Search This Blog

Monday, November 03, 2014

Sikap Mental ”Orang Bersih” (Saifur Rohman)

PARA menteri yang diumumkan Presiden pada Minggu (26/10) didahului oleh isu penting tentang hadirnya "orang bersih".
Hal itu merupakan tindak lanjut dari hasil penelusuran institusional yang ditengarai mampu menentukan seseorang sebagai "bersih" dan "tidak bersih". Setelah pengumuman, Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan ada delapan orang dari 34 menteri memiliki label "kurang bersih" (Senin, 27/10). Institusi tersebut menyatakan nilai moral itu dengan cara memberi identitas merah, kuning, dan hijau. Merah berarti memiliki individu bermasalah, kuning berarti ada potensi memiliki masalah hukum, dan hijau berarti bersih dari masalah. Dengan begitu, menteri haruslah memiliki label "hijau" dari institusi yang dimaksud.

Moralitas versus hukum 
Atas dasar pengertian itu, "orang bersih" dapat dimengerti sebagai individu yang tidak memiliki kasus-kasus hukum. Lagi pula, cita-cita reformasi sebagaimana dituangkan dalam naskah perundang-undangan adalah hadirnya individu yang bebas dari praktik  korupsi, kolusi, dan nepotisme. Apabila "orang bersih" itu dimaknai orang yang bebas dari kasus hukum, bagaimana  kasus lain yang terkait dengan sikap mental mereka? Model sikap seperti apakah "orang-orang bersih" yang akan membantu Presiden selama lima tahun nanti?

Dalam pengalaman formal di masyarakat, rekam jejak individu ditentukan oleh institusi kepolisian. Polri mengeluarkan surat keterangan sebagai catatan kepolisian. Surat itulah yang kemudian disebut dengan "perilaku baik". Kendati demikian, surat keterangan itu bukanlah jaminan terhadap sikap mental yang dimiliki individu. Itulah kenapa dalam pencarian sumber daya manusia di sebuah perusahaan tak hanya dibutuhkan seseorang yang memiliki prestasi bagus, tetapi juga sikap mental yang tepat untuk posisi tertentu. Tak aneh jika korporat-korporat besar melakukan terobosan untuk mengetahui sikap mental calon pegawai melalui penelusuran terhadap media sosial yang dimiliki.

Logika ini berupaya untuk menyatakan bahwa Indonesia sebagai sebuah "perusahaan besar" dianggap telah memiliki sebuah mekanisme pendidikan untuk menghasilkan warga negara yang "bersih". Karena itu, dalam pola pikir pendidikan dikenal empat indikator keberhasilan pendidikan terhadap individu, yakni kemampuan spiritual, sosial, kognitif, dan psikomotorik. Dalam praktiknya sekarang, ukuran-ukuran yang dapat ditembus oleh institusi-institusi formal itu adalah kemampuan kognitif dan psikomotorik seorang pejabat.

Kebijakan-kebijakan sebelumnya dapat dinilai dengan variabel-variabel kinerja, sedangkan karya pejabat dilihat berdasarkan efek terhadap publik. Sementara kemampuan spiritual dan sosial tidak mendapatkan perhatian yang proporsional. Institusi formal tidak mampu menembus tingkat kesalehan seseorang kepada Tuhan dan kesantunan kepada orang lain.

Masalahnya, pencapaian pembelajaran dari individu tidak pernah diukur melalui penelusuran diskursif. Dalam teori-teori wacana ditunjukkan tentang cara menguak maksud-maksud terselubung yang tidak bisa ditembus dengan pemaknaan formal.

Untuk mengetahui keadaan sesungguhnya, Jurgen Habermas, filsuf Jerman, pernah membuktikan teknik pengujian melalui teknik kesungguhan dan kebenaran. Kesungguhan mengacu kesadaran seorang penutur melalui kalimat yang harus diulang dalam wacana dan kebenaran mengacu pada fakta-fakta yang memadai untuk mendukung wacana. Praktik pembelajaran individu yang praktis, empiris, dan pragmatis selama ini menjadi orientasi fundamental untuk menemukan aparat negara.

Sikap mental para menteri
Itulah kenapa kita tidak harus merasa aneh apabila melihat "orang bersih" ternyata memiliki perilaku tidak santun. Ditemukan bukti, seorang perempuan yang menjadi menteri sedang merokok ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan. Demikian pula tidak aneh apabila beberapa menteri yang baru dilantik ditemukan sedang duduk di emperan gedung Istana Presiden sambil mengisap rokok sehingga ditegur oleh Paspampres.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, kita bisa menganalisis wacana yang muncul setelah pelantikan. Alhasil, sebetulnya kita telah memperoleh gambaran tentang sikap mental para pembantu Presiden itu. Pertama, menteri yang tak sopan. Bukti, merokok dalam komunikasi formal jelas menimbulkan pertanyaan etis ketimbang pertimbangan efisiensi. Dalam pergaulan publik memerlukan sebuah etiket yang dipatuhi pejabat.

Seorang menteri yang tidak memahami etiket komunikasi akan berdampak terhadap perilaku publik. Orang-orang yang diduga memiliki sikap tidak etis memang tidak menjadi bagian dari ranah yuridis, tetapi tetaplah menjadi bagian dari ingatan kolektif yang buruk.

Kedua, menteri pragmatis. Pejabat ini akan mengedepankan tujuan-tujuan jelas yang harus dilalui dengan permainan yang aman. Manusia yang tak bermasalah bukan berarti bersih karena ia bisa jadi sangat mengerti teknik-teknik permainan dalam sistem birokrasi. Bukti, menteri yang berasal dari kalangan pebisnis sangat jelas bertindak pragmatis. Demikian pula munculnya dugaan kasus yang belum tuntas pada seorang menteri jelas ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kemampuan pribadi keluar dari jeratan hukum.

Ketiga, menteri yang politis. Pejabat jenis ini memiliki kepentingan golongan yang tak bisa dinafikan begitu saja. Bukti, lebih dari separuh Kabinet Kerja merupakan orang-orang yang mengabdikan diri dalam organisasi politik. Hal itu akan berimplikasi secara ideologis terhadap setiap kebijakan yang muncul pada masa yang akan datang. Sistem yang bersih tak selalu berkorelasi hadirnya orang bersih. Kasus-kasus yang muncul dari partai selama ini menunjukkan tentang ketidakmampuan sistem membentuk sikap mental individu secara internal. Pandangan psikologi klinis menunjukkan pentingnya mengetahui motif terselubung, kepentingan yang tak terlihat, hingga taktik permainan dalam mekanisme birokrasi.

Jadi, pernyataan tentang "orang-orang bersih" dari institusi tetaplah tak bisa lepas dari petuah leluhur tentang hukum "mendulang air tepercik ke muka sendiri". Mekanisme formal cukuplah menunjukkan catatan hukum yang tak bisa dianggap sebagai bagian catatan moralitas, etiket, bahkan sikap mental menteri lima tahun mendatang.

Saifur Rohman Pengajar di Program Doktor Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009808056
Powered by Telkomsel BlackBerry®

No comments: