Search This Blog

Sunday, March 23, 2014

Presiden dan Misteri Representasi (Donny Gahral Adian)

PEMILIHAN umum sejatinya adalah perebutan suara. Tak terkecuali pemilihan presiden. Survei pun digelar secara masif untuk mendeteksi keterpilihan dan keterkenalan seorang calon presiden.
Dia yang terdeteksi mewakili suara paling banyak biasanya menjadi primadona politik. Semua tokoh, tak peduli latar belakang ideologinya, berebut merapat ke sang primadona. Sebab, setiap orang ingin terciprat sihir suara sang tokoh. Padahal, representasi bukan sekadar jumlah  suara. Calon presiden tak hanya mewakili sekian banyak suara yang sudah dihipnotis media. Dia mewakili sesuatu yang jauh lebih sublim dari angka. Kita dapat  menyebutnya ideologi atau sesuatu yang lain.

Pada mulanya suara. Representasi adalah suara. Satu orang satu suara. Ini model representasi modern. Representasi modern dijangkiti apa yang disebut filsuf Jerman, Carl Schmitt, sebagai reproduksi teknologis. Reproduksi  teknologis adalah replikasi massal obyek material tanpa menyentuh esensi atau substansi obyek tersebut. Presiden hanya mewakili suara (kuantitatif) rakyat, dia abai persoalan substantif yang dialami rakyat, seperti kemiskinan, kebodohan, dan kesakitan.

Padahal, gagasan representasi pada abad pertengahan jauh sekali berbeda. Di sini, refleksi Schmitt tentang politik representasi Gereja Katolik Roma abad pertengahan patut dicermati. Politik representasi Gereja Katolik Roma, misalnya, beralas pada logika representasi tersendiri. Tak seperti representasi modern, Gereja Katolik Roma tak menghancurkan partikularitas konkret atas nama homogenisasi dan universalisasi. Representasi Gereja Katolik Roma merawat esensi yang tak serta-merta hadir dalam representan.

Gereja Katolik Roma tidak sekadar mereproduksi realitas kuantitatif dari representan sehingga menegasi orisinalitas dan partikularitasnya. Lukisan "Monalisa", misalnya, kehilangan orisinalitas dan partikularitasnya ketika direproduksi secara massal. Ucapan selamat lebaran menjadi banal ketika direproduksi dan disebarkan melalui layanan pesan singkat.

Representasi dalam politik Gereja Katolik tidak berarti menghadirkan kembali apa yang sudah hadir secara fisik. Kehadiran aktual bukan kehadiran fisik, melainkan sesuatu yang dihadirkan secara material melalui proses representasi. Kehadiran aktual dalam politik Gereja Katolik sama artinya dengan esensi atau sesuatu yang tidak serta-merta hadir dalam bentuk material. Representasi berfungsi mematerialisasikan esensi tersebut dan bukan semata mereproduksi realitas material yang diandaikan terberi.

Artinya, representasi politik tidak sama dengan sekian juta suara setelah pemilihan umum. Representasi bukan kerja setarikan napas. Representasi adalah kerja berkelanjutan dalam mematerialisasi substansi yang tidak serta-merta hadir dalam jumlah suara konstituen. Kerja politik pemimpin republik harus mampu menangkap esensi dari suara yang diwakilinya dalam bentuk kebijakan dan legislasi. Dia tidak sekadar memerintah berdasarkan pesanan pihak ketiga.

Pengejawantahan
Presiden adalah representasi politik yang dipilih secara langsung. Dia adalah  sekian juta suara yang memilihnya, habis perkara. Seolah semua selesai begitu suara dihitung dan pemenang diumumkan. Padahal, yang jauh lebih penting, apakah presiden terpilih mewakili sesuatu yang niskala bernama ideologi? Ideologi bukan suara terbanyak. Dia adalah seperangkat keyakinan politik yang diinstitusionalisasikan dalam kepartaian dan disemai melalui program dan kebijakan. Presiden tak lain kepanjangan ideologis partai pengusungnya. Bulat lonjong kebijakan presiden sebangun dengan garis besar politik partainya.

Dengan demikian, pencalonan presiden tidak sama dengan menjual barang. Pemilihan umum bukan etalase belaka. Komodifikasi calon presiden hanya membuatnya menjadi jargon berjalan yang dipandu suara kebanyakan. Saat kebanyakan orang suka yang blusukan, ramai-ramai calon lainnya ikut blusukan. Saat kebanyakan orang suka yang rendah hati, semua calon belajar menahan diri. Saat kebanyakan orang suka yang kerakyatan, semua calon berlomba-lomba makan di bawah jembatan.

Persoalannya, presiden komoditas adalah produk pabrik pencitraan, bukan institusi ideologis bernama partai politik. Presiden pun jadi "dia yang dikehendaki orang banyak". Orang banyak di sini diwakili oleh opini publik. Sementara, opini jarang yang benar-benar publik. Opini publik biasanya kepentingan segelintir orang yang didistribusikan secara sosial sehingga menjelma publik. Publik adalah arena tempat berbagai lembaga pembangun citra menancapkan pengaruhnya. Alhasil, muasal publik adalah sesuatu yang amat privat bernama nafkah dan upah.

Padahal, publik adalah sesuatu yang sakral. Kehadiran rakyatlah yang menghasilkan publik. Formula ini jadi penting ketika berbicara mengenai representasi politik. Representasi hanya dapat dilangsungkan di ruang publik. Tak ada representasi bertempat di ruang privat. Presiden mendapatkan karakter representasinya melalui aktivitasnya di ruang publik. Dia yang tak pernah turun ke lapangan menemui konstituennya kehilangan watak representasinya. Sesi-sesi rahasia, kesepakatan, dan konsultasi memang tak dapat dilepaskan dari kerja politik sehari-hari. Namun, segenap aktivitas ini tak punya karakter representasi sama sekali.

Tahun politik ini tahun penentuan. Apakah kita akan memperoleh presiden yang berbasis representasi atau  reproduksi. Reproduksi adalah perwakilan kuantitatif (suara, angka), sementara representasi adalah perwakilan kualitatif (nilai, prinsip). Suara dan angka digodok di lembaga-lembaga pembangun citra yang sepenuhnya swasta. Sementara, nilai dan prinsip digodok di parpol  selaku lembaga publik. Calon presiden produk partai akan bertarung dengan calon dari pabrik citra. Di sini kita akan melihat apakah kalkulasi akan mengalahkan ideologi. Apakah partai akan dilindas lembaga survei.

Ideologis dan aksesoris
Melepaskan capres ke mekanisme pemungutan suara hanya akan membuatnya jadi bulan-bulanan rekayasa media. Padahal, terdapat calon yang memang sungguh-sungguh pengejawantahan ideologi partainya. Dia tak blusukan karena hendak memungut suara terbanyak, tetapi ingin mengemban amanat ideologis partainya. Di sini, sang calon tidak bisa diobral untuk dipasangkan dengan siapa saja. Dia yang berpihak pada kedaulatan pangan tak bisa dipasangkan dengan yang gemar impor beras. Dia yang berniat meninjau ulang kontrak karya tak bisa dipasangkan dengan antek korporasi asing. Capres adalah prajurit ideologis partai. Suara dipanen karena konsistensi dirinya menjalankan amanat ideologis partai pengusung. Suara tak dipanen karena dia yang pro waralaba asing dipoles sehingga tampil layaknya pembela kaum papa.

Pemilihan presiden sudah dekat. Calon-calon mulai bermunculan. Sebagian sudah resmi sebagian masih bersembunyi. Kini saatnya kita memilih pemimpin tidak seperti mencomot sabun mandi. Kita memilih bukan karena iklan yang diulang secara murni dan konsekuen di stasiun-stasiun televisi swasta. Ini adalah pemilihan publik, bukan swasta. Kita harus memilih dia yang "blusukan ideologis", bukan "blusukan aksesoris".

Donny Gahral Adian, Dosen Filsafat UI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005516992
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Monday, March 10, 2014

Ketukan Palu Hakim (F Budi Hardiman)

DI  dalam sistem peradilan yang dikendalikan mafia hukum, korupsi diganjar dengan hukuman yang terlalu ringan. Hakim terkesan "mengerti" kebutuhan koruptor dan kurang peduli akan rasa keadilan. Publik merasa hukum telah dipermainkan dan tidak dapat menjadi tempat untuk menemukan keadilan.

Di tengah-tengah krisis wibawa hukum itu, Hakim Agung Artidjo Alkostar menjatuhkan vonis yang mengesankan atas sejumlah koruptor. Ketukan palunya menggentarkan mereka yang belum tertangkap bukan karena ancamannya, melainkan terutama karena diketukkan oleh seorang yang dapat menghasilkan keputusan yang berwibawa.

Gebrakan Artidjo mendorong kita untuk menimbang keadilan. Mengapa vonis "luar biasa" bisa menghasilkan keadilan? Dalam Politeia, lewat mulut seorang sofis, Plato mengemukakan kesangsian umum tentang keadilan. Thrasymachos, sofis itu, berkata bahwa keadilan adalah keuntungan bagi yang kuat. Waktu itu dalam polis yang dipimpin seorang tiran, definisi atas adil dan tak adil ditentukan oleh penguasa, maka keadilan mencerminkan kepentingan sang tiran sendiri. Hukum mendefinisikan apa yang adil dan tak adil, tetapi hukum itu sendiri tidak mencerminkan keadilan karena keadilan hanya menguntungkan pihak yang kuat.

Tentu saja konsep keadilan semacam itu bukanlah aspirasi semua orang. Keadilan seharusnya melindungi yang lemah. Yang lemah dengan sangat mudah ditindas dan dikecoh. Berbagai kasus korupsi pejabat di negeri ini membeberkan bagaimana pemegang mandat kekuasaan dengan mudahnya berdusta kepada pemberi mandat. Institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mewakili teriakan si lemah.

Lalu, apa itu keadilan? Keuntungan bagi yang kuat atau teriakan si lemah? Seharusnya keadilan adalah keuntungan dan perlindungan bagi semua, baik si lemah maupun si kuat, tetapi perbedaan antara kuat dan lemah itu sendiri sudah membuka problem keadilan. Keadilan baru bisa menjadi keuntungan bagi semua bila semua sama kuatnya. Itulah situasi hidup di dalam republik yang oleh Hannah Arendt dilukiskan sebagai sukacita bahwa semua pihak sama kuat.

Dalam republik, hukum bukan merupakan alat bagi si kuat untuk menindas si lemah dan juga bukan—seperti Nietzsche menyebutnya—ressentiment kelas yang tertindas, melainkan ungkapan kebebasan suara hati publik.

Mesin hukum
Tetapi, keadilan republik hanya sekadar gagasan bila tidak dijangkarkan ke dalam institusi hukum. Hukum itu harus merupakan hasil kontrak yang menjamin kesamaan semua pihak. Namun, tanpa ancaman, kontrak tidak bergigi. Seperti kata Thomas Hobbes dalam Leviathan, "Covenants, without the sword, are but words". Karena itu, negara, si pemegang monopoli pemakaian kekerasan, menjamin kepastian hukum dengan sistem sanksi.

Di dalam negara hukum, keadilan melembaga ke dalam sistem hukum. Adil dan tak adil adalah masalah kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan hukum. Positivisme hukum menjadi "syahadat" hakim. Tapi, keyakinan yang berlebihan atasnya hanya akan menghasilkan vonis dangkal yang tak lebih dari stempel administrasi rutin pengadilan. Pertanyaan tentang keadilan hukum lalu terdengar "bidaah" karena seolah ada sumber lain bagi keadilan di luar sistem hukum. Tentu pertanyaan itu manusiawi. Hakim bukanlah robot yang menjalankan mesin hukum.

Konsistensi berubah menjadi ketidakadilan ketika keadilan disamakan dengan kesesuaian dengan hukum belaka. Summum ius, summa inuria, tulis Cicero. Di dalam negara korup dengan mafia peradilan yang melindungi praktik korupsi, konsistensi bukan lahir dari tekad moral, melainkan dari naluri pemeliharaan diri. Situasi ini kita kenal bersama di negeri ini. Di mana ada uang dan kuasa, di situ orang tergoda untuk konsisten bukan pada suara hati, melainkan pada uang dan kuasa. Secara ironis tesis Thrasymachos—dengan sedikit revisi—dibenarkan dalam negara korup: keadilan adalah keuntungan bagi para penegak hukum dan para kroni mereka. Dalam konstelasi ini vonis tak lebih dari retorika sofistis yang melindungi kejahatan pejabat. Kenyataan ini juga tak asing bagi kita.

Murka publik
Negara korup gagal mengejawantahkan keadilan republik. Demokrasi ternyata juga tidak membagikan keadilan untuk semua. Koruptor bermultiplikasi bagai hewan-hewan pengerat. Harta rakyat yang mereka jarah mencapai ukuran superlatif yang memamerkan kerakusan yang tak bertepi. Terlalu sedikit perangkap yang dipasang, terlalu sedikit yang masuk ke dalamnya dan masih terlalu lunak hukuman yang diberikan kepada mereka. Di tengah frustrasi kolektif, mob lahir dari rahim ketidakberdayaan dengan teriakan murka menuntut keadilan.

Dalam Rechtsstaat tentu saja ada palang-palang yang membendung murka publik. Di situ ada trias politica, mekanisme pasar, masyarakat madani (civil society), dan sistem peradilan. Keempat pilar ini menjinakkan murka dengan menyublimasikannya menjadi argumen. Namun, mob kali ini tidak tampil telanjang, tetapi berbusanakan opini publik.

Kobaran murkanya terbaca di balik kritik dan sorotan media. Seandainya saja tidak dihalangi tertib hukum, mob di balik koran, TV, dan para demonstran ingin sekali langsung menjatuhkan vonis mati bagi para koruptor. Vonis tegas dan keras di meja hijau dikira dapat meredakan murka itu. Akan tetapi, bila tidak hati-hati, vonis itu justru mewakilinya dalam lambang dan atribut hukum. Apakah murka menghasilkan keadilan?

Menurut Jacques Derrida dalam Force of Law, jika diletakkan di luar sistem hukum positif, keadilan tak lebih daripada kobaran murka, dan vonis tak lebih dari pelaksanaannya. Namun, jika diidentikkan dengan sistem hukum, keadilan hanyalah kesesuaian dengan hukum, dan vonis tak lebih dari tindakan administratif.

Di dalam negara korup di mana konsistensi pada uang mempermainkan hukum, diperlukan vonis tegas yang konsisten pada hukum untuk mengembalikan wibawa hukum. Hal itu dilakukan Hakim Agung Artidjo dalam vonisnya. Vonis itu adil jika dihasilkan dari suara hati hakim yang memiliki integritas, bukan semata dari deduksi pasal hukum belaka. Keadilan tidak semata melayani reproduksi tatanan hukum, tetapi juga mendengarkan yang lain dalam keberlainannya, maka keadilan bukan sekadar hukum.

Ada "yang lebih" di sana, seperti tersirat dalam perkataan Artidjo dalam acara Kick Andy, "Di dunia ini saya hakim agung, tetapi di akhirat saya terdakwa." Takut akan Allah, bukan takut akan hukum, menangguhkan sistem hukum di dalam kesadaran hakim bagai momen "pemogokan umum" subyektif.

Hakim tidak sekadar mendeduksi, tetapi menafsirkan hukum untuk memberi fresh judgement. Seperti kata Derrida, vonis yang adil itu menjaga sekaligus menghapus undang-undang agar hukum ditetapkan lagi secara baru. Tanpa tegangan suara hati di mana sistem hukum ditangguhkan untuk mendengarkan singularitas kasus, sebuah vonis bisa saja sahih karena sesuai hukum, tetapi tidak adil. Hakim yang berintegritas menetapkan kembali undang-undang secara baru lewat ketukan palunya.

Dalam gerakan pemberantasan korupsi, kita membutuhkan hakim-hakim yang memiliki integritas tinggi seperti Artidjo. Keadilan tidak dapat diturunkan dari kepentingan oligarkis, dari murka publik, dan bahkan juga tidak dari sistem hukum. Ketukan palu berwibawa dari seorang hakim yang mendengarkan ketukan nuraninya merupakan bagian realisasi keadilan. Vonis seperti itu bukan berasal dari kedangkalan birokrasi hukum, melainkan dari kedalaman seorang manusia bajik dan bijak yang takut akan Allah.

Kedalaman itu pula yang membuatnya menyadari sebuah paradoks bahwa keadilan tidak dapat diputuskan, tetapi harus diputuskan justru untuk mewujudkannya sehingga setiap vonis memang lahir prematur.

F Budi Hardiman, Pengajar Filsafat Politik STF Driyarkara

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005369594
Powered by Telkomsel BlackBerry®