Search This Blog

Thursday, March 24, 2016

Menghadirkan gagasan Heidegger (M. Sunyoto)

Buku karya Martin Heidegger berjudul asli "Sein und Zeit" atau dalam Bahasa Inggris "Being and Time" yang diindonesiakan menjadi "Ada dan Waktu" (istimewa)

Ketenaran Martin Heidegger di kalangan pembaca buku-buku filsafat tak disangsikan lagi.

Bukunya yang masyhur, "Ada dan Waktu" yang ditulis dalam bahasa Jerman sebagai "Sein und Zeit" atau "Being and Time" dalam versi Inggrisnya, dinilai sebagai hasil pemikiran orisinal dalam jagat sejarah ide-ide filsafat.

Namun, semua penelaahnya, dari masa ke masa, seraya mengagumi orisinalitas yang diusungnya, juga mengakui kompleksitas dan kesulitan untuk memahaminya.

Bahkan filsuf eksistensialis Prancis Jean Paul Sartre yang merespons pikiran-pikiran itu dinilai oleh Heidegger bahwa Sartre tak tepat dalam menafsirkan gagasan-gagasan filosofisnya.

Untuk memperkenalkan ide-ide Heidegger yang kontroversial karena kaitannya dengan penguasa Nazi itu kepada khalayak di Tanah Air, Dr. F. Budi Hardiman, alumnus Hochschule fur Philosophie Munchen Germany, menulis buku bertajuk "Heidegger dan Mistik Kehidupan", yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, edisi Februari 2016, setebal 214 halaman.

Oleh penulisnya, buku yang ditulis di tengah kesibukannya sebagai dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu dimaksudkan sebagai semacam buku pengantar untuk memahami karya monumental Heidegger "Ada dan Waktu".

Bagi pembaca yang awam terhadap risalah filsafat, apa yang disebut dalam konsep "ada" barangkali sudah membuatnya bingung atau tak berselera untuk menyimaknya. Konsep itu dipakai oleh Heidegger untuk mengupas problem mendasar dalam kehidupan dengan mengangkat pertanyaan: mengapa manusia atau segala sesuatu di jagat raya ini ada? Apa makna keberadaan semua itu? Mengapa keberadaan itu terbatasi oleh waktu?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu sudah disediakan oleh agama dan belakangan oleh sains. Pendekatan filsafat, agama dan sains menjadi khasanah kekayaan pengetahuan dan rohani manusia. Masing-masing punya kekuatannya sendiri-sendiri. Jawaban filsafat sangat spekulatif, jawaban agama dilandasi oleh iman dan jawaban sains berpatokan pada bukti-bukti empiris.

Heidegger mengajak pembacanya untuk merenungkan makna keberadaan di dunia ini dengan merenung secara serius. Bagi Heidegger, manusia perlu merenungkan hidupnya yang harus berhadapan dengan persoalan keseharian.

Untuk memudahkan memahami pikiran Heidegger, Budi Hardiman yang juga bergulat dalam filsafat humanisme itu memberikan penjelasan bahwa konsep "ada" merujuk pada semua kenyataan, fenomen berupa perasaan, pikiran, peristiwa dan benda-benda di jagat raya ini. Ilmu untuk menelaah segala yang ada itu dikenal sebagai fenomenologi. Di ranah fenomelogi inilah pikiran-pikiran filsafati Heidegger bertebaran.

Keberadaan manusia tentu merupakan bagian dari "ada", "mengada" dan bereksistensi. Dan di sinilah problem eksistensial yang menjadi lahan renungan Heidegger.


Menurut Heidegger, keberadaan manusia merupakan keterlemparan eksistensial. Artinya, manusia sejak awal dipaksa menerima nasibnya bahwa dia harus pasrah menerima nasib yang tak bisa dikalkulasikan sebelumnya.

Tentu berdasarkan akal dan pengalaman, konsekuensi-konsekuensi nasib di masa depan bisa dikira-kira namun perkiraan itu tak bisa menolong untuk memecahkan masalah takdir eksistensial.

Manusia tetaplah tak kuasa melawan kekurangan yang melekat dalam takdirnya. Dia tak kuasa membebaskan diri dari kecemasan, kegelisahan dan ketaksempurnaan dirinya.

Bagi peletak dasar filsafat eksistensialisme itu, manusia juga tak bisa melawan takdirnya untuk menjalani kehidupan keseharian yang melenyapkan kesadarannya untuk berpikir otentik.

Rutinitas keseharian menelikung manusia hidup dalam kepalsuan. Sebagai contoh, pilihan-pilihan hidup manusia bukan didasarkan atas pertimbangan atau alasan yang bermakna. Tapi alasan banal yang vulgar. Sebagai contoh, orang yang berlomba-lomba mewujudkan mimpi menjadi pesohor bukan karena di sanalah dia bisa memberikan makna dalam hidupnya tapi semata-mata karena alasan ketersohoran itu sendiri, terlepas apakah di dunia itu kelak dia akan terjerembab pada kehidupan hedonistis, penuh kepalsuan, dan destruktif.

Namun, di saat-saat tertentu, setiap orang, menurut guru cendikiawan Hannah Arendt itu, bereksistensi sebagai sosok yang otentik. Hidup yang otentik itu dialami oleh setiap orang ketika dia mengambil keputusan penting dalam hidupnya.

Tak jarang, manusia pun terperangkap dalam ironi, yakni mengalami eksistensi yang otentik ketika sedang memutuskan pilihan penting dalam hidupnya namun pilihan itu melemparkannya ke dalam dunia yang palsu.

Untuk membebaskan diri dari kepalsuan, dari rutinitas keseharian, Heidegger mengajak individu untuk menarik diri dari keramaian, menyendiri dan merenungkan makna hidupnya dengan intens.

Tentu untuk menjadi otentik dalam bereksistensi, menarik diri dari keramaian bukan jalan satu-satunya. Sebab seseorang bisa menjadi otentik dengan melibatkan diri dalam kebersamaan, dalam pilihan sadarnya untuk menyatakan solidaritasnya pada masyarakat.

Itulah sebagian pokok pikiran tentang eksistensi atau keberadaan menurut Heidegger yang belajar di Universitas Freiburg di bawah guru filsafatnya, Edmund Husserl, salah satu penggagas fenomenologi.

Sedangkan konsep tentang waktu, Heidegger menciptakan istilah-istilah yang bahkan untuk orang Jerman sendiripun sulit memahaminya seperti istilah "Innerzeitigkeit", yang tak ada dalam kamus bahasa Jerman.

Uraian Heidegger tentang waktu begitu pelik, namun Budi Hardiman mengupayakan sejumlah parafrasa yang diharapkan dapat ditangkap oleh pembaca umum.

Salah satu uraian itu adalah soal waktu masa depan. Di situ dijelaskan bahwa masa depan adalah kematian yang datang menghampiri. Artinya, manusia akan menghadapi keniscayaan yang menjadi konsekuensi dari keberadaannya.

Uraian itu bermuara pada konklusi bahwa hanya karena manusia bisa mati maka hidup mempunyai makna dan akan ada waktu untuk mengisi hidup. Andaikan manusia tak dapat mati, hidup kehilangan maknanya.

Buku karya F. Budi Hardiman ini tentu hanya sebatas untuk mengantar pembaca yang berminat menyimak pikiran-pikiran Heidegger. Tentu akan lebih afdol jika telaah terhadap pikiran-pikiran fenomenologis itu dilanjutkan dengan membaca langsung karya-karya Heidegger sendiri.

Sumber: ‎http://m.antaranews.com/berita/551577/menghadirkan-gagasan-heidegger 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tuesday, March 22, 2016

KALIMAT PENYEJUK HATI (nasehat bijaksana)

1. Jika kita memelihara kebencian dan dendam, maka seluruh waktu dan pikiran yang kita miliki akan habis begitu saja. Kita tidak akan pernah menjadi orang yang produktif.

2. Kekurangan orang lain
adalah ladang pahala bagi kita untuk :
- memaafkannya,
- mendoakannya,
- memperbaikinya dan
- menjaga aibnya.

3. Bukan gelar dan jabatan yang menjadikan orang menjadi mulia. Jika kualitas pribadi kita buruk, semua itu hanyalah topeng tanpa wajah.

4. Ciri seorang pemimpin yang baik akan tampak dari :
- kematangan pribadi,
- buah karya dan
- integrasi antara kata dan perbuatannya.

5. Jangan pernah menyuruh orang lain untuk berbuat baik sebelum menyuruh diri sendiri. Awali segala sesuatunya untuk
kebaikan diri kita.

6. Para pembohong akan dipenjara oleh kebohongannya sendiri. Orang yang jujur akan menikmati kemerdekaan dalam hidupnya.

7. Bila memiliki banyak harta, maka kitalah yang akan menjaga harta. Namun jika kita memiliki banyak ilmu, maka ilmu lah yang akan menjaga kita.

8. Bekerja keras adalah kontribusi fisik. 
Bekerja cerdas adalah kontribusi otak. 
Bekerja ikhlas adalah kontribusi hati.

9. Jadikanlah setiap kritik bahkan penghinaan yang kita terima sebagai jalan untuk memperbaiki diri.

10. Kita tidak pernah tahu kapan kematian akan menjemput kita, tapi kita tahu persis seberapa banyak bekal yang kita miliki untuk menghadapinya.‎
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Sunday, March 13, 2016

Senjakala Humaniora (FADLY RAHMAN)

Kabar tak sedap datang dari Jepang. Sebagaimana dilansir www.timeshighereducation.com bahwa pada September 2015 Pemerintah Jepang memerintahkan universitas-universitas di sana menutup fakultas-fakultas ilmu sosial dan humaniora.
DIDIE SW

Dari 60 universitas nasional, 26 di antaranya telah mengonfirmasi akan menutup atau menimbang kembali perintah pemerintah itu. Perintah yang merupakan bagian dari upaya Perdana Menteri Shinzo Abe itu dimaksudkan untuk mempromosikan lebih banyak pendidikan kejuruan "yang lebih baik" dalam mengantisipasi "kebutuhan-kebutuhan masyarakat".

Patut disayangkan, kemajuan Jepang yang sejak akhir abad ke-19 dipupuk dengan nilai-nilai luhur filosofi, sejarah, dan budayanya perlahan-lahan kini terkikis ketika-khususnya-humaniora sebagai pengontrol laju modernitas telah dianggap malafungsi. Tampaknya di tengah arus kecanggihan, kecepatan, dan keinstanan teknologi, posisi humaniora perlahan-lahan terpinggirkan oleh kebutuhan ekonomi dan industri pasar yang mengatasnamakan "kebutuhan masyarakat". Lalu, apakah kini humaniora benar-benar tengah menjelang senjakalanya?

Humaniora, humanisme

Gejala senjakala humaniora sebenarnya sudah digelisahkan sejak beberapa tahun lalu. Bukan hanya di Jepang, gejala itu bersifat global sebagaimana diramalkan Terry Eagleton dalam tulisannya, The Death of Universities (2010).

Menurut Eagleton, jika disiplin humaniora tersingkir dari universitas, maka tidak mungkin universitas bisa berdiri tanpanya. Dan, ketika ilmu sejarah, arkeologi, antropologi, filsafat, linguistik, sastra, dan seni menjadi tak lebih dari sekadar "artefak pengetahuan" belaka, maka jelas ini telah mengingkari landasan historis dan filosofis universitas itu sendiri yang sejak abad ke-18 tak bisa dipisahkan dari peran penting disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan, humane disciplines.

Ketika Revolusi Industri bergeliat pada abad ke-18, saat itu lembaga-lembaga universitas di Eropa mengembangkan humaniora modern sebagai disiplin untuk mengimbangi laju kapitalisme dan modernisme. Posisi dan fungsinya tidak lain untuk menjaga nilai-nilai dan ide-ide kemanusiaan demi mewujudkan harmonisasi kehidupan.

Meski merupakan disiplin ilmu tersendiri, baik secara eksplisit maupun implisit, humaniora memiliki relasi sinergis dengan disiplin ilmu lainnya. Relasi itu menciptakan gagasan-gagasan humanistis semisal ekonomi kerakyatan, penegakan hukum yang berkeadilan, pelayanan kesehatan yang manusiawi, dan kewajiban memberikan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Bahkan, sinergi itu tak berarti harus dimulai di bangku universitas, melainkan sudah dirintis sejak di bangku sekolah. Misalnya, di beberapa negara Eropa (Jerman, Perancis, Belanda, dan Rusia), Amerika Serikat, dan Asia (Jepang, Tiongkok, Malaysia, dan Thailand), siswa-siswa diwajibkan membaca buku-buku sastra. Membaca sastra artinya menangkap pesan-pesan kemanusiaan yang dapat membentuk karakter moral para siswa. Dengan begitu, sikap jujur, adil, rasa welas asih, empati, toleran, serta berkesadaran dalam menjaga keharmonisan hidup manusia dengan alam bakal terus terpatri dalam jiwanya.   

Maka, sinergi antara humaniora dengan disiplin ilmu lainnya diharapkan dapat menjadi kontrol untuk mengarahkan berbagai aspek kehidupan menjadi lebih manusiawi. Perjalanan humaniora sendiri seiring sejalan dengan kehadiran sosok-sosok humanis dalam sejarah peradaban yang menghendaki kebaikan hidup bagi umat manusia.

Tengok saja beberapa contoh sosok, seperti Gandhi (India), sarjana hukum yang terpanggil jiwanya untuk membela dan membebaskan rakyat India dari penindasan kolonialisme Inggris. Dalam bidang kedokteran, nama seperti Jose Rizal (Filipina), Sun Yat-sen (Tiongkok), dan Che Guevara (Kuba) mendedikasikan tanpa pamrih ilmu medisnya untuk menyembuhkan jiwa raga saudara-saudara sebangsanya yang tertindas.

Dalam bidang sosial keagamaan, ada Bunda Theresa yang menjadi sosok penerang hidup bagi kaum papa di Calcutta, India. Dalam bidang ekonomi, ada Muhammad Yunus yang berupaya mengembangkan ekonomi mikro dengan mendirikan Bank Grameen untuk memajukan para usahawan miskin di Banglades.    

Terlepas apakah posisi humaniora memberi pengaruh secara langsung atau tidak langsung, kiprah hidup sosok-sosok di atas tidak bisa dilepaskan dari pengalaman pendidikan atau bacaan pengetahuannya terhadap sejarah, filsafat, sastra, budaya, dan teologi yang menempa jiwa dan pikiran mereka memahami hakikat manusia hidup di dunia. Humaniora sejatinya membimbing manusia menjadi reflektif dalam menyelami nilai-nilai kemanusiaannya.

Realitas di Indonesia

Di Indonesia model "pendidikan yang memanusiakan manusia" pernah ADA PADA MASA HINDIA BELANDA. SISWA-SISWA AMS (ALGEMENE MIDDELBARE SCHOOL, SETINGKAT SMU) HINDIA BELANDA DIWAJIBKAN MEMBACA KARYA-KARYA SASTRA SEBANYAK BELASAN HINGGA 20-AN JUDUL SELAMA MASA STUDINYA. TIDAK HERAN JIKA GENERASI SAAT ITU DENGAN SEGALA PROFESINYA BEGITU TEGUH DALAM MENGEMBAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN.

Para dokter, seperti Wahidin Sudirohusodo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soetomo menjadi tabib bagi saudara-saudara sebangsanya yang ditindas oleh rezim kolonial. Ada pula Hatta, ekonom yang rakus membaca buku itu, yang merumuskan pembentukan koperasi sebagai sokoguru ekonomi bangsa.

Generasi selepas mereka tak kalah hebatnya. Taruh saja Yap Thiam Hien "sang pendekar keadilan" dari bidang hukum yang memilih berjuang membela kaum tertindas dan minoritas. Atau YB Mangunwijaya, arsitek cum sastrawan yang mendedikasikan hidupnya mendidik anak-anak melalui metode "pendidikan yang memanusiakan manusia" itu.

Dari mereka kita bisa menangkap makna penting nilai-nilai kemanusiaan yang perlu dirawat untuk Indonesia masa sekarang. Maka, posisi humaniora perlu benar-benar diperhatikan urgensinya dengan mengembangkan orientasi keilmuan di universitas secara lintas disiplin.

Bayangkan, betapa bahagia jika kita punya dokter-dokter yang meresapi secara tulus filosofi sumpah Hipokrates yang pernah diucapnya. Pun para ahli hukum belajar meneladani kisah-kisah para penegak keadilan dalam memihak kaum tertindas. Andai para dokter dan aparat hukum membaca tetralogi Pramoedya Ananta Toer, lalu meresapinya, barangkali masyarakat bakal menyanjung mereka sebagai "pahlawan kehidupan".   

Indonesia dan juga dunia sekarang ini memerlukan generasi yang punya sense of humanities. Generasi inilah yang diharapkan dapat memutus generasi yang krisis rasa kemanusiaannya seperti: tenaga medis yang hanya pamrih menyembuhkan orang- orang berduit; hakim yang memenangkan para pengusaha perusak lingkungan; politisi dan anggota dewan yang korup; serta pejabat negara yang tidak melindungi hak-hak kaum minoritas dan tertindas.

Itulah sebabnya spirit humaniora harus terus bernyala, jangan dibiarkan menuju senjakala.

FADLY RAHMANSEJARAWAN; ALUMNUS PASCASARJANA SEJARAH UGM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Senjakala Humaniora".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Wednesday, March 02, 2016

Filosofi AHOK (petikan kata-kata AHOK)

Inilah Beberapa PETIKAN KATA KATA Pak Ahok 
yang selalu Membangunkan TIDURKU 
dan Juga Mungkin Tidurmu ....

# Gw memang Cina...
Tapi Gw dilahirkan dan dibesarkan di indonesia..
APA SALAH kalo gw  ingin membangun Indonesia 
BERSIH dari SISTEM KORUP ?

# Ingat saja pepatah Tiongkok,
'sebelum bunyi empat paku di atas peti mati kamu, 
kamu tidak bisa Nilai orang lain itu baik atau buruk', 
nanti kamu baru tahu .....
apa yang saya kerjakan.

# Kalaupun Gua Harus Mati Memperjuangkan Kepentingan Orang Banyak,
Loe Kagak Bisa BELI CARA MATI " Gua Bosss....

# Saya bilang ke istri..APAPUN yang TERJADI , 
Kamu jangan Pernah MENYALAHKAN TUHAN..
TUHAN Ngak Pernah Salah ..!
Jika saya nanti mati karna melawan korupsi ..
Tulis di Pusara saya :  MATI adalah KEUNTUNGAN 
Jika perlu pakai 3 bahasa...Indonesia , mandarin dan inggris
itupun kalau MAYAT SAYA KETEMU !

# jika KEPALANYA LURUS
maka yang dibawahnya TIDAK BERANI untuk tidak lurus

# Bedanya kami melakukan pendidikan politik untuk menyadarkan rakyat untuk memilih (pemimpin yang Bersih, Transparan dan Profesional) 
bukan memilih karena diberi baju kaos atau uang.

# Yang dibutuhkan (calon pemimpin) BUKAN suara rakyat saja,
 tetapi bagaimana mendapatkan Hati rakyat
Terus mencari dan memotivasi pemuda-pemuda idealis, 
terdidik dan mampu secara ekonomi untuk tidak apatis

# ...Bukan sebaliknya mengatas namakan Tuhan
 tetapi menikmati hidup atas penderitaan rakyat miskin

#  anda Tak perlu harus angkat senjata atau menyabung nyawa 
seperti pejuang kemerdekaan kita dulu ..
CUKUP jangan korupsi saja , itu sudah menolong negara .

# "Karena orang miskin akan terus ada. 
Sampai kiamat pasti ada orang yang kurang beruntung.
Tidak selamanya Orang Miskin Dilupakan
Untuk itulah Pemerintah seharusnya ada .

# Kita semua ini MUNAFIK ..
CURI Uang Rakyat dikatakan TIDAK DOSA..
Main Cewek diam diam dikatakan Tidak dosa

# Jika sistem demokrasi  kita engak pilih Orang baik..
maka orang TIDAK BAIK yang Berkuasa 

# Saya sudah MUAK dengan semua kemunafikan itu ..
setiap hari HARUS DENGAR Keluhan Warga.
seakan akan selama ini Negara Tak Pernah ada ...

# Jangankan dipanggil Angket ..
dipanggil TUHAN Saja , Kita udah siap Koq...
Kita TAU resiko MELAWAN ARUS direpublik ini ..

# Kalau KPK sampai menersangkakan saya 
dengan alasan tidak jelas, 
berarti TAKDIR SAYA  juga melawan oknum KPK. 
Top banget, republik ini saya lawan semua

# Saya akan Berhenti Jadi Pemimpin ,
 jika semua pejabat berkelakuan Baik

# Bicara Saya memang Kasar..
TAPI saya Takkan Pernah mencuri Uang Rakyat .

# "Haknya rakyat dibajak sekelompok politisi. 
Sekelompok orang yang merasa mewakili rakyat." 

#  Saat ini banyak kepala daerah yang tidak memikirkan rakyat. 
Kepala daerah yang dipilih DPRD hanya berkonsentrasi bagaimana caranya agar anggota dewan senang... 
Agar pertanggungjawabannya dapat diterima 
dan menjaga posisinya tetap aman.

# "Yang namanya bupati, wali kota dan gubernur itu
 enggak pernah ngurusin rakyat....
 Dia cuma mikirin ngurusin DPRD , Karena kan
 yang milih dia balik ke DPRD. 
Jadinya DPRD jadi raja. 
Karena itu rakyat memberontak, 
lagi pula kita enggak merasa diwakilin DPRD kok,

# Saya SIAP Pasang badan...
Saya SIAP MATI demi membela kepentingan masyarakat Jakarta.
Jika ada yang macam macam , SAYA yang HADAPI !

(beredar di WA)
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.