan pandangan mengenai hakikat manusia. Baginya, tiap individu tidak dapat tidak mencari kepentingannya sendiri.
<br>
<br>2. Giulio Clement Scotti dalam Satire "La Monarchie des Solipses", melukiskan masyarakat sebagai orang-orang yang mencari dirinya sendiri. Di sini kadang istilah "egois" dan "solipsis" dipakai bergantian.
<br>
<br>3. Max Stirner memandang egoisme sebagai tujuan hidup.
<br>
<br>
<br>Jenis Egoisme
<br>
<br>Terdapat dua macam egoisme: egoisme etis dan egoisme psikologis. Egoisme etis adalah pandangan bahwa a) setiap pribadi hendaknya bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan kepentingannya sendiri; b) hedonisme etis egois: kesejahteraan tertinggi dalam hidup semestinya untuk memperoleh sebanyak-banyaknya kepuasan (kenikmatan, tujuan, hasrat, kebutuhan) bagi dirinya sendiri; c) eudemonisme etis egois: sukse dan kebahagiaan diri sendiri hendaknya menjadi nilai pertama dan terakhir dan semua nilai lainnya datang darinya.
<br>
<br>Egoisme psikologis mengacu pada a) tesis bahwa semua individu pada kenyataannya sungguh-sungguh mencari kepentingannya sendiri pada setiap waktu; b) teori bahwa semua tindakan manusia, sadar atau tidak sadar, digerakkan oleh suatu hasrat akan kesejahteraan dan kepuasan diri sendiri; bahwa seseorang bertindak demi kepentingan orang lain, itu hanya tampaknya saja.
<br>
<br>Berkaitan (tetapi tidak persis sama) dengan egoisme adalah egotisme (egotism). Yang disebut terakhir ini berarti a) kecongkakan diri yang menjijikkan, puji-diri berlebihan, mengagung-agungkan diri, dan b) hidup hanya demi pemuasan kepentingan, hasrat, kebutuhan sendiri dan cita rasa belaka.
<br>
<br>Sumber: Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia, 2002
<br>Powered by Telkomsel BlackBerry®Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-30720822750125076272014-11-03T15:05:00.001-08:002014-11-03T15:05:03.779-08:00Sikap Mental ”Orang Bersih” (Saifur Rohman)PARA menteri yang diumumkan Presiden pada Minggu (26/10) didahului oleh isu penting tentang hadirnya "orang bersih".<br>Hal itu merupakan tindak lanjut dari hasil penelusuran institusional yang ditengarai mampu menentukan seseorang sebagai "bersih" dan "tidak bersih". Setelah pengumuman, Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan ada delapan orang dari 34 menteri memiliki label "kurang bersih" (Senin, 27/10). Institusi tersebut menyatakan nilai moral itu dengan cara memberi identitas merah, kuning, dan hijau. Merah berarti memiliki individu bermasalah, kuning berarti ada potensi memiliki masalah hukum, dan hijau berarti bersih dari masalah. Dengan begitu, menteri haruslah memiliki label "hijau" dari institusi yang dimaksud.<p>Moralitas versus hukum <br>Atas dasar pengertian itu, "orang bersih" dapat dimengerti sebagai individu yang tidak memiliki kasus-kasus hukum. Lagi pula, cita-cita reformasi sebagaimana dituangkan dalam naskah perundang-undangan adalah hadirnya individu yang bebas dari praktik  korupsi, kolusi, dan nepotisme. Apabila "orang bersih" itu dimaknai orang yang bebas dari kasus hukum, bagaimana  kasus lain yang terkait dengan sikap mental mereka? Model sikap seperti apakah "orang-orang bersih" yang akan membantu Presiden selama lima tahun nanti?<p>Dalam pengalaman formal di masyarakat, rekam jejak individu ditentukan oleh institusi kepolisian. Polri mengeluarkan surat keterangan sebagai catatan kepolisian. Surat itulah yang kemudian disebut dengan "perilaku baik". Kendati demikian, surat keterangan itu bukanlah jaminan terhadap sikap mental yang dimiliki individu. Itulah kenapa dalam pencarian sumber daya manusia di sebuah perusahaan tak hanya dibutuhkan seseorang yang memiliki prestasi bagus, tetapi juga sikap mental yang tepat untuk posisi tertentu. Tak aneh jika korporat-korporat besar melakukan terobosan untuk mengetahui sikap mental calon pegawai melalui penelusuran terhadap media sosial yang dimiliki.<p>Logika ini berupaya untuk menyatakan bahwa Indonesia sebagai sebuah "perusahaan besar" dianggap telah memiliki sebuah mekanisme pendidikan untuk menghasilkan warga negara yang "bersih". Karena itu, dalam pola pikir pendidikan dikenal empat indikator keberhasilan pendidikan terhadap individu, yakni kemampuan spiritual, sosial, kognitif, dan psikomotorik. Dalam praktiknya sekarang, ukuran-ukuran yang dapat ditembus oleh institusi-institusi formal itu adalah kemampuan kognitif dan psikomotorik seorang pejabat.<p>Kebijakan-kebijakan sebelumnya dapat dinilai dengan variabel-variabel kinerja, sedangkan karya pejabat dilihat berdasarkan efek terhadap publik. Sementara kemampuan spiritual dan sosial tidak mendapatkan perhatian yang proporsional. Institusi formal tidak mampu menembus tingkat kesalehan seseorang kepada Tuhan dan kesantunan kepada orang lain.<p>Masalahnya, pencapaian pembelajaran dari individu tidak pernah diukur melalui penelusuran diskursif. Dalam teori-teori wacana ditunjukkan tentang cara menguak maksud-maksud terselubung yang tidak bisa ditembus dengan pemaknaan formal.<p>Untuk mengetahui keadaan sesungguhnya, Jurgen Habermas, filsuf Jerman, pernah membuktikan teknik pengujian melalui teknik kesungguhan dan kebenaran. Kesungguhan mengacu kesadaran seorang penutur melalui kalimat yang harus diulang dalam wacana dan kebenaran mengacu pada fakta-fakta yang memadai untuk mendukung wacana. Praktik pembelajaran individu yang praktis, empiris, dan pragmatis selama ini menjadi orientasi fundamental untuk menemukan aparat negara.<p>Sikap mental para menteri<br>Itulah kenapa kita tidak harus merasa aneh apabila melihat "orang bersih" ternyata memiliki perilaku tidak santun. Ditemukan bukti, seorang perempuan yang menjadi menteri sedang merokok ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan. Demikian pula tidak aneh apabila beberapa menteri yang baru dilantik ditemukan sedang duduk di emperan gedung Istana Presiden sambil mengisap rokok sehingga ditegur oleh Paspampres.<p>Berdasarkan fakta-fakta di atas, kita bisa menganalisis wacana yang muncul setelah pelantikan. Alhasil, sebetulnya kita telah memperoleh gambaran tentang sikap mental para pembantu Presiden itu. Pertama, menteri yang tak sopan. Bukti, merokok dalam komunikasi formal jelas menimbulkan pertanyaan etis ketimbang pertimbangan efisiensi. Dalam pergaulan publik memerlukan sebuah etiket yang dipatuhi pejabat.<p>Seorang menteri yang tidak memahami etiket komunikasi akan berdampak terhadap perilaku publik. Orang-orang yang diduga memiliki sikap tidak etis memang tidak menjadi bagian dari ranah yuridis, tetapi tetaplah menjadi bagian dari ingatan kolektif yang buruk.<p>Kedua, menteri pragmatis. Pejabat ini akan mengedepankan tujuan-tujuan jelas yang harus dilalui dengan permainan yang aman. Manusia yang tak bermasalah bukan berarti bersih karena ia bisa jadi sangat mengerti teknik-teknik permainan dalam sistem birokrasi. Bukti, menteri yang berasal dari kalangan pebisnis sangat jelas bertindak pragmatis. Demikian pula munculnya dugaan kasus yang belum tuntas pada seorang menteri jelas ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kemampuan pribadi keluar dari jeratan hukum.<p>Ketiga, menteri yang politis. Pejabat jenis ini memiliki kepentingan golongan yang tak bisa dinafikan begitu saja. Bukti, lebih dari separuh Kabinet Kerja merupakan orang-orang yang mengabdikan diri dalam organisasi politik. Hal itu akan berimplikasi secara ideologis terhadap setiap kebijakan yang muncul pada masa yang akan datang. Sistem yang bersih tak selalu berkorelasi hadirnya orang bersih. Kasus-kasus yang muncul dari partai selama ini menunjukkan tentang ketidakmampuan sistem membentuk sikap mental individu secara internal. Pandangan psikologi klinis menunjukkan pentingnya mengetahui motif terselubung, kepentingan yang tak terlihat, hingga taktik permainan dalam mekanisme birokrasi.<p>Jadi, pernyataan tentang "orang-orang bersih" dari institusi tetaplah tak bisa lepas dari petuah leluhur tentang hukum "mendulang air tepercik ke muka sendiri". Mekanisme formal cukuplah menunjukkan catatan hukum yang tak bisa dianggap sebagai bagian catatan moralitas, etiket, bahkan sikap mental menteri lima tahun mendatang.<p>Saifur Rohman Pengajar di Program Doktor Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta<p>Sumber: <a href="http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009808056">http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009808056</a>
<br>Powered by Telkomsel BlackBerry®Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-20141564280176723242014-10-31T08:11:00.001-07:002014-10-31T08:11:40.857-07:00Pengertian Indulgensi (Teologi)Indulgences - pembebasan dari hukuman sementara yang disebabkan oleh dosa, yang sudah disesali dan diampuni. Penghapusan hukuman ini diberikan berkat jasa Kristus yang tanpa batas dan keikutsertaan orang-orang kudus dalam sengsara dan kemuliaanNya. Dalam sejarah Gereja zaman dulu, doa orang-orang yang menantikan kematian sebagai martir dapat mengurangi hukuman keras yang dijatuhkan kepada para pendosa yang bertobat. Pada abad keenam belas, penyalahgunaan pemberian indulgensi menyulut api reformasi. Hak untuk memberikan indulgensi pada dasarnya dipegang oleh Takhta Suci. Indulgensi penuh menghapuskan seluruh hukuman, sejau syarat-syarat untuk penerimaannya dipenuhi. Baik indulgensi sebagian maupun penuh dapat diberikan kepada orang-orang yang sudah meninggal di api penyucian. Dalam Apostolik Indulgentiarum Doctrina (1967), Paulus VI membatasi indulgensi penuh dan menekankan pentingya pertobatan pribadi dalam hati (Lih. DS 1467; KHK 929-997)
<br>
<br>
<br>Sumber: Gerard O'Collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ dalam Kamus Teologi, Kanisius: Yogyakarta 1996
<br>Powered by Telkomsel BlackBerry®Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-42496928395957525692014-10-10T17:30:00.001-07:002014-10-10T17:30:14.576-07:00Mencari Filsafat Indonesia: Pluralisme (Tommy F AwuyyPADA  19-20 September lalu diadakan Simposium Internasional Filsafat Indonesia: "Mencari Sosok Filsafat Indonesia".<br>Sebuah peristiwa yang teramat penting, khususnya bagi sejarah filsafat di Indonesia dan tentu saja diharapkan bisa memberikan kontribusi besar bagi kemajuan kebudayaan dan pendidikan secara umum. Tema "Mencari Sosok Filsafat Indonesia" langsung menggelitik!<p>Kata 'mencari' dalam filsafat memiliki arti khusus, yakni energi dasar yang membuatnya bergeliat hidup. Adapun istilah 'sosok' dan 'filsafat Indonesia' bisa dibaca sebagai dua istilah yang merangsang masalah; 'sosok' mengacu pada manusia-personal dan 'filsafat Indonesia' sebagai sebuah frase yang mengacu pada sistem produk konvensi yang nonpersonal. Bagaimana kedua istilah ini bisa berpadu?<p>Apakah Indonesia belum punya sistem filsafat dalam pengertian tunggal-akademis? Belum memiliki argumen-argumen dasar bagi berdirinya sebuah sistem pemikiran selayaknya filsafat sistematik dengan pilar-pilarnya seperti "ontologi/metafisika", "epistemologi", dan "aksiologi"? Tema "Mencari Sosok Filsafat Indonesia" tak lain bertujuan menjawab pertanyaan di atas.<p>Filsafat sistematik-akademis jelas bukan produk bangsa kita. Bahkan, sebagai bangsa pun kita masih asing dengan sebutan filsafat sistematik-akademis itu. Kita hanya dekat dengan turunannya bernama ilmu pengetahuan. Tak akan terdengar demikian signifikannya oleh bangsa ini bahwa sebuah negara bangkit jadi besar karena filsafatnya.<p>Sejarah filsafat<br>Filsafat sistematik-akademik adalah produk bangsa Yunani Kuno. Model atau paradigma institusinya, perguruan tinggi, didirikan Plato lalu diikuti muridnya, Aristoteles (Academy dan Lyceum). Tak pelak, siapa pun yang mempelajari filsafat menjadi suatu keniscayaan haruslah terlebih dulu mempelajari filsafat Yunani Kuno. Sebab, dari sanalah fondasi filsafat sistematik itu kita peroleh.<p>Apakah dengan demikian apabila kita mempelajari filsafat maka artinya kita hanya mengikuti filsafat Yunani Kuno? Jelas tidak! Filsafat merupakan disiplin berpikir yang sangat terbuka dan terutama bertolak dari soal-soal keseharian dari mana kita berada. Berpikir terbuka mengisyaratkan melihat ke berbagai arah, seluas-luasnya, dengan kemungkinan berhenti sejenak pada horizon tertentu, lalu bergerak lagi. Berpikir terbuka adalah pengembaraan yang sangat menantang, indah, dan abadi.<p>Filsafat tidaklah muncul dalam ruang tunggal dan monoton. Awal munculnya Filsafat Yunani Kuno bernapaskan pertemuan berbagai kebudayaan atau transgeografi. Sejarah filsafat Yunani biasanya dibagi tiga periode: pra-Sokrates, Sokrates, dan post-Sokrates. Para filsuf pra-Sokrates, pendiri, seperti Pherecydes, Anaximandros, Anaximenes, dan Pythagoras membangun filsafat dari berbagai pengaruh dalam perjalanan intelektual mereka. Kosmologi, teologi, sistem angka dan hitungan dalam filsafat pra-Sokrates itu bersinggungan erat dengan konsepsi yang ada di alam pikiran bangsa India dan Persia, misalnya.<p>Filsafat pada awalnya sudah menunjukkan model berpikir sinkretisme. Kesadaran akan realitas pun terbentang luas dan jelas antara kesadaran akan "yang satu" dan "yang banyak". Filsuf pra-Sokrates, Empedokles, menekankan dasar realitas adalah banyak (plural) terdiri dari air, udara, api, dan sebagainya. Pluralisme dalam filsafat sesungguhnya bukanlah 'barang' baru.<p>Semangat sinkretisme antar- kosmologi yang berbeda dan konsepsi pluralisme yang bertujuan mencari akar (radix) realitas terus berlangsung hingga kini. Filsafat Yunani Kuno diinterpretasi oleh para pemikir sesuai kondisi kosmologis dari mana mereka hidup. Muncul kemudian dengan label besar seperti filsafat Jerman, Inggris, Perancis, Amerika, dan Spanyol tak lepas dari sejarah awal sinkretisme dan pluralisme filsafat Yunani Kuno tersebut. Pada puncaknya terbagilah demarkasi filsafat Barat dan filsafat Timur dengan kekhasannya masing-masing. Keduanya terus berkelindan tanpa pertentangan substansial yang serius. Dalam banyak pemikiran filsuf Barat kita bisa temukan pengaruh kebijakan Timur, juga sebaliknya.<p>Merawat pluralisme<br>Filsafat muncul dari pertanyaan dan percakapan dengan realitas, peristiwa keseharian, ritual, mitologi, sastra, dan lain-lain. Setiap negara dan bangsa memiliki latar belakang atau infrastruktur seperti itu.<p>Para bapak dan ibu pendiri Republik Indonesia, bahkan para pujangga Nusantara, sudah berpikir filosofis dengan caranya masing-masing. Terutama sejak dilaksanakannya "politik etis" oleh Belanda mereka berkenalan dan akrab dengan filsafat Barat. Mohammad Yamin, Hatta, Soekarno, Sjahrir, Soepomo, Tan Malaka, Kartini, Sam Ratulangi, Soenaryo, S Takdir Alisjahbana, Driyarkara, Soedjatmoko, sedikit saja nama-nama dari banyaknya pemikir kita yang dari tulisan-tulisan mereka jelas bergelut dengan filsafat Barat. Sampai sejauh mana keterpengaruhan filsafat Barat  dalam membangun "keindonesiaan" itu jelas masih butuh interpretasi-interpretasi intertekstual secara intens.<p>Konsep republik, revolusi, batang tubuh UUD 1945, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan lain-lain tentu tak jatuh langsung dari langit. Semua itu merupakan pergumulan pemikiran filosofis dalam kurun waktu cukup lama dan sinkretik, dari berbagai fragmen kebijakan suku-suku, agama, ras, dan filsafat Barat.<p>Tak terelakkan negara dan bangsa Indonesia berdiri di atas semangat pluralisme. Bhinneka Tunggal Ika merupakan rumusan filosofis yang begitu terbuka untuk didalami, menyimpan benih yang sangat mungkin menjelma sebagai filsafat sistematik, akademis, dan tentu ideologis. Namun, sekaligus banalitas akan begitu saja muncul dari sana jika kita hanya membaca atau memaknainya sekadar slogan politik dan 'artefak' dengan perspektif budaya yang sempit.<p>Indonesia sebagai negara kesatuan dari dasar bangunan sinkretik-pluralisme adalah sebuah kata kerja. Kesadaran historik kenusantaraan hingga kini senantiasa ditandai oleh konsep "menjadi". Pluralisme menunjukkan sebuah kesadaran kosmologis bangsa sebagai ketersediaan ruang-ruang untuk bebas bergerak, berekspresi, berkarya, dalam merawat konsep "menjadi" itu.<p>Filsafat sistematik dan akademis sangat dibutuhkan dalam merawat pluralisme karena dari disiplin ini kita diajak untuk mengkritisi keberagaman kesadaran kosmologis yang historik itu. Membangun filsafat sistematik bernapaskan pluralisme menjadi filsafat Indonesia bukanlah harapan kosong atau mengada-ada. Dari bapak dan ibu bangsa, tradisi itu sebenarnya sudah ditebar, disemai, dan dipetik, bahkan memanennya sebagai negara-bangsa yang berdaulat.<p>Filsafat pluralisme bagi sebuah negara di sini bukanlah identik dengan negara sebagai lembaga formal-pemaksa yang memegang otoritas penuh bagi keberlangsungan hidupnya. Filsafat sistematik yang bernapaskan pluralisme beroperasi dan hidup dalam masing-masing pemikiran personal maupun komunitas, sebagai fragmen-fragmen kewilayaan. Kesadarannya hadir dalam kebersamaan yang terus saling menyapa dan memberdayakan.<p>Bagaimanapun, filsafat pluralisme bagi Indonesia, sama halnya dengan kesadaran negara dan bangsa lain, bukanlah<br>bentangan jalan yang mulus.<br>Tepatnya konsep pluralisme adalah sebuah taruhan menghadapi kemungkinan konflik-konflik yang tak terhindarkan. Namun dengan pluralisme itulah kita tertantang menjadikannya potensi kreatif, bukan serta-merta menghindar, apalagi melenyapkannya dengan alasan ancaman bagi kesatuan.<p>Filsafat sistematik di sini kita maknai sebagai konsep sinkretisme dan pluralisme. Simposium Internasional Filsafat Indonesia sekiranya bisa memunculkan kesadaran bagi kebutuhan metodik untuk mendalami lebih jauh lagi makna filsafat ini.<p>Tommy F Awuy <br>Dosen Filsafat FIB UI<p>Sumber: <a href="http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009342319">http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009342319</a>
<br>Powered by Telkomsel BlackBerry®Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-83661225345218556312014-09-16T17:04:00.001-07:002014-09-16T17:04:42.391-07:00PEMIKIRAN: Filsafat Tetap Aktual pada Segala ZamanFilsafat sebagai induk dari ilmu pengetahuan memiliki tiga fungsi utama, yaitu memberi kritik terhadap ideologi, mencari arah dan menegaskan identitas, serta sebagai sarana dialog berdasarkan kesetaraan dan persamaan. Karena itulah, filsafat tidak pernah kehilangan fungsi dan tetap aktual di segala konteks zaman.<br>"Jika kita mau mencari wajah filsafat Indonesia, di sinilah kita mendapatkan ruangnya karena filsafat memiliki fungsi kritis terhadap ideologi, berperan penting untuk mencari arah dan menegaskan identitas bangsa, dan menjadi sarana bagus untuk berdiskusi," tutur dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Simon Lili Tjahjadi, Selasa (16/9), di Jakarta.<p>Ironisnya, di Indonesia hingga sekarang filsafat belum mendapat tempat yang layak di panggung pendidikan. Padahal, pada zaman sekarang, kehadiran filsafat sangat dibutuhkan untuk memberi kritik kritis terhadap ideologi, dogma-dogma ilmu pengetahuan, serta makna-makna palsu.<p>"Di Indonesia dukungannya sangat lemah, sekarang hanya ada dua universitas negeri, yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada yang punya Program Studi (prodi) Filsafat. Prodi ini juga tidak masuk dalam prioritas rektor-rektor yang bersangkutan," kata dosen STF Driyarkara, Franz Magnis-Suseno.<p>Menurut Magnis, di dalam kehidupan akademik, ilmu filsafat semestinya selalu mendapat tempat. Apalagi, di zaman sekarang filsafat dibutuhkan untuk mengkritik kondisi bangsa.<p>Budayawan Jaya Suprana mengatakan, Indonesia sebenarnya juga memiliki filsuf-filsuf yang diakui luar negeri. Dalam kamus filsuf yang diterbitkan University Presses of France 1984 tercatat beberapa nama filsuf Indonesia, seperti Nikolaus Driyarkara, Soekarno, Ronggowarsita, dan Mpu Tantular.<p>Dalam rangka menggagas sosok filsafat Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, STF Driyarkara, dan Institut Prestasi Nusantara/MURI akan menggelar Simposium Internasional Filsafat Indonesia, 19-20 September 2014.<p>"Kami mengundang 150 doktor filsafat dan tokoh intelektual dalam dan luar negeri. Sampai sekarang sudah ada 60-an pemikir yang merespons. Kita sebagai manusia Indonesia sebenarnya mempunyai pemikiran filsafat serta cara berpikir sendiri. Hanya, selama ini kurang digali," ungkap dosen STF Driyarkara, Setyo Wibowo. (ABK)<p>Source: <a href="http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008926827">http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008926827</a>
<br>Powered by Telkomsel BlackBerry®Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-49553410059445283522014-07-23T17:09:00.001-07:002014-07-23T17:09:26.353-07:00Kenegarawanan (F Budi Hardiman)PERBEDAAN antara ciri politikus partai dan negarawan cukup kita kenali, sekurangnya secara intuitif. Di dalam pemilu presiden yang baru saja lewat, kedua kategori ini diandaikan ketika salah satu calon menyebut calon lain sebagai seorang negarawan, yakni dengan siratan harapan agar ia mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan. Kenegarawanan, statesmanship, menjadi kategori yang sangat penting, khususnya ketika negara dalam ancaman konflik sektarian.<br>Polarisasi politis dalam demokrasi elektoral, misalnya, bukanlah sebuah pertarungan total. Ia "hanyalah" sebuah prosedur untuk suksesi kekuasaan secara damai. Pihak-pihak yang terpolarisasi menundukkan diri di bawah mekanisme hukum yang sama. Dengan ungkapan lain, the will to power direlatifkan di dalam batas-batas hukum. Seorang calon yang menerima kekalahan dengan ikhlas dan mengakui kemenangan pihak lawan dianggap memiliki kualitas kenegarawanan karena supremasi hukum diletakkan di atas hasrat pribadinya untuk berkuasa.<p>Kenegarawanan mengandung muatan-muatan normatif yang tidak dapat disamakan begitu saja dengan kualitas seorang politikus partai. Di dalam demokrasi, semua warga negara berhak menjadi politikus, tetapi tidak semua politikus memiliki kualitas kenegarawanan sehingga demokrasi menjadi arena kepentingan-kepentingan pragmatis belaka.<p>Tidak dibutakan oleh kepentingan kekuasaan semata, seorang negarawan tidak dapat dilepaskan dari keutamaan-keutamaan moral yang dimiliki oleh seorang manusia yang bijak dan bajik. Mengetahui perbedaan ini adalah sentral bagi pendidikan politis dalam masyarakat kita.<p>"Politikos" dan "stasiastikos"<br>Kedua konsep itu dapat dijelaskan dengan ide tentang keseluruhan dan bagian-bagian. Seorang negarawan memperhatikan keseluruhan, sementara seorang politikus biasa terobsesi pada bagian-bagian. Di dalam dialog Politikos, misalnya, Plato membedakan "politikos" (negarawan) dari "sophistes" (sofis). Seorang sofis adalah seorang guru yang "menjual" pengajarannya kepada orang-orang muda yang berambisi untuk karier politis.<p>Apa yang mereka pelajari dari seorang sofis adalah bagaimana merayu dan memanipulasi para warga negara. Ahli dalam agitasi massa, sofis adalah seorang ahli rekayasa politis yang ulung yang dapat mengubah kebenaran menjadi kesalahan dan kesalahan menjadi kebenaran, tentu lewat provokasi dan mobilisasi massa. Maka, Plato menyamakannya dengan stimulator monster.<p>Konsep sofis memang tidak dapat seluruhnya dialihkan menjadi politikus dalam pengertian modern, tetapi sulit menyangkal bahwa cukup banyak ciri politikus partai, tim sukses pemilu, dan konsultan politik dalam demokrasi elektoral mendekati ciri sofis sehingga kita boleh mengatakan bahwa politikus modern adalah saudara batin para sofis.<p>Kaum sofis ini mengajari para klien mereka untuk menang dalam perkara atau untuk merebut posisi kuasa, tetapi tidak membawa mereka pada kebenaran dan kebajikan yang terkait dengan kepentingan semua pihak. Mereka, seperti kata Plato, adalah stasiastikos atau expert dalam golongan karena para klien mereka tidak dibawa ke dalam kesadaran akan keseluruhan, tetapi ke dalam kepentingan sempit untuk sebagian orang.<p>Kenegarawanan bukanlah pengetahuan partisan, seperti yang diajarkan para sofis, melainkan pengetahuan tentang kepentingan semua pihak. Menarik untuk mencermati di sini bahwa, menurut Plato, kenegarawanan adalah sebuah pengetahuan, suatu keahlian khusus, tetapi obyeknya adalah keseluruhan yang disebutnya politiké epistemé atau pengetahuan negara.<p>Jadi, kenegarawanan tidak diraih lewat agitasi massa atau dengan mengecoh para warga negara, tetapi lewat pendidikan karakter untuk adil, bijak, berani, dan bersahaja. Seorang negarawan adalah seorang expert dalam keseluruhan atau, katakan, seorang spesialis dalam generalitas.<p>Karena tidak semua politikus adalah negarawan yang ahli, hukum tetap merupakan sarana untuk mengarahkan diri pada kepentingan semua pihak. Karena itu, Plato berpendapat bahwa jika tidak ada keahlian kenegarawanan, cara terbaik untuk memerintah adalah dengan menundukkan diri di bawah supremasi hukum. Dengan menjadi "penjaga hukum", seorang penguasa mendidik diri menjadi seorang negarawan. Akan tetapi, kenegarawanan tidak sama dengan legalisme, kepatuhan buta pada hukum.<p>Menurut Plato, kenegarawanan memungkinkan seorang penguasa juga untuk menyesuaikan hukum dengan kondisi yang terus berubah-ubah. Alasan dasarnya sekali lagi adalah bahwa kenegarawanan adalah sebuah pengetahuan tentang keseluruhan, bukan pengetahuan partisan seorang stasiastikos.<p>Kenegarawanan calon yang kalah<br>Saya sengaja mengacu kepada Plato, pemikir dari dua setengah milenium yang silam, karena kategori-kategori yang dikemukakannya sedang kita hadapi akhir-akhir ini. Kita memiliki banyak politikus partai yang bahkan di dalam Pilpres 2014 ini nyaring mengeluarkan klaim-klaim keseluruhan, padahal kebanyakan tidak lebih daripada stasiastikos.<p>Pilpres bukan momen normal, melainkan sebuah momen luar biasa sebuah suksesi kekuasaan. Dalam momen normal, para politikus partai dibatasi oleh sebuah pemerintahan politis. Namun, dalam suksesi kekuasaan, mereka memiliki klaim keseluruhan untuk membentuk sebuah pemerintahan politis. Artinya, suksesi kekuasaan adalah sebuah momen luar biasa karena para politikus partai yang dalam kondisi normal bersikap sebagai expert dalam golongan sekarang mengklaim diri sebagai expert dalam keseluruhan.<p>Klaim itu dalam demokrasi adalah wajar karena proses demokratis seperti pemilu merupakan momen seluruh warga negara bersentuhan dengan dimensi keseluruhan politis sekalipun mereka bertolak dari kepentingan bagian-bagian. Pernyataan-pernyataan, seperti seluruh bangsa terbelah menjadi dua, dan kecemasan akan terjadinya kerusuhan setelah pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan seolah-olah kedua kubu yang bertarung di dalam pilpres berhak atas keseluruhan, atas komunitas politis sebagai keseluruhan.<p>Satu hal yang dilupakan bahwa kita memiliki sistem hukum sebagai "yang ketiga" yang menengahi suksesi demokratis itu. Di dalam negara hukum demokratis, yang ketiga ini, sistem hukum, memiliki prioritas atas para politikus partai dalam klaim atas keseluruhan. Karena itu, kualitas kenegarawanan para capres-cawapres diukur dari pelaksanaan komitmen mereka untuk menjadi "penjaga hukum".<p>Memang tidaklah mudah menerima kekalahan setelah menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan harta disertai imajinasi agung untuk memenangkan pilpres. Perbedaan jumlah perolehan kedua kubu tidaklah sangat besar, tetapi lalu hanya ada satu pemenang yang boleh diterima oleh keseluruhan. Bagaimana mungkin dukungan oleh sebagian kemudian berubah menjadi dukungan oleh keseluruhan?<p>Itulah keajaiban sekaligus absurditas demokrasi elektoral! Karena itu, sangatlah berbahaya bagi keseluruhan jika kubu yang kalah tidak merelatifkan imajinasi politisnya di bawah sistem hukum. Menerima kekalahan merupakan sebuah keutamaan demokratis seorang kandidat yang telah terbukti memiliki dukungan suara yang hampir sama kuatnya dengan kandidat yang menang.<p>Kualitas kenegarawanan ditunjukkan lewat pelaksanaan komitmennya pada hukum dan demokrasi. Dengan cara itu, dia tidak bersikap sebagai stasiastikos yang dikurung oleh kesempitan kepentingannya dan yang mengancam keseluruhan, tetapi sebagai politikos yang mengutamakan kepentingan keseluruhan dan menjamin keutuhan komunitas politis. Untuk menerima kemenangan cukup dibutuhkan sikap seorang stasiastikos. Namun, untuk menerima kekalahan dibutuhkan sikap seorang politikos.<p>Tanpa damai sejahtera di hati dan kebesaran jiwa seorang negarawan, mustahil menerima kekalahan.<p>Kenegarawanan pemimpin baru<br>Pemimpin baru yang menang tidak lagi sendirian dengan kepentingan kubunya yang sewaktu kampanye lebih menunjukkan kepentingan kubunya. Dia sudah membawa momen keseluruhan di dalam fakta legal kemenangannya. Kualitas kenegarawanan ditunjukkan olehnya jika ia dapat merangkul kubu yang kalah di dalam sebuah gramatika kepentingan keseluruhan sebuah komunitas politis sehingga di dalamnya tidak ada lagi "kita dan mereka", melainkan hanya "kita".<p>Seorang pemenang yang masih berbicara dalam gramatika kepentingan golongan tak lebih daripada seorang stasiastikos yang memerintah. Orang ini berbahaya bagi keseluruhan. Kemampuan untuk mengubah gramatika kepentingan tersebut banyak tergantung bukan hanya dari karakter atau keutamaan politis seorang penguasa, melainkan juga dari sistem hukum yang membatasi kekuasaannya.<p>Selama Pilpres 2014, kita sudah telanjur terlalu percaya pada karakter para kandidat, padahal karakter bisa membusuk di dalam lingkungan sistem kekuasaan yang buruk. Dalam Politikos, Plato mengatakan bahwa penguasa dan pejabat yang gagal mengikatkan diri mereka pada hukum adalah seorang bajingan yang mengejar kepentingan golongannya. Membereskan negara dari para bajingan bukan pekerjaan mudah karena godaan untuk menjadi pembela golongan sendiri sangatlah besar.<p>Di sini kita bisa membedakan antara kenegarawanan yang sudah dan yang belum. Kenegarawanan calon yang kalah sudah terbukti begitu dia menerima kekalahan demi kepentingan keseluruhan. Akan tetapi, kenegarawanan seorang pemenang pilpres belum terbukti pada saat dia menerima kemenangannya, melainkan justru masih harus dibuktikan selama dia memerintah.<p>Baru dalam proses ujian panjang pemerintahannya dia akan menyingkapkan diri, entah sebagai seorang negarawan atau sebenarnya hanyalah seorang politikus partai yang mementingkan golongannya saja, seorang stasiastikos.<p>F Budi Hardiman<br>Pengajar Program Pascasarjana STF Driyarkara<p>Sumber: <a href="http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007966452">http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007966452</a>
<br>Powered by Telkomsel BlackBerry®Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-89319885284924563402014-05-12T21:15:00.001-07:002014-05-12T21:15:40.478-07:00Revolusi Doa (Sindhunata)KITA memerlukan pemimpin yang taat beragama, yang bisa membawa perbaikan moral bangsa. Begitu dikatakan mantan Wakil Presiden Hamzah Haz baru-baru ini. Hamzah Haz juga menyarankan perlunya dibangun lebih banyak tempat ibadah, agar semakin banyak orang berdoa sehingga semakin banyak pula orang yang memiliki moral yang baik.<br>Hamzah Haz tidak keliru jika ia menghubungkan doa dan moral yang baik. Hanya masalahnya, doa manakah yang bisa membuahkan moral yang baik? Pertanyaan ini kebetulan juga sedang digeluti sejumlah sarjana antropologi dan teologi Islam maupun Kristen. Pergulatan mereka dikumpulkan di bawah tema "Prayer, Power, and Politics" dalam jurnal Interpretation, Januari 2014.<p>Para antropolog kultural memahami doa sebagai aktivitas ritual. Dari sudut kultural, ritus adalah kesempatan, di mana orang menjalin hubungan baik dengan kelompoknya, maupun realitas sosialnya, termasuk kekuasaan. Sementara karena pada hakikatnya kekuasaan selalu relasional, kekuasaan mau tak mau juga memengaruhi ritus dan dirasakan secara riil oleh mereka yang menjalankan aktivitas ritual itu. Di situlah terletak hubungan antara doa dan kekuasaan. Dengan pendekatan di atas, Rodney A Werline, profesor studi agama-agama di Barton College, North Carolina, meneliti bagaimana doa-doa dihidupi tokoh-tokoh Kitab Suci Perjanjian Lama, seperti Hannah, Ruth, Salomo, dan Daniel. Dari penelitiannya terlihat doa terjadi dalam cakupan relasi sosial dan historis yang amat luas.<p>Doa bisa berfungsi sebagai dinamika keluarga, sebagai ekspresi cinta di antara sahabat, sebagai ratapan orang jujur yang tidak bersalah tetapi menjadi korban, sebagai teguran pemuka agama terhadap umatnya dan sebagai upaya bagaimana mengobati luka sosial umatnya, sebagai jalan bagi para pemimpin untuk menjalankan kepemimpinannya, juga sebagai jalan menentang kekuasaan represif.<p>Kekuasaan sendiri bukanlah jelek atau baik. Namun, kekuasaan bisa digunakan untuk membangun hidup atau merusak hidup masyarakat. Karena terjalin dengan kekuasaan dalam sebuah realitas sosial dan kultural, doa juga bisa dijadikan jalan untuk membangun hidup, tetapi doa pun bisa dimanfaatkan untuk merusaknya. Ini semua berarti, doa tak pernah bisa dilepaskan dari etika.<p>Radikalitas doa<br>Lex orandi, lex credendi: bagaimana kita berdoa, itu menentukan bagaimana kita beriman dan percaya. Aksioma tersebut menegaskan bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum iman sangatlah ditentukan oleh bagaimana kita berdoa. Seperti dipaparkan Nico Koopman, profesor teologi sistematik dan etika di Universitas Stellenbosch, semasa rezim apartheid di Afrika Selatan, aksioma itu diperluas menjadi lex orandi, lex credendi, dan lex (con)vivendi. Artinya, bagaimana kita berdoa tidak hanya menentukan bagaimana kita beriman, tetapi juga bagaimana kita hidup, bahkan bagaimana kita hidup bersama.<p>Di Afrika Selatan semasa rezim apartheid, doa dan upacara agama memang menjadi ambivalen. Doa bisa untuk menindas ataupun untuk membebaskan. Di bawah rezim represif, doa dan iman bahkan dilegitimasikan secara teologis untuk melestarikan penindasan. Karena itu, doa juga perlu dikoreksi secara etis.<p>Maka, doa harus dibebaskan dari cengkeraman rezim represif, lalu dijadikan kekuatan untuk meraih terjadinya masyarakat baru yang bebas dari penindasan. Doa harus bisa menjadi kekuatan kritis untuk mendobrak masyarakat yang tidak adil. Di sini, seperti diajakkan filsuf Nicholas Wolterstorff dari Amerika Serikat, kita perlu memahami kesucian itu bukan semata-mata dari kategori kesucian sendiri, tetapi juga dari kategori keadilan.<p>Kata Wolterstorff, masyarakat yang tidak adil adalah masyarakat yang kehilangan keutuhannya. Dalam masyarakat ini sekelompok orang tersudut di pinggiran, dan tak terinkorporasikan ke dalam kehidupan yang sedang berkembang dalam masyarakat itu. Masyarakat demikian bukanlah citra atau cerminan dari Tuhan dalam keutuhan-Nya. Dalam keutuhan-Nya yang komunitarian, Tuhan tidak mengecualikan siapa pun. Karena itu, masyarakat yang tidak adil dan mengecualikan itu adalah masyarakat yang tidak suci. Maka, masyarakat baru yang kita cita-citakan hendaklah menjadi masyarakat kesucian dan keutuhan, masyarakat di mana terjadi integritas dan komunitas, inklusi dan pemerataan keadilan, serta kesatuan hidup yang subur berkembang.<p>Doa Kristiani sesungguhnya selalu merindukan datangnya masyarakat semacam itu. "Datanglah kerajaan-Mu", itulah yang didoakan mereka dalam doa Bapa Kami, seperti diajarkan oleh Yesus sendiri. Maka, ahli kitab suci Afrika Selatan, William Domeris, mengungkapkan, datanglah kerajaan-Mu itu adalah sebuah doa revolusioner. Doa ini menyerang jantung kejahatan di dunia, dan memaklumkan matinya segala macam bentuk penindasan, serta mengharap datangnya kerajaan baru di dunia. Dengan mendoakan "datanglah kerajaan-Mu", orang menatap berakhirnya zaman penindasan ini, dan pada saat yang sama, seperti diajakkan Yesus, bersama-sama mengusahakan tegaknya kerajaan baru sebagai realitas fisik, di mana penindasan diakhiri dan pembebasan Tuhan dimulai. Mendoakan "kedatangan kerajaan Tuhan" adalah melantunkan doa melawan pemerintah yang tidak adil.<p>Melawan kemungkaran<br>Jelas doa pada hakikatnya berhubungan dengan realitas sosial, pembebasan, dan keadilan. Menurut Mun'im Sirry dan A Rashied Omar, asisten profesor teologi dan peneliti studi Islam pada Universitas Notre Dame, Indiana, hakikat doa macam ini juga menjadi hakikat doa dalam tradisi Islam. Menurut kedua sarjana Islam itu, tidaklah benar anggapan bahwa Islam lebih menekankan tata cara doa sebagai praktik formalitas doa belaka, hingga doa itu tak bisa membawa transformasi moral bagi pelakunya. Sarjana-sarjana Islam modern menentang keras anggapan itu dengan berusaha menunjukkan adanya makna sosial dalam doa Islam.<p>Sirry dan Omar sendiri mengemukakan pendapatnya dengan bertolak dari ayat Al Quran 29:45: "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadat-ibadat lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."<p>Menurut kedua sarjana Islam di atas, berabad-abad lamanya sejak adanya agama Islam, raison d'être dari doa Islam adalah menjauhi fasha (ketidaksenonohan, ketidaklaziman, kekejian) dan mungkar. Selain Al Quran dan hadis, banyak kisah dan telaah yang menegaskan hakikat doa demikian itu. Misalnya, ada kisah di mana seorang pemuda dari Madinah berdoa bersama Nabi Muhammad. Toh, pemuda itu tetap melakukan perbuatan yang salah dan tidak pantas. Nabi Muhammad hanya menanggapi hal itu dengan kata-kata ini: "Doanya akan mencegah dia untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas." Nabi juga pernah ditanya, "Apakah pendapat Anda tentang seseorang yang berdoa di siang hari, tapi menjadi pencuri di malam hari?" Nabi kembali menjawab, "Doanya akan menahan dia untuk berbuat yang tidak baik."<p>Tampaknya Nabi Muhammad yakin, doa pasti mengubah seseorang. Jika orang tidak diubah oleh doanya, doanyalah yang kiranya kurang benar. Karena itu, doa atau shalat tidak dengan sendirinya mencegah orang untuk berbuat fasha dan mungkar. Kemungkaran itu baru bisa dicegah apabila doa itu dijalankan dengan benar, penuh komitmen, kejujuran, ketulusan, dan kepasrahan bahwa Allah akan membantu manusia dalam memperjuangkan kebaikan dan memberantas kejahatan.<p>Kata ahli tafsir Al Quran, Muhammad Husyan Tabatabai, jika shalat dijalankan dengan komitmen dan kejujuran, lebih dari institusi atau pengajar mana pun, shalat sendirilah yang akan melatih orang dengan lebih baik untuk menjalankan kebajikan dan menolak kejahatan. Ini dibenarkan oleh hadis yang berkata, orang yang doanya tak mencegah dia melakukan ketidaklaziman dan kesalahan tak akan memperoleh tambahan dari Tuhan; ia hanya akan makin jauh dari-Nya.<p>Menegur pemimpin<br>Hamzah Haz yang juga sesepuh PPP itu bicara soal doa karena gemas terhadap kondisi moral bangsa yang terus merosot. Setiap warga negara Indonesia kiranya juga gemas seperti dia. Kita adalah negara ber-Tuhan dan beragama. Mestinya kita juga warga negara yang pendoa. Memang, setiap hari Jumat masjid-masjid penuh, setiap hari Minggu gereja-gereja penuh, pada hari-hari raya agama umat berbondong-bondong berdoa dengan khusyuk. Tetapi mengapa korupsi merajalela, meracuni lembaga mana pun, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pejabat-pejabat mengkhianati kepercayaan rakyat dan kehilangan rasa malunya.<p>Mengapa doa tidak berefek bagi kebaikan moral bangsa? Dari penjelajahan singkat mengenai tradisi doa di atas, kita bisa menjawab: doa kita mandul karena terpisah dari masalah-masalah etika, sosial, dan moral yang dihadapi bangsa. Doa melulu menjadi praktik formal-ritual yang tidak bersentuhan dengan permasalahan masyarakat. Doa hanya menjadi kesalehan yang steril terhadap masalah sosial.<p>Dalam doa macam itu kita menemukan kenyamanan dan kemapanan, dan kehilangan kepedulian sosial. Lebih fatal lagi, doa macam ini membuat kita munafik, seakan-akan kita sudah menjadi baik karena sudah berdoa, tanpa ingin memberantas kemungkaran yang ada di sekitar kita. Doa tak lagi memberi kita kekuatan dan inspirasi untuk menggugat dan mendobrak segala bentuk represi yang menimpa banyak orang, lebih-lebih mereka yang miskin dan sederhana.<p>Mengapa kita sampai terjerumus ke dalam keadaan demikian? Doa memang bersifat pribadi. Tetapi kita tahu, penghayatan kita terhadap doa juga tergantung pada para pemuka umat, pemimpin jemaat, imam, ustaz, kiai, pendeta, atau pastor. Dari mereka-mereka itulah kita belajar berdoa. Karena itu merekalah yang paling berkewajiban mengajari kita bagaimana berdoa dengan benar.<p>Misalnya, dengan mendalami lagi tradisi doa yang diajarkan Al Quran dan Kitab Suci, di mana Tuhan menghendaki agar jika berdoa janganlah kita melepaskan diri dari masalah kemanusiaan, masalah sosial, lebih-lebih masalah mereka yang miskin dan menderita. Kalau itu tidak dilakukan, patutlah kita curiga, para petinggi doa itu diam-diam sedang menikmati kemapanan, dan mendukung penguasa yang benci terhadap kekuatan doa yang memberi inspirasi orang untuk menggugat dan mendobraknya. Kita mendengar, calon presiden dari PDI Perjuangan, Jokowi, bercita-cita mengadakan revolusi mental. Revolusi mental itu kiranya akan makin efektif jika disertai revolusi doa. Artinya, bagaimana doa kita dilepaskan dari sangkar keamanan dan kemapanan individualnya, dibebaskan dari kepentingan untuk membenarkan kelompok-kelompok tertentu saja hingga menjadi eksklusif terhadap kepentingan seluruh bangsa. Revolusi doa itu kiranya perlu membangunkan kesadaran moral, sosial, dan etika dalam doa yang dihayati warga negara.<p>Untuk itu, revolusi mental dan doa itu kiranya harus dimulai dari para pemimpin bangsa. Sebab, seperti dikatakan Hassan al-Banna, pendiri Persaudaraan Muslim di Mesir, paling tidak dalam tradisi Islam, doa itu seperti latihan harian dalam organisasi sosial dan praktis. Begitu muazin menyerukan doa dimulai, umat berkumpul, mereka punya hak dan kewajiban sama, tetapi mereka berdiri di belakang imam yang mengatur ketertiban dan kesatuan mereka. Imam itu pemimpin. Kalau ia salah dalam memimpin, umat berhak dan wajib menegurnya. Itulah demokrasi dalam doa. Para pemimpin kita ibarat imam itu. Kalau mereka salah berdoa, kita pun ikut salah dalam doa kita. Jangan-jangan inilah sebabnya mengapa kita terjerumus ke dalam kemerosotan moral, yakni karena para pemimpin kita tidak pernah berdoa, agar kekuasaannya digunakan untuk melayani rakyat dan tidak untuk memperkaya diri sendiri. Kalau demikian, doa dan mental merekalah yang terlebih dahulu harus direvolusi. Memang bisa-bisa kemungkaran yang harus dibongkar oleh doa dari bangsa ini adalah mental busuk, egois, dan korup para pemimpin bangsa kita sendiri.<p>Sindhunata<br>Wartawan, Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta<p>Sumber: <a href="http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006472367">http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006472367</a>
<br>Powered by Telkomsel BlackBerry®Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-18757671.post-41048209125360013742014-05-11T16:55:00.001-07:002014-05-11T16:55:52.406-07:00FILSAFAT: Bedah Komunikasi TerdistorsiPeradaban tetap diwarnai kekerasan secara individual maupun kelompok. Itu dipengaruhi komunikasi yang terdistorsi atau menyimpang. Filsafat dapat digunakan untuk membedah persoalan komunikasi tersebut.<br>"Hermeneutika kritis yang dikembangkan Habermas penting untuk sebuah analisis maupun refleksi kritis terhadap peristiwa seperti kekerasan di tengah masyarakat," kata pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, F Budi Hardiman, dalam acara Kelas Filsafat: Seni Ketaksepahaman: Hermeneutika Bultmann, Habermas, Ricoeur, dan Derrida, Sabtu (10/5), di Serambi Salihara, Jakarta. Kelas filsafat tersebut diikuti masyarakat umum.<p>Budi menitikberatkan pada hermeneutika kritis yang dikembangkan Habermas. Dia mengatakan, kesadaran palsu dalam kelompok-kelompok masyarakat menimbulkan perilaku agresif dan destruktif secara sengaja serta terencana, contohnya teroris pelaku bom bunuh diri dan sebagainya. "Tuturan dan perilaku mereka tidak dihasilkan akal sehat, tetapi oleh efek indoktrinasi ideologis sehingga memiliki kesadaran palsu," kata Budi.<p>Kasus psikopatologis, kata Budi, juga merupakan kasus distorsi komunikasi yang sistematis karena pasien salah memahami diri. Begitu pula dengan kasus kelompok yang sudah terindoktrinasi sehingga menghasilkan kesalahpahaman komunikasi yang tidak disadari.<p>Menurut Budi, komunikasi sehari-hari kadang terdistorsi karena sudut pandang berbeda, ketidaktahuan, atau prasangka. Dengan menjelaskan informasi yang sebenarnya, distorsi komunikasi seperti itu segera dapat dihilangkan.<p>"Distorsi komunikasi dapat diselesaikan dengan dasar komunikasi berupa akal sehat. Namun, distorsi itu akan terus berlangsung sistematis ketika menjauhkan atau bahkan mengisolasi para pelaku dari akal sehat mereka," kata Budi. Tugas seorang kritikus ideologi ialah menganalisis distorsi-distorsi komunikasi dan ketergantungan yang membuat suatu kelompok terhambat menuju kedewasaan.<p>Menurut salah satu peserta, Nuurul Fajar (19), mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia, filsafat dapat menjadi pengetahuan mendasar untuk memahami perkembangan masyarakat. "Ini penting untuk memahami teks atau wacana yang berkembang," kata Nuurul.<p>Peserta lainnya, seorang kolektor lukisan, Syakieb Sungkar, mengatakan, penting kemampuan menafsir suatu teks dan peristiwa baik pada masa kini maupun lampau. (NAW)<p>Sumber: <a href="http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006574898">http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006574898</a>
<br>Powered by Telkomsel BlackBerry®Pormadi Simbolon,SShttp://www.blogger.com/profile/00622135610780088629noreply@blogger.com0