Oleh Acep Iwan Saidi
Siklus ini menyebabkan kita, pada pergantiannya, seolah menghadapi yang baru sehingga galib menyebut 1 Januari tahun baru. Padahal, pada titik substansi (lapis dalam), kehidupan sebenarnya bergerak terus ke arah yang mungkin tak bisa disikluskan, tidak juga dapat dikatakan linear. Ke manakah kehidupan bergerak, ke depan atau justru ke belakang?
Nalar manusia cenderung menangkap bahwa kita sedang bergerak ke depan. Kecenderungan pemahaman ini juga sering disertai keyakinan ”mistis”: bergerak ke depan identik menyongsong kemajuan (ke depan kita maju, ke belakang kita mundur). Faktanya kita melihat kian hari peradaban manusia tak membaik. Berbagai penemuan bidang sains dan teknologi yang lahir dari kecanggihan berpikir manusia ternyata tak serta-merta membuat kehidupan lebih tenteram. Alih-alih kian damai, penemuan itu justru membuat manusia merasa terancam, panik, skizoprenik, dan irasional.
Dalam konteks lain yang lebih aktual, kita bisa mengambil proposisi ekstrem: jika kian hari manusia kian berpikir canggih, kota metropolitan macam Jakarta mestinya kian jadi kota yang tertata baik. Pun demikian kasus pengelolaan negara: pemerintahan SBY seharusnya lebih bagus dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Namun, bukankah kenyataannya tak begitu. Jakarta justru bergerak ke arah nekropolis (kota kehancuran). Kebobrokan moral pada tubuh pemerintahan sama parahnya dengan masa lalu.
Itu berarti kita sebenarnya tak bergerak ke depan dalam arti ke arah lebih maju. Kiranya juga tak melangkah ke belakang sebab kebaikan dan prestasi di belakang tak terlampaui; keburukannya tak bisa diperbaiki. Kita, hemat saya, jadi patahan-patahan mengambang. Kita ahistoris, tapi juga tak progresif. Tak mengenal masa lalu sekaligus buta terhadap masa depan. Inilah yang saya sebut matinya narasi.
Narasi, dalam arti sempit, adalah rangkaian peristiwa (Gennete, 1980). Rangkaian peristiwa meniscayakan unsur pelaku, waktu, ruang, dan realitas peristiwa. Relasi semua unsur itu membentuk durasi, yakni gerak maju masa lalu ke masa kini, dan lantas ”memersepsi” masa depan. Sebuah gerak maju adalah kesatuan yang tidak dapat dibagi (dure) dari masa lalu sehingga dengan begitu ia mengandaikan masa depan (Bergson, 2002). Dengan inilah, dalam arti luas, narasi membentuk pengetahuan (Lyotard, 1989).
Kebudayaan atau lebih luas peradaban terbentuk dari ”praktik narasi” ini.
Akan tetapi, hal itu tidak terjadi dalam kehidupan kebudayaan kita, setidaknya dalam dua dekade terakhir. Demokrasi yang telah direbut dengan gemilang oleh gerakan reformasi ternyata tidak dimaknai dan dimanfaatkan dengan baik. Alih-alih memanfaatkan kebebasan berbicara untuk mengonstruksi pengetahuan naratif, kita justru mengambil demokrasi untuk menghancurkan pengetahuan.
Elemen-elemen narasi terlempar ke berbagai arah, tak ada relasi, apalagi kesatuan yang utuh. Kita mengambil ruang dan waktu penceritaan, tetapi tidak memiliki waktu dan ruang cerita. Artinya, kita hanya bercerita, tetapi penceritaannya tak menapak pada ruang dan waktu di mana di dalamnya kita terlibat secara nyata. Dalam perspektif semiotika, kita hanya bermain-main dengan tanda, tetapi tanda tersebut tidak mengakar pada realitas. Ia terbelokkan dan hanya berputar-putar di dunia tanda itu sendiri. Segalanya adalah tanda, adalah image.
Image adalah sebuah ”realitas metaforik”, yakni realitas baru yang diciptakan (bukan realitas sebenarnya). Untuk menciptakan realitas ini, sejarah harus diputus dan masa depan tak boleh ditetapkan. Dengan kata lain, narasi mesti dibunuh sehingga tak ada lagi pengetahuan, tak ada lagi esensi. Dalam kondisi demikian, kita dipaksa melihat dan memaknai hari ini untuk hari ini saja.
Kita dipaksa untuk selalu lupa. Tiba-tiba, misalnya, kita mendapatkan seseorang menjadi pejabat publik, anggota DPR, atau bahkan penegak hukum. Padahal, beberapa saat sebelumnya, kita menemukan orang tersebut adalah koruptor, pelaku kriminal, atau penjahat lain. Kita tidak boleh mengingat masa lalu, sekaligus tak harus peduli pada masa depan. Dalam image, dalam kematian narasi, kita dipaksa untuk terus-menerus mengelabui realitas. Itulah mengapa Umberto Eco (1979) menyebut tanda sebagai dusta, ilmu tanda (semiotika) adalah ilmu tentang dusta.
Realitas metaforik sedemikian tentu tidak terbentuk dengan sendirinya. Ia adalah konstruksi dari konspirasi berbagai pihak: penguasa, pengusaha, politisi, media (terutama televisi), praktisi bidang tertentu seperti desainer, sampai akademisi. Semua bersama-sama (seperti jargon pemerintahan SBY) mengoyak-ngoyak narasi, menghancurkan pengetahuan. Bagi saya, matinya narasi sedemikian adalah tragedi kebudayaan, bahkan malapetaka peradaban yang mengerikan. Matinya narasi membuat kita dalam jagat dusta.
Apakah dengan begitu kita sedang bergerak ke ruang dan waktu masa lalu peradaban, yakni zaman kegelapan? Dalam bahasa, kiranya terasa hiperbolis jika kita menjawab pertanyaan itu dengan ”ya”. Namun, secara faktual kita menemukan kenyataan tak terelakkan: matinya narasi menyebabkan irasionalitas nyaris di seluruh kehidupan. Beranalogi pada Schroeder dalam Visual Consumption (2002), belanja dan konsumsi sehari-hari kita adalah image, adalah dusta. Akan tetapi, di bawah tenung televisi, kita terlena. Bukankah dengan begitu sesungguhnya kita tengah berada dalam gelap? Semoga kita bisa menutup tahun ini dengan mata terbuka agar tahun berikutnya menjadi harapan. Selamat berakhir tahun!
Kompas, 29 Desember 2011