Search This Blog

Saturday, February 11, 2017

Kata Bijaksana tentang Kekuatan Pikiran

Sebagaimana kita ketahui bahwa pikiran itu akan mempengaruhi kehidupan kita. Apa yang terjadi pada kita adalah hasil dari bagaimana cara kita berpikir. Berikut ini adalah Kata-Kata Bijak tentang Kekuatan Pikiran.

*Saya tahu tak terhitung orang yang sedang belajar, namun mereka tak pernah berfikir – Wilson Miher*
===
Seorang manusia yang berfikir dan mengetahui cara berfikir selalu dapat mengalahkan 10 orang yang tidak berfikir dan tidak mengetahui cara berfikir – George bernard shaw.
===
*Pikiran memiliki kekuatan seperti angin, ia tidak terlihat tapi anda bisa merasakan efeknya – Seth Jane Robert.*
===
Semua sumber daya yang kita perlukan ada dalam pikiran kita – Theodore Rosevelt.
===
*Pikiran bukan sebuah bejana untuk di isi,tetapi api untuk dinyalakan – Plutarch*
===
Janganlah hanya menggunakan otak yang kita punya, tetapi gunakanlah semua otak yang dapat kita pinjam – Wodrow Wilson
===
*Otak adalah daya ungkit paling hebat, jika anda dapat merubah kata dan pikiran anda menjadi kata dan pikiran orang kaya, pensiunan muda, pensiunan kaya, itu mudah – Robert. T.Kiyosaki*
===
Kuasai pikiranmu, kamu akan dapat melakukan apapun yang kamu inginkan dengan pikiran tersebut – Plato,filsuf Yunani
===
*Kemenangan adalah milik pikiran. Ubahlah pikiran maka anda akan dapat merubah kehidupan – J.P.Vaswani*
===
Siapa diri anda dan dimana diri anda berada,ditentukan oleh apa yang masuk kedalam pikiran anda.anda dapat mengubah siapa anda dan dimana anda akan berada dengan mengubah apa yang masuk kedalam pikiran anda – Zig Ziglar
===
*Jauh di dalam diri manusia, berdiamlah kekuatan yang sedang tidur,kekuatan yang akan mempesona,yang tidak pernah diimpikan, kekuatan yang akan merevolusinya, jika dibangkitkan,dan diwujudkan dalam tindakan – OrionSwett Marden*
===
Tidak ada yang terjadi kecuali semua diawali dari sebuah mimpi – Carl Sandburg

===
Segala sesuatu yang dapat dibayangkan dan dapat diterima oleh akal pikiran kita,bisa menjadi kenyataan – Andrew Carnegie
===
*Kehidupan anda adalah jumlah dari semua pikiran yang anda buat baik secara sadar maupun tidak – Robert. F.Bennet*
===
Nothing happens by accident,tak ada satupun kejadian yang terjadi karena kebetulan – Bob proctor
===
*Bila anda sudah memiliki tujuan yang jelas,anda akan lupa dengan makan pagi anda – Bill gates*
===
Anda mungkin akan terkejut betapa mudahnya hal-hal terjadi. Keraguan anda tak sekuat keinginan anda,kecuali anda membuatnya demikian – Marcia wieder
===
*Sukses tidak bisa dicapai dalam waktu sekejap,namun pada saat rekan mereka tertidur mereka tetap membanting tulang hingga larut malam – Henry Wadsworth*
===
Tujulah bintang anda,tidak peduli berapa jauh,anda harus mencapai jauh tinggi dan menyentuh hidup anda dengan cinta.terus saja jangan pernah menoleh kebelakang – Bob Smith
===
*Kalau seorang dengan keyakinan menuju impian-impiannya dan berusaha untuk mewujudkan hidup yang telah diimajinasikannya,ia akan bertemu dengan kesuksesan-kesuksesan yang tak terduga dalam waktu yang wajar – Henry David Thoreau*

 (kiriman dari WA)
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Saturday, February 04, 2017

*PRINSIP 90/10 STEPHEN J. COVEY*

Bagaimana prinsip 90/10 itu ?
- 10% dari hidup kita terjadi karena apa yg langsung kita alami.
- 90% dari hidup kita ditentukan dari cara kita bereaksi.

Apa maksudnya?
Anda tidak dapat mengendalikan 10% dari kondisi yg terjadi pada diri anda.

Contoh kasus :
  
*Kasus 1*
Anda makan pagi dengan keluarga anda. Anak anda secara tak sengaja menyenggol cangkir kopi minuman anda sehingga pakaian kerja anda tersiram. Anda tidak dapat mengendalikan apa yg baru saja terjadi.

*Reaksi anda*
Anda bentak anak anda karena telah menjatuhkan kopi ke pakaian anda. Anak anda akhirnya menangis. Setelah membentak, anda menoleh ke istri anda & mengkritik karena telah menaruh cangkir pada posisi terlalu pinggir di ujung meja.
  
Akhirnya terjadi pertengkaran mulut. Anda lari ke kamar & cepat2 ganti baju. Kembali ke ruang makan, anak anda masih menangis sambil menghabiskan makan paginya. 

Akhirnya (1) anak anda ketinggalan bis. (2) Istri anda harus secepatnya pergi kerja. (3) Anda buru2 ke mobil & mengantar anak anda ke sekolah. Karena anda telat, anda laju mobil dengan kecepatan 70 km/jam, padahal batas kecepatan hanya boleh 60 km/jam.

Setelah terlambat 15 menit & terpaksa *mengeluarkan kocek Rp 600.000,- karena melanggar lalu lintas*, akhirnya anda juga sampai di sekolah. Anak anda secepatnya keluar dari mobil *tanpa pamit*
  
Setiba di kantor *anda telat 20 menit, anda baru ingat kalau tas anda tertinggal di rumah*
  
Hari kerja anda *dimulai dengan situasi buruk* Jika diteruskan maka akan semakin buruk. Pikiran anda terganggu karena kondisi di rumah.  *Saat tiba di rumah, anda menjumpai beberapa gangguan hubungan dengan istri & anak anda*
  
Mengapa? *Karena cara anda bereaksi pada pagi hari* Mengapa anda mengalami hari yg buruk?

1. Apakah penyebabnya *karena kejatuhan kopi?*
2. Apakah penyebabnya *karena anak anda?*
3. Apakah penyebabnya *karena polisi lalu lintas?*
4. Apakah *anda penyebabnya?*

Jawabannya adalah *No. 4 yaitu Anda sendiri !*

Anda tidak dapat mengendalikan diri setelah apa yg terjadi pada cangkir kopi yang tumpah. *Cara anda bereaksi dlm 5 detik itu yang menentukan*

*Kasus 2*
Cairan kopi menyiram baju anda. Begitu anak anda akan menangis, anda berkata lembut:
*Tidak apa2 sayang, lain kali hati2 ya.*

Anda ambil handuk kecil & lari ke kamar. Setelah mengganti pakaian & mengambil tas, *secepatnya anda menuju jendela ruang depan & melihat anak anda sedang naik bis sambil melambaikan tangan ke anda*

Anda kemudian mengecup lembut pipi istri anda & mengatakan: 
*Sampai jumpa makan malam nanti.*

Anda datang ke kantor 5 menit lebih cepat & *dengan muka cerah menyapa staff anda*. Bos anda mengomentari semangat & kecerahan hari anda di kantor.

Apakah anda melihat *perbedaan dua kondisi tersebut?*

*Dua skenario berbeda, dimulai dengan kondisi yg sama, diakhiri dengan kondisi berbeda*

Mengapa?
Ternyata penyebabnya adalah dari cara anda bereaksi!  *Anda tidak dapat mengendalikan 10% dari yg sudah terjadi yg 90% adalah akibat dari reaksi anda sendiri*

Sekarang anda sudah tahu *prinsip 90/10* Gunakanlah dalam aktivitas harian anda & anda akan kagum atas hasilnya. Tdk ada yg hilang & hasilnya sangat menakjubkan.

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tuesday, October 11, 2016

"Filosofi Orang Jepang Mengenai *Empati*"


"Filosofi Orang Jepang Mengenai *Empati*" (Bagus Banget , Wajib Dibaca & Share BerUlang2)

Hubungan antar Manusia yg paling tinggi Levelnya, yang terus diajarkan dari generasi ke generasi, diajarkan sejak Balita & menjadi Kiblat orang Jepang adalah *Empati*.

*Empati* atau mem-Posisi-kan diri menjadi ORANG LAIN
(memPosisikan diri Kita menjadi Lawan bicara).

Kalau sedang Ngomong sama Orang Tua, cobalah untuk menjadi orang Tua yang sering "keBingungan" itu.

Sedang Ngomong dengan "Anak Anda", maka jelmakan diri Anda menjadi Anak yang Bandel.

Sedang Ngomong ke Customer atau Downline, maka menJelmalah menjadi *Dia* terlebih dulu.

Mau Ngomong ke Upline, Sahabat, Musuh, maka jadikanlah diri Anda MenJadi  diri Mereka terlebih dulu & bila Anda menjadi Dia, *Apa* yang ingin Anda Dengarkan?"

Kenapa dompet , Hp Dll  yang jatuh di kereta Jepang, keMungkinan besar AKAN balik ke Pemiliknya?

Karena yg menemukan langsung akan berpikir, bila uang di dompet ini Saya Ambil... Jangan-jangan yang punya, gak Punya uang lagi, gajian baru bulan berikut nya, Dia pasti akan bingung bayar hutang, bingung bayar listrik, bingung beli makan, nanti Dia akan dimarahin Istri, Anak2nya & Dia akan keLaparan atau Dia akan Mati karena perBuatan Saya ini.

Ya, Mereka selalu berPikir tentang *Empati*.

Itulah makanya Negaranya Aman & cepat maju karena sejak Kecil sudah diAjarkan & MenDalami  *Empati*.

1. Yang ketahuan Korupsi, bunuh diri karena Malu.

2. Pejabat yang merasa Gagal akan mundur, karena Dia pakai kacamata Rakyatnya.

3. Wanita pulang kerja malam hari terjamin keAmanannya, karena para Pria2 berPikir, gimana kalau itu Adik, Anak atau Istri Saya.

Milikilah ilmu orang Jepang seKiranya berManfaat .
 
Gabatte Kudasai!


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Sunday, June 12, 2016

"GIVE AND GIVE, NOT TAKE AND GIVE"

Pada jaman Tiongkok Kuno, ada seorang petani mempunyai seorang tetangga yang berprofesi sebagai pemburu dan mempunyai anjing-anjing galak.

Anjing-anjing itu sering melompati pagar dan mengejar domba-domba petani. Petani itu meminta tetangganya untuk menjaga anjing-anjingnya, tapi ia tidak mau peduli.

Suatu hari anjing-anjing itu melompati pagar dan menyerang beberapa domba, sehingga terluka parah. Petani itu merasa tak sabar, dan memutuskan untuk pergi ke kota untuk berkonsultasi pada seorang hakim.

Hakim itu mendengarkan cerita petani itu dan berkata; "Saya bisa saja menghukum pemburu itu, memerintahkan dia untuk merantai dan mengurung anjing-anjingnya, tapi Anda akan kehilangan seorang sahabat dan mendapatkan seorang musuh. Mana yang kau inginkan, sahabat atau musuh yang jadi tetanggamu?"

Petani itu menjawab bahwa ia lebih suka mempunyai seorang Sahabat.

"Baik, saya akan menawari anda sebuah solusi yang mana anda harus menjaga domba-domba anda, supaya tetap aman dan ini akan membuat tetangga anda tetap sebagai teman".

Mendengar solusi pak hakim, petani itu setuju.Ketika sampai di rumah, petani itu segera melaksanakan solusi pak hakim. Dia mengambil tiga domba terbaiknya dan menghadiahkannya kepada 3 anak tetangganya itu, yang mana mereka menerima dengan sukacita dan mulai bermain dengan domba-domba tersebut.

Untuk menjaga mainan baru anaknya, si pemburu itu mengkerangkeng anjing pemburunya.Sejak saat itu anjing-anjing itu tidak pernah mengganggu domba-domba pak tani.

Sebagai rasa terima kasih atas kedermawanan petani kepada anak-anaknya, pemburu itu sering membagi hasil buruan kepada petani.
Sebagai balasannya, petani mengirimkan daging domba dan keju buatannya.

Dalam waktu singkat tetangga itu menjadi Sahabat yang baik.

Jika Anda berkumpul dengan serigala, Anda akan belajar melolong.

Tapi jika Anda bergaul dengan Rajawali, Anda akan belajar cara terbang mencapai ketinggian yang luar biasa.

Kenyataan yang sederhana tetapi benar, bahwa Anda menjadi seperti orang yang bergaul dekat dengan Anda.

Karena itu, carilah Sahabat SEJATI.

Anda boleh memiliki segala-galanya, namun hidup tidak akan bahagia tanpa sahabat sejati.....!!!

Persahabatan tidak ada sangkut pautnya dengan harta, jabatan dan popularitas.

Persahabatan yang di dapat dari uang, pangkat dan ketenaran bukan persahabatan sejati, melainkan hanya pergaulan dangkal yang penuh kepalsuan, yang egois, materialis, munafik dan penuh kebohongan.

Persahabatan sejati lahir dari kasih, ketulusan, kepercayaan, kejujuran, kesetiaan dan kebersamaan.

Itu sebabnya persahabatan itu indah, tidak dapat di nilai dengan harta benda, tidak dapat di perjual-belikan.

Sudahkah Anda memiliki persahabatan sejati dalam hidup ini?

Apa sesugguhnya arti dari sahabat ?
Sahabat adalah orang yang selalu ada di dekat kita. Orang yang menangis dan tertawa bersama dengan kita.

Orang yang tidak menjauhi kita saat kesulitan datang dalam hidup kita. orang yang selalu siaga 24 jam saat kita membutuhkan teman.
Lebih dari itu sahabat sebenarnya adalah orang yang bisa melihat dan menegur kita serta berbicara dari hati ke hati.

Sebuah ungkapan Tiongkok Kuno mengatakan :  "CARA TERBAIK UNTUK MENGALAHKAN DAN MEMPENGARUHI ORANG ADALAH DENGAN KEBAJIKAN",  "GIVE AND GIVE, NOT TAKE AND GIVE." ...... 👌👌👌🙏🙏🙏‎

Dari grup WA

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Monday, June 06, 2016

Post-sekularisme (F BUDI HARDIMAN)

Apakah Eropa sedang pulang ke agama? Pertanyaan ini menarik, tidak hanya untuk ilmu politik internasional, tetapi terlebih untuk filsafat politis kontemporer. Rentetan aksi teror Negara Islam Irak dan Suriah dan gelombang pengungsi Suriah ke pusat-pusat peradaban Eropa tidak hanya menyibukkan para politikus dan menggelisahkan warga masyarakat. 

Tragedi-tragedi kemanusiaan itu juga ikut mengubah lanskap intelektual di negara-negara yang selama ini dikenal sebagai negara-negara sekuler. Konstelasi intelektual baru itu bernama post-sekularisme.

Apa itu post-sekularisme? Bagaimana kita merespons "isme" yang masih relatif baru ini?

Gugurnya tesis sekularisasi

Meski sekarang telah menjadi istilah umum, sekularisasi, sekularitas, dan sekularisme memiliki asal-usulnya yang sangat spesifik dalam gereja Katolik Roma. Kata saeculum berarti zaman. Di Abad Pertengahan, sekularisasi diartikan sebagai proses seorang rahib meninggalkan biaranya dan kembali ke masyarakat. Kata itu pada masa Reformasi dipakai untuk proses pengalihan aset gereja Katolik ke pihak Protestan. Menjadi sekular berarti juga menjauh dari institusi religius.

Sejak perjanjian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun antara Katolik dan Protestan, sekularisasi menjadi istilah politis, yang berarti pemisahan gereja dari negara. Istilah politis itulah yang kemudian kita kenal sampai hari ini sebagai pemisahan antara agama dan politik. Regulasi-regulasi publik harus dijauhkan dari simbol-simbol dan alasan-alasan religius, dan negara harus netral dari doktrin-doktrin religius agar terwujud keadilan bagi semua pihak.

Sekularitas politis hanyalah salah satu arti. Dalam A Secular Age, Charles Taylor menambahkan tiga arti lainnya. Sekularitas sosiologis adalah menghilangnya iman dan praktik religius, sedangkan sekularitas epistemis adalah hidup dalam immanent frame atau kondisi percaya kepada Allah hanyalah salah satu opsi. Semua mengacu juga pada sekularitas spasio-temporal, yakni orientasi kita pada zaman ini, padasaeculum. Di sini jelas bahwa sekularitas Eropa bukan sekadar struktur politis, melainkan sebuah Weltanschauung(wawasan dunia). Orang modern melakukan hal-hal etsi Deus non daretur(seakan Allah tidak ada). Telah terjadi apa yang disebut Weber disenchantment of the world: Dunia tidak lagi berisi hal-hal gaib.

Hampir semua negara demokratis di dunia saat ini menganut sekularisme politis dengan kadar yang berbeda-beda. Prancis dengan laicite dan Turki denganlaiklik berada di baris depan. Sisanya adalah varian-varian. Sekularisme politis telah mengalami globalisasi. Namun, hal itu belum mengatakan apa pun tentang kesadaran religius. Sampai tahun 1980-an, para intelektual Barat masih meyakini suatu anggapan bahwa lewat modernisasi dan rasionalisasi, agama akan punah dan masyarakat akan sepenuhnya sekular.

Anggapan yang kemudian dikenal sebagai tesis sekularisasi ini dianut sejak abad-abad silam di Eropa. Pemikir-pemikir utama Eropa, seperti Comte, Feuerbach, Marx, dan Freud, menganggap agama sebagai semacam ilusi kolektif yang akan ditinggalkan ketika sains, teknologi, dan rasionalitas sekular mendominasi masyarakat. Tesis itu tidak pernah terbukti, malah terbukti gugur.

Alih-alih punah, memasuki abad ke-21 agama mengalami kebangkitan dan menjadi faktor yang menentukan dalam politik kontemporer. Diguncang isu terorisme dan pengungsi Suriah, Eropa tidak lagi diam soal agama. Popularitas kekuatan ekstrem kanan yang anti migran meningkat tajam. Persepsi kawan-lawan yang dikaitkan dengan agama mulai tumbuh. Semua berarti satu hal: agama kembali menjadi isu publik yang perlu dikalkulasi. Dunia ini tidak sepenuhnya sekular, melainkan sekular sekaligus religius.

Kembalinya agama

Sejak awal abad ke-21 ini, istilah post-sekularisme mulai masuk literatur filsafat dan forum-forum akademis di Eropa. Sungguhpun demikian, belum ada definisi yang bisa disepakati tentangnya. Seperti istilah yang nyaris menjadi kembarannya, post-modernisme, istilah tersebut mengacu kompleksitas baru seusai Perang Dingin, tetapi di sini fokusnya diberikan pada konstelasi baru hubungan antara agama dan sekularitas di Eropa. Namun, seperti juga sekularisme, post-sekularisme lebih daripada sekadar fenomena politis. Ada juga aspek sosiologis, teologis, dan filosofis di dalamnya.

Seperti diulas WA Barbieri, menguatnya kembali peran publik agama hanyalah salah satu gejala post-sekular. Kebangkitan global agama, termasuk Islam di Amerika dan Kekristenan di Tiongkok dan Rusia, menguatkan kembali orientasi pada hal-hal supranatural, suatu proses sosiologis yang boleh disebut re-enchanment of the world.Post-sekularisme juga dapat ditunjukkan lewat suburnya literatur kontemporer yang berupaya untuk memberikan pendasaran teologis kembali agar iman dapat diyakini kembali dalam sekularitas, sebagaimana tampak dalam kritik-kritik para teolog Kristiani atas Pencerahan.

Di rumah filsafat, post-sekularisme tampak dalam menguatnya minat kembali pada agama, Allah, Alkitab, seperti dapat ditemukan pada Caputo, Levinas, dan Jean-Luc Marion. Kearny, misalnya, mencari "faith beyond faith" atau "God after God".

Kehangatan diskusi tentang post-sekularisme ini juga mendorong para pemikir Eropa untuk menemukan kembali akar-akar religius sekularitas Eropa. Carl Schmitt dengan teologi politisnya dan diskusi hangat antara Habermas dan Kardinal Ratzinger di Muenchen tahun 2004 banyak memicu analisis genealogis ini, misalnya, untuk menunjukkan bagaimana negara hukum sekular dan hak-hak asasi manusia mengandung presuposisi-presuposisi teologis Kristiani. Post-sekularisme bahkan menjadi kritik atas proses marginalisasi yang dialami oleh agama lewat oposisi biner sekular-religius yang disebarkan lewat berbagai literatur dan forum pasca Pencerahan. Talal Asad, misalnya, mencurigai oposisi sekular-religius sebagai konstruksi Barat untuk mengokohkan dominasinya. Post-sekularisme lalu disambut bagaikan pembebas baru, tetapi kali ini oleh dan untuk agama.

Cukup ironis bahwa "agama" di sini tidak kurang daripada hasil konstruksi sekularisme juga sehingga libido kekuasaan—kali ini berbusana teologi—tetap operasional di dalamnya. Eropa tidak kembali ke agama dan menjadi religius. Ia mungkin menemukan ungkapan baru bagi gairah kekuasaannya.

Post-sekularisme di Indonesia?

Indonesia belum post-sekular karena belum sekular. Namun, komentar seperti itu keliru. Tidak ada sejarah universal bertahap yang dipimpin Barat. Globalisasi sekularisme tidak menghasilkan sekularisme global, melainkan multiple secularisms. Di Indonesia, agama tidak harus kembali karena tidak pernah pergi. Di negeri ini ada terlalu banyak hal yang dikaitkan dengan agama, dan terlalu sedikit hal yang berjarak darinya. Kata "sekularisme" pun terdengar porno di negeri saleh ini sehingga sempat didaftarhitamkan. Sebaliknya, post-sekularisme mungkin akan disambut hangat. Namun, di sini kita justru perlu waspada.

Post-sekularisme Eropa mengandaikan sekularisme politis yang matang sehingga prosedur negara hukum demokratis tetap menjadi platform dialog agama dan sekularitas. Menurut Habermas, di sini agama pun ditransformasikan menjadi lebih "rasional". Inti post-sekularisme sebenarnya proses belajar antara agama dan sekularitas dalam masyarakat majemuk. Karena itu, dalam masyarakat serba-agama, seperti Indonesia, tidaklah tepat memahami post-sekularisme sebagai penguatan kembali peran publik agama karena agama sudah terlalu kuat di sana. Jika di Barat sekularitas ditantang untuk belajar mendengarkan agama kembali, di Indonesia justru sebaliknya: Agama ditantang untuk belajar dari sekularitas agar tidak menyepelekan kemanusiaan.

Proses saling belajar agama dan sekularitas itu tidak asing bagi kita sebab telah tercantum dalam Pancasila. Bukankah hanya sila pertama bicara tentang agama, sedangkan keempat lainnya tentang sekularitas? Indonesia dikonsepkan sebagai negara modern yang tidak serong ke negara agama, tetapi juga bukan negara sekular. Tanpa gaduh dengan post-sekularisme, Indonesia sebenarnya post-sekular, sekurangnya dalam cetak-birunya.

F BUDI HARDIMAN, PENGAJAR FILSAFAT POLITIK DI STF DRIYARKARA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Juni 2016, di halaman 6 dengan judul "Post-sekularisme".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tuesday, May 24, 2016

Sains-Teknik Vs Sosial-Humaniora (EDWARD THEODORUS)

Ada kejanggalan pada alur penalaran para petinggi pemerintah dan organisasi profesi di Indonesia terkait fenomena kurangnya tenaga kerja di bidang sains-teknik.

Pada Kompas edisi 18 Mei 2016 halaman 12 disebutkan bahwa Direktur Eksekutif Persatuan Insinyur Indonesia mengeluhkan Indonesia kekurangan insinyur. Presiden dan Menristek Dikti mengatakan hal serupa dan berniat mengurangi proporsi maha- siswa sosial-humaniora guna memberikan ruang lebih luas bagi mahasiswa sains-teknik.

Indonesia menghasilkan sekitar 50.000 insinyur setiap tahun, tetapi kekurangan sekitar 10.000 insinyur setiap tahun. Data lain menyebutkan, saat ini ada sekitar 800.000 lulusan sains-teknik, tetapi hanya 45 persen atau 360.000-an lulusan sains-teknik yang bekerja di bidangnya.

Menarik mencermati cara pandang para petinggi. Para petinggi menganggap akar masalah kurangnya tenaga kerja sains- teknik adalah orientasi pendidikan tinggi lebih condong ke sosial-humaniora daripada ke sains-teknik. Coba kita bandingkan jumlah kekurangan insinyur dengan jumlah insinyur yang tak bekerja di bidangnya. Untuk memenuhi jumlah kekurangan insinyur, adalah lebih sangkil dan mangkus menggugah para insinyur yang tak bekerja di bidangnya kembali ke jalan yang benar: bidang studi yang dipelajarinya ketika kuliah daripada mengubah orientasi perguruan tinggi menghasilkan lebih banyak lulusan sains-teknik.

Lalu, mengapa para petinggi mengotot ingin "menyadarkan" dunia pendidikan untuk menambah lulusan sains-teknik dan mengurangi proporsi lulusan sosial-humaniora? Tampaknya ada yang tak sinkron antara pemahaman akan fenomena sosial, analisis akar masalah, dan pilihan kebijakan yang dibuat untuk menanganinya.

Penelitian kebijakan

Jabatan tinggi merupakan jabatan politis. Sudah umum, kebijakan politis lebih condong berbasis pada hitung-hitungan politis, opini instan, dan gejolak di masyarakat daripada berbasis pada pengetahuan sosial-humaniora dan akal sehat. Impian kebijakan politis adalah efek kereta musik, yaitu mengikuti arus dan keinginan orang banyak, tanpa perlu mempertimbangkan apakah keinginan orang banyak itu berdasarkan pertimbangan arif dan manusiawi ataukah tidak.

Pemerintah Jerman mulai berbenah melandaskan kebijakan-kebijakan politisnya pada dialog strategis dan penelitian sosial-humaniora. Misalnya, Kementerian Pendidikan Jerman melihat bahwa kebijakan pendidikan tak hanya berdampak pada industri dan pemerintah, tetapi juga pada institusi pendidikan dan masyarakat umum sehingga mereka mengembangkan mekanisme dialog strategis di antara keempat pihak itu. Pengembangan itu terus dipantau dengan penelitian kebijakan, salah satu jenis penelitian sosial-humaniora.

Orientasi pemerintah Jerman lebih pada melakukan penyelarasan di antara keempat pihak itu, bukan pada pilihan untuk lebih mengutamakan kepentingan pihak mana. Ada juga hasrat belajar membuat kebijakan berbasis alur penalaran yang runtut, sistematis, antisipatif, berorientasi jangka panjang.

Pemerintah kita perlu belajar dari Pemerintah Jerman dalam hal kebijakan pendidikan. Jerman terkenal dengan lulusan yang sangat ahli dan kompeten dalam sains-teknik. Namun, jangan lupa, Jerman juga menghasilkan sarjana sosial-humaniora yang sangat mumpuni. Bahkan, banyak tokoh kunci perintis sosial-humaniora berasal dari Jerman: Sigmund Freud, Wilhelm Wundt, Alexander von Humboldt, Ludwig Wittgenstein, Max Weber, Marianne Weber, dan Hannah Arendt, untuk menamai beberapa.

Kasus negara Jerman menunjukkan kepada kita bahwa untuk menghasilkan lulusan sains-teknik yang memadai, tak perlu menggeser orientasi pendidikan atau mengurangi proporsi mahasiswa di bidang lain. Kepentingan industri dan pemerintah perlu diselaraskan dengan kepentingan dunia pendidikan dan cita-cita masyarakat umum. Pada konteks Indonesia, kepentingan masyarakat umum tecermin dari cita-cita para pendiri bangsa. Karena itu, pemerintah perlu merenungkan kebijakannya apakah sudah menyelaraskan kepentingan pihak industri dengan cita-cita pendiri bangsa, atau lebih mengutamakan kepentingan industri dan kebutuhan pasar.

Dengan demikian, ada dua masalah dalam polemik sains- teknik versus sosial-humaniora saat ini. Pertama, ada kejanggalan dalam alur penalaran para pembuat kebijakan. Kedua, sistem pendidikan kita terancam bahaya laten industrialisasi dan komersialisasi yang merupakan salah satu kekhawatiran para pendiri bangsa.

Solusinya tiga. Pertama, sebaiknya pemerintah dan pejabat tinggi meningkatkan keterampilannya dalam penalaran yang runtut, sistematis, rasional, sekaligus manusiawi. Mereka perlu belajar melandaskan kebijakannya pada perkembangan ilmu sosial-humaniora. Kedua, lebih baik menemukan cara mengembalikan para insinyur yang tak bekerja di bidangnya ke "jalan yang benar" daripada "mengalihkan jalan" para mahasiswa di bidang ilmu selain sains-teknik.

Ketiga, perguruan tinggi sebaiknya lebih memusatkan perhatian pada perjuangan menghasilkan lulusan yang memanusiakan manusia, bekerja sesuai dengan disiplin ilmu yang merupakan bakat dan minatnya, serta berkontribusi terhadap pemenuhan cita-cita para pendiri bangsa Indonesia. Hentikan adu domba antara sains-teknik dan sosial-humaniora karena keduanya setara dan sama-sama dibutuhkan bangsa ini.

EDWARD THEODORUS, DOSEN PSIKOLOGI DI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul "Sains-Teknik Vs Sosial-Humaniora".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Thursday, March 24, 2016

Menghadirkan gagasan Heidegger (M. Sunyoto)

Buku karya Martin Heidegger berjudul asli "Sein und Zeit" atau dalam Bahasa Inggris "Being and Time" yang diindonesiakan menjadi "Ada dan Waktu" (istimewa)

Ketenaran Martin Heidegger di kalangan pembaca buku-buku filsafat tak disangsikan lagi.

Bukunya yang masyhur, "Ada dan Waktu" yang ditulis dalam bahasa Jerman sebagai "Sein und Zeit" atau "Being and Time" dalam versi Inggrisnya, dinilai sebagai hasil pemikiran orisinal dalam jagat sejarah ide-ide filsafat.

Namun, semua penelaahnya, dari masa ke masa, seraya mengagumi orisinalitas yang diusungnya, juga mengakui kompleksitas dan kesulitan untuk memahaminya.

Bahkan filsuf eksistensialis Prancis Jean Paul Sartre yang merespons pikiran-pikiran itu dinilai oleh Heidegger bahwa Sartre tak tepat dalam menafsirkan gagasan-gagasan filosofisnya.

Untuk memperkenalkan ide-ide Heidegger yang kontroversial karena kaitannya dengan penguasa Nazi itu kepada khalayak di Tanah Air, Dr. F. Budi Hardiman, alumnus Hochschule fur Philosophie Munchen Germany, menulis buku bertajuk "Heidegger dan Mistik Kehidupan", yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, edisi Februari 2016, setebal 214 halaman.

Oleh penulisnya, buku yang ditulis di tengah kesibukannya sebagai dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu dimaksudkan sebagai semacam buku pengantar untuk memahami karya monumental Heidegger "Ada dan Waktu".

Bagi pembaca yang awam terhadap risalah filsafat, apa yang disebut dalam konsep "ada" barangkali sudah membuatnya bingung atau tak berselera untuk menyimaknya. Konsep itu dipakai oleh Heidegger untuk mengupas problem mendasar dalam kehidupan dengan mengangkat pertanyaan: mengapa manusia atau segala sesuatu di jagat raya ini ada? Apa makna keberadaan semua itu? Mengapa keberadaan itu terbatasi oleh waktu?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu sudah disediakan oleh agama dan belakangan oleh sains. Pendekatan filsafat, agama dan sains menjadi khasanah kekayaan pengetahuan dan rohani manusia. Masing-masing punya kekuatannya sendiri-sendiri. Jawaban filsafat sangat spekulatif, jawaban agama dilandasi oleh iman dan jawaban sains berpatokan pada bukti-bukti empiris.

Heidegger mengajak pembacanya untuk merenungkan makna keberadaan di dunia ini dengan merenung secara serius. Bagi Heidegger, manusia perlu merenungkan hidupnya yang harus berhadapan dengan persoalan keseharian.

Untuk memudahkan memahami pikiran Heidegger, Budi Hardiman yang juga bergulat dalam filsafat humanisme itu memberikan penjelasan bahwa konsep "ada" merujuk pada semua kenyataan, fenomen berupa perasaan, pikiran, peristiwa dan benda-benda di jagat raya ini. Ilmu untuk menelaah segala yang ada itu dikenal sebagai fenomenologi. Di ranah fenomelogi inilah pikiran-pikiran filsafati Heidegger bertebaran.

Keberadaan manusia tentu merupakan bagian dari "ada", "mengada" dan bereksistensi. Dan di sinilah problem eksistensial yang menjadi lahan renungan Heidegger.


Menurut Heidegger, keberadaan manusia merupakan keterlemparan eksistensial. Artinya, manusia sejak awal dipaksa menerima nasibnya bahwa dia harus pasrah menerima nasib yang tak bisa dikalkulasikan sebelumnya.

Tentu berdasarkan akal dan pengalaman, konsekuensi-konsekuensi nasib di masa depan bisa dikira-kira namun perkiraan itu tak bisa menolong untuk memecahkan masalah takdir eksistensial.

Manusia tetaplah tak kuasa melawan kekurangan yang melekat dalam takdirnya. Dia tak kuasa membebaskan diri dari kecemasan, kegelisahan dan ketaksempurnaan dirinya.

Bagi peletak dasar filsafat eksistensialisme itu, manusia juga tak bisa melawan takdirnya untuk menjalani kehidupan keseharian yang melenyapkan kesadarannya untuk berpikir otentik.

Rutinitas keseharian menelikung manusia hidup dalam kepalsuan. Sebagai contoh, pilihan-pilihan hidup manusia bukan didasarkan atas pertimbangan atau alasan yang bermakna. Tapi alasan banal yang vulgar. Sebagai contoh, orang yang berlomba-lomba mewujudkan mimpi menjadi pesohor bukan karena di sanalah dia bisa memberikan makna dalam hidupnya tapi semata-mata karena alasan ketersohoran itu sendiri, terlepas apakah di dunia itu kelak dia akan terjerembab pada kehidupan hedonistis, penuh kepalsuan, dan destruktif.

Namun, di saat-saat tertentu, setiap orang, menurut guru cendikiawan Hannah Arendt itu, bereksistensi sebagai sosok yang otentik. Hidup yang otentik itu dialami oleh setiap orang ketika dia mengambil keputusan penting dalam hidupnya.

Tak jarang, manusia pun terperangkap dalam ironi, yakni mengalami eksistensi yang otentik ketika sedang memutuskan pilihan penting dalam hidupnya namun pilihan itu melemparkannya ke dalam dunia yang palsu.

Untuk membebaskan diri dari kepalsuan, dari rutinitas keseharian, Heidegger mengajak individu untuk menarik diri dari keramaian, menyendiri dan merenungkan makna hidupnya dengan intens.

Tentu untuk menjadi otentik dalam bereksistensi, menarik diri dari keramaian bukan jalan satu-satunya. Sebab seseorang bisa menjadi otentik dengan melibatkan diri dalam kebersamaan, dalam pilihan sadarnya untuk menyatakan solidaritasnya pada masyarakat.

Itulah sebagian pokok pikiran tentang eksistensi atau keberadaan menurut Heidegger yang belajar di Universitas Freiburg di bawah guru filsafatnya, Edmund Husserl, salah satu penggagas fenomenologi.

Sedangkan konsep tentang waktu, Heidegger menciptakan istilah-istilah yang bahkan untuk orang Jerman sendiripun sulit memahaminya seperti istilah "Innerzeitigkeit", yang tak ada dalam kamus bahasa Jerman.

Uraian Heidegger tentang waktu begitu pelik, namun Budi Hardiman mengupayakan sejumlah parafrasa yang diharapkan dapat ditangkap oleh pembaca umum.

Salah satu uraian itu adalah soal waktu masa depan. Di situ dijelaskan bahwa masa depan adalah kematian yang datang menghampiri. Artinya, manusia akan menghadapi keniscayaan yang menjadi konsekuensi dari keberadaannya.

Uraian itu bermuara pada konklusi bahwa hanya karena manusia bisa mati maka hidup mempunyai makna dan akan ada waktu untuk mengisi hidup. Andaikan manusia tak dapat mati, hidup kehilangan maknanya.

Buku karya F. Budi Hardiman ini tentu hanya sebatas untuk mengantar pembaca yang berminat menyimak pikiran-pikiran Heidegger. Tentu akan lebih afdol jika telaah terhadap pikiran-pikiran fenomenologis itu dilanjutkan dengan membaca langsung karya-karya Heidegger sendiri.

Sumber: ‎http://m.antaranews.com/berita/551577/menghadirkan-gagasan-heidegger 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.