Search This Blog

Tuesday, May 23, 2006

JAMAN RENAISSANCE (ABAD XV-XVI)

JAMAN RENAISSANCE (ABAD XV-XVI)

Renaissance berarti “lahir kembali”. Pengertian riilnya adalah manusia mulai memiliki kesadaran-kesadaran baru yang mengedepankan nilai dan keluhuran manusia. Suasana dan budaya berpikirnya memang melukiskan “kembali” kepada semangat awali, yaitu semangat filsafat Yunani kuno yang mengedepankan penghargaan terhadap kodrat manusia itu sendiri.

Jaman ini lebih merupakan gerakan kebudayaan daripada aliran filsafat. Keluhuran dan kehebatan manusia tampak dalam ungkapan-ungkapan seni hasil karya manusia.

Politik tidak lagi dipikirkan dalam kaitannya dengan iman dan agama, tetapi dengan politik itu sendiri, sebab politik mempunyai etika dan moralnya sendiri. Etika politk adalah etika kekuasaan, artinya tunduk pada pertimbangan-pertimbangan kestabilan dan keselamatan negara, bangsa, pemerintahan dan kekuasaan.

Bila abad pertengahan memegang teguh konsep ilmu pengetahuan sebagai rangkaian argumentasi, jaman renaissance merombaknya dengan paham baru, yaitu bahwa ilmu pengetahuan itu adalah soal eksperimentasi. Pembuktian kebenaran bukan lagi pembuktian argumentatif-spekulatif, melainkan eksperimental-matematis-kalkulatif.

Tokoh-tokohnya antara lai: Galileo Galilei, Hobbes, Newton, Bacon.

Boleh disimpulkan bahwa jaman renaissance adalah jaman pendobrakan manusia untuk setia dan konstan dengan jati dirinya. Jaman ini sekaligus menggulirkan semangat baru yang menghebohkan, terutama dalam hubungannya dengan karya seni, ilmu pengetahuan, sastra dan aneka kreativitas manusia yang lain. Di sini filsafat memegang fungsinya yang baru yaitu meletakkan dasar-dasar bangunan pengembangan aneka ilmu alam/ pasti yang merintis hadirnya tekhnologi-tekhnologi seperti yang kita nikmati sekarang ini.

Monday, May 22, 2006

ABAD PERTENGAHAN: ABAD PERKAWINAN FILSAFAT DAN TEOLOGI

ABAD PERTENGAHAN: ABAD PERKAWINAN FILSAFAT DAN TEOLOGI

Tugas filsafat pada abad ini mensistematisasikan iman secara rasional. Filsafat dianggap preambulum fidei et ancilla theologiae. Pada abad pertengahan ini terjadi pula pembelaan iman yang kelewat batas. Iman di atas segala-galanya. Iman ini adalah jaman inkuisisi: pengadilan iman yang secara tegas membela kebenaran iman, karenanya setiap penyimpangan adalah kesesatan yang harus dihukum.

Nilai-nilai manusia dipikirkan dalam kaitannya dengan iman. Kepenuhan hidup manusia berada pada kutub keilahian. Hal ini bisa kita lihat dalam teologinya Thomas Aquinas. Teologinya memiliki warna filosofis, demikian pula sebaliknya.
Jaman ini adalah jaman kejayaan perkawinan antara filsafat dan iman di satu pihak, dan radikalisme pembelaan kemurnian iman di lain pihak.

Semangat abad pertengahan dimana iman kristiani menjadi segala-galanya dalam tata hidup bersama, tampaknya semangat itulah yang terjadi sekarang di Indonesia. Bedanya adalah iman agama Islam dalam arti perjuangan penerapan syariat Islam menjadi ideologi bangsa dan negara Indonesia oleh sekelompok masyarakat. Hal ini bisa kita lihat dari perjuangan pengesahan Rancangan Undang-Undang Antipornograpi dan Antipornoaksi dan Syariat Islam di berbagai daerah seperti di Nanggroe Aceh Darussalam, Padang, Banten dan sebentar lagi di kota Depok.

Thursday, May 18, 2006

FILSAFAT DAN TEOLOGI BERTEMU

FILSAFAT DAN TEOLOGI BERTEMU

Pertemuan filsafat dan teologi terjadi pada jaman patristik. Fungsi filsafat pada jaman patristik mengalami perkembangan yang sangat penting terutama dalam hubungannya dengan iman kristiani. Jaman patristik adalah jaman inkulturasi iman dalam konteks kehidupan budi manusia. Di sini iman mendapat warna baru, mendapat pembahasan secara filosofis. Pendek kata, pergumulan filsafat menjadi pergumulan iman.

Agustinus merupakan salah satu sosok terkenal yang memiliki jaman ini dan sekaligus menampilkan pengembaraan diri sebagai seorang manusia yang haus dan rindu akan Tuhannya. Dia pulalah yang secara menyolok melakukan interpretasi dan pembahasan iman yang menyentuh dari sudut pandang filsafat. Jaman ini mengubah pergumulan filsafat dari aneka urusan penghayatan iman politeistis kepada penghayatan iman kristiani yang monoteistis. Sejak jaman patristik, filsafat tidak lagi bersoal jawab mengenai aneka macam-macam tuhan, melainkan berurusan dengan pribadi yang Satu, yaitu Allah yang mencintai umat manusia.

Wednesday, May 17, 2006

FILSAFAT SEBAGAI PEMAKNAAN HIDUP

FILSAFAT SEBAGAI PEMAKNAAN HIDUP

Plato dan Aristoteles mengikuti jejak gurunya, Sokrates. Keduanya menganggap filsafat untuk kehidupan manusia yang lebih baik, jujur, adil dan manusiawi. Baik Plato maupun Aristoteles memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang kurang lebih lengkap. Filsafat membuat hidup manusia bermakna, bukan hanya secara pribadi dalam studi; melainkan juga dalam hubungannya dengan hidup bersama.

Bagi Plato, orang yang telah belajar filsafat adalah orang yang telah “keluar” dari kegelapan gua dan melihat “cahaya”. Maksudnya, filsuf ialah seorang pribadi yang karena “diterangi” cahaya matahari pengetahuan kebijaksanaan, mampu membeda-bedakan segala sesuatu secara jelas dan benar dalam hidup. Sementara orang yang tak belajar filsafat, menurut Plato, bagaikan orang yang tinggal dalam gua, tinggal dalam kegelapan ketidaktahuan yang menyesatkan. Karena dia tidak mampu membedakan mana yang baik dari yang tidak baik; yang benar dari yang tidak benar. Penjelasan analogal Plato ini menentukan tesis filosofisnya mengenai hidup bersama, yaitu bahwa hanya filsuflah yang pada akhirnya pantas menjadi raja atau memimpin. Dalam Plato, fungsi filsafat menemukan artinya di dini, dalam penerapannya dalam tata hidup bersama.

Sedangkan Aristoteles memikirkan filsafat secara lebih luas dalam konteks hidup manusia yang kompleks ini. Baginya, filsafat adalah bagian dari kehidupan manusia. “Manusia dari kodratnya ialah makhluk yang ingin mengetahui”, tegasnya pembukaan buku Metaphisics. Artinya, manusia senantiasa, memiliki kodrat mengetahui, berpikir, belajar dan berfilsafat. Kodrat manusia sebagai makhluk yang “belajar” menurutnya terarah kepada penggapaian pada apa yang diidam-idamkan, yaitu kebahagiaan. Dia juga mengatakan bahwa tiada hidup yang paling manusiawi selain hidup belajar. Belajar memiliki keluhuran dan martabat sendiri dan sekaligus menawarkan kebahagiaan yang tiada tara. Baginya, filsafat menjangkau secara luas ilmu-ilmu alam, politik, etika, puisi, metafisika dan seteruanya. Fungsi filsafat lantas menyentuh setiap bidang kesibukan manusia dalam hidupnya.

PANDANGAN ARISTOTELES TENTANG MANUSIA DAN ETIKA

PANDANGAN ARISTOTELES TENTANG MANUSIA

Berbeda dengan Plato, Aristoteles mengajarkan bahwa tak ada pemisahan antara jiwa-badan; yang ada hanyalah perbedaan. Baginya jiwa adalah frma badan. Jiwa adalah unsur hidup badan dan terikat padanya. Hal ini berarti jiwa terjadi dan lenyap bersama badan. Dalam diri manusia terdapat unsur jiwa vegetatif, animal dan rasional. Unsur terakhir (jiwa rasional)inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk hidup yang lain. Jiwa rasional (roh, intelek) adalah organ pengenalan yang benar yaitu pengenalan akan pengertian-pengerian umum, yang abadi dan tak berubah. Jiwa rasional juga memiliki sifat ilahi. Ini menunjukkan bahwa manusia ternyata tidak hanya mampu untuk masuk dalam lingkungan insani saja, tetapi juga mampu pula masuk ke dalam lingkup ilahi.

ETIKA ARISTOTELES
Etika Aristoteles adalah melulu rasional. Tingkah laku yang dipimpin oleh rasio, pertama-tama bukanlah terarah pada keinginan untuk bahagia, melainkan terarah pada yang baik.

Monday, May 15, 2006

KONSEP TUHAN MENURUT ARISTOTELES

KONSEP TUHAN MENURUT ARISTOTELES

Menurut Aristoteles, dalam proses perubahan yang bergerak dari materi menuju forma, mengandaikan adanya forma terakhir yang tidak dapat “dikeruhkan” lagi dengan materi (tidak dapat menjadi materi yang baru). Inilah forma terakhir (actus purus). Kalau demikian halnya, maka harus ada pula penggerak pertama yang tidak digerakkan. Penggerak pertama itu adalah forma yang tak bermateri; tujuan tertinggi yang menyebabkan semua gerak.

Boleh disimpulkan bahwa seluruh kenyataan bergerak antara dua kutub abstrak yaitu materi yang tak berbentuk dan forma yang tak bermateri. Di sinilah kita dapat menyebutnya Tuhan. Tuhan ini tidak bermateri, hanya kenyataan atau realitas saja. Ia juga roh murni (nous); pikiran semata. Ia tidak dapat memikirkan dunia; hanya memikirkan dirinya sendiri. Dan ia puas dengan dirinya sendiri, tidak memiliki hubungan sama sekali dengan dunia. Aristoteles sama sekali tidak mengenal Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Tuhannya adalah Tuhan para filsuf dan bukan Tuhannya Abraham, dan sebagainya.

POKOK-POKOK AJARAN ARISTOTELES

POKOK-POKOK AJARAN ARISTOTELES

(1) Perubahan dan Kenyataan

Baginya, ajaran Plato tentang ide dari Plato tidaklah jelas, sebab ide-ide yang tidak berubah itu tak pernah dapat menjadi prinsip perubahan. Padahal seluruh kenyataan senantiasa berubah. Maka menurutnya, yang pertama-tama harus kita ketahui adalah mengetahui segala yang berubah dalam realitas. Karena itu baginya, tugas filsafat adalah merinci sifat-sifat dari segala yang ada, prinsip-prinsip dan sebab-sebab pertama (substansia). Tiap ada adalah ada yang konkrit yang dapat diterapkan dalam kategori-kategori (10 kategori/ accidentia).

Kesalahan Plato dalam hal ini adalah bahwa ide yang umum dipisahkan dari yang individual. Dualisme semacam ini ditentang Aristoteles. Dalam hal ini dia hanya mengakui satu realitas saja, yaitu hal-hal yang individual. Dalam hal yang individual itu tercantum yang umum dan tidak pernah lepas di atasnya. Semua yang ada mengambil bagian dari yang ada, tanpa yang ada tiada!

Lalu sekarang, bagaimana perubahan itu terjadi? Bagi Aristoteles, perubahan bisa terjadi dari dalam (benih menjadi pohon), dari luar (hasil karya seniman) dan perubahan tempat (dari sini ke sana). Dari sini dia sebenarnya baru menjelaskan permulaan dan akhir, tetapi belum menjelaskan hakekat dari perubahan itu sendiri.

Benih tentu berbeda dari tumbuhan, tetapi bagaimanapun juga tumbuhan berasal dari benih. Melihat kenyataan ini, dalam momen-momen perkembangan harus ada sesuatu yang terdapat baik dalam benih maupun tumbuhan. Sesuatu itulah yang mendasari perkembangan. Dia disebut bahan yang tidak tertentu, bahan pertama (materia prima). Dari penjelasan ini, Aristoteles selanjutnya mencoba kaitan antara materia dan forma. Baik materia maupun forma tak dapat berdiri sendiri dan keduanya kekal pada dirinya. Materia adalah kemungkinan (potensia) bagi pembentukan (forma/ actus). Dengan demikian, seluruh realitas adalah aktualisasi dari forma dalam materia. Tiap ada yang terbentuk adalah titik permulaan bagi perkembangan baru. Dengan demikian, Aristoteles telah menemukan dua faktor untuk menerangkan realitas.

...bersambung

Friday, May 12, 2006

ARISTOTELES

ARISTOTELES

Berbeda dengan Plato yang adalah idealis dalam arti onyektif (ide-ide tergantung pada pemikiran dan pengenalan insani), Aristoteles bertolak dari kenyataan yang konkrit, realistis dan konsekwen (secara riil dan material). Perubahan dan yang tetap haruslah dicari dalam “yang ada” sungguh. Dan bagi Aristoteles dunia ini menunjuk pada tujuan yang melampaui dirinya sendiri (mirip Plato), bentuk tertinggi dan sempurna, penggerak yang tidak digerakkan. Itulah “yang tetap”, dasar yang berubah (substansia). Sedangkan yang senantiasa “berubah” adalah accidentia; adanya hanya kebetulan saja (hanya embel-embel saja).

Namun demikian, Aristoteles juga memberikan kritik yang cukup tajam terhadap Plato: bahwa ide-ide itu tak mungkin dapat berfungsi sebagai prinsip-prinsip penjelasan dari kenyataan konkrit. Bagaimana mungkin hal-hal yang konkrit ini bisa mengambil bagian pada ide-ide tertentu? Sebab untuk itu harus ada lagi dunia ide-ide yang lebih tinggi untuk dapat dijadikan sebagai ukuran benar atau tidaknya pengambilbagianan itu.

Sebagai ilmuwa, dia bertolak dari pengamatan dan berusaha menjelaskannya dengan penyelidikan-penyelidikan biologis. Untuk menjelaskan alam semesta, ia menggunakan metode induktif (bertolak dari gejala-gejala konkrit untuk sampai pada prinsip-pinsip umum). Karena itu filsafatnya sangat berhubungan erat dengan ilmu-ilmu pengetahuannya.

Wednesday, May 10, 2006

PLATO (sambungan)

04. Pengetahuan

Sesuai dengan ajarannya tentang dunia idea, jiwa manusia pada mulanya ada di dunia idea. Ketika masuk ke dalam badan, jiwa bertemu/ menginderai benda/ dunia. Jiwa yang sudah melihat semua yang ada di dunia idea lalu mengingat kembali (minesis). Dengan demikian pengetahuan adalah kemampuan untuk mengingat kembali.

Tingkatan pengetahuan tergantung dari sejauh mana jiwa terbenam dalam badan. Pengetahuan melalui indera hanyalah “pendapat” (doxa) dan hal ini bukanlah pengetahuan yang benar.
Sebab pengetahuan yang benar hanya bisa dicapai oleh “intelek” dan obyeknya adalah idea (universal). Pengetahuan yang benar disebut “episteme”. Ada 3 pengetahuan: episteme, matematika dan dosa.

Pengetahuan sebagai eros.

Dalam pengetahuan, Plato tidak hanya bermaksud untuk mencari pengertian-pengertian saja, tetapi juga ingin mencapai Sang Baik, Sang Indah. Jalan untuk mencapainya adalah melalui eros. Ada tingkatan dalam eros dan tingkatan ini ditentukan oleh sejauh mana terbenamnya jida dalam badan, yaitu dari cinta kepada benda. Jiwa manusia bisa sampai pada cinta akan Sang Indah. Tetapi untuk dapat mencapai Sang Indah dan Sang Baik, jiwa harus mengalami reinkarnasi dan perputaran sampai jiwa dimurnikan dan kembali ke dunia idea (karena jiwa dihukum badan).

05. Etika dan Politik
Dalam etikanya, Plato menggambarkan manusia sebagai kereta yang ditarik 4 kuda: yang 2 itu baik dan penurut, sedangkan 2 yang lain liar dan ingin menyeleweng. Di sini tugas jiwa adalah sebagai sais/ pengendali yang harus mengendalikan kuda-kuda itu agar tetap berjalan terarah dan teratur.

Dalam diri manusia terdapat 3 daya, seturut terbenamnya jiwa dalam badan, yaitu: daya nafsu rendah-naluriah, daya semangat dan daya intelek. Jika manusia ingin hidup dengan keteraturan (taxis) maka daya yang lebih rendah harus diatur oleh daya lebih atas. Karena irulogos, ratio dan intelek memainkan peranan yang penting dalam etika Plato. Sebab ketiganya mengatur tingkah laku manusia sesuai dengan kodrat alam dan kodrat manusia.

PLATO (sambungan)

PLATO (sambungan)

03. Dunia Idea

Di dalam teorinya “dunia idea”, Plato menerangkan bagaimana hubungan antara idea universal dengan ada yang berubah-ubah. Hal ini diterangkannya dengan menunjukkan bahwa dari segi ada, realitas bisa digambarkan dengan dua dunia, yaitu: dunia ada yang sungguh, dan dunia ada yang berubah-ubah. Dalam diri manusia, dunia ada yang sungguh ini berada di dalam budinya, sedangkan dunia ada yang berubah-ubah berada di dalam inderanya.

Mengenai hubungan anatara dua dunia itu, dia mengatakan: ens yang ada di dunia ide merupakan model dari ens-ens yang ada di dunia kita. Tetapi ens yang ada di dunia kita tidaklah bisa persis sama dengan modelnya (ada manusia gemuk, kurus dan sebagainya; meskipun berbeda, tetapi tetap dikatakan bahwa mereka adalah manusia. Dan yang bisa menentukan apakah benda-benda itu sama/ mirip dengan modelnya adalah budi manusia.

Ada di dunia kita ini mengambil bagian dari ada di dunia idea. Dunia kita ada karena dunia kita mengambil bagian dari dunia yang tetap ada dan mutlak. Manusia disebut manusia karena “ada manusia” di dunia kita mengambil bentuk serupa dengan “ada manusia” yang ada di dunia idea.

Adanya perbedaan-perbedaan di antara manusia disebabkab oleh:
· ada manusia hanya mengambil bagian dari suatu partisipasi dari ada yang tetap dan mutlak. Sehingga ada yang di dunia kita tidak sempurna.
· dalam dunia kita, manusia adalah aktor sejauh interpretasi dari si aktor itu. Sedangkan aktor sesungguhnya hanya ada dalam dunia idea. Tetapi pada dasarnya, mereka tetap sama, yaitu memerankan yang satu dan sama.

Tampaknya ada kebingungan dalam diri Plato: apakah semua benda di dunia ini ada ideanya di dunia idea? Dalam tulisannya, Plato tidak menjelaskan hal ini. Ia lebih menekankan bahwa dunia idea diisi dengan kategori-kategori universal: yang baik, yang indah, yang sama, yang berlawanan dan sebagainya.

Dia selanjutnya mengatakan bahwa ada tingkat realitas ada di dunia idea dan mengatasi semua yang ada di dunia idea yaitu “Sang Baik”. Dari sinilah kemudian muncul yang indah dan sebagainya, lalu muncul benda-benda yang ada di dunia ini sebagai model dari dunai idea.

Tuesday, May 09, 2006

PLATO (sambungan)

PLATO (sambungan)

02. Yang Benar

Yang logis adalah sesuainya suatu pernyataan dengan apa yang dinyatakan, sesuainya kata dengan yang dinyatakan, tidak peduli apakah yang dikatakan itu ada atau tidak, yang penting cocok dengan apa yang dimaksud. Sedangkan ontologis adalah ens est, non est non est”, berbicara tentang ada, “sesuatu yang ada itu ada, sesuatu yang tidak ada, ya tidak ada”

Contoh: kerbau mempunyai tanduk (kebenaran logis). Karena di sini tidak ada kerbai, maka secara ontologis tidak benar.

Tentang ada itu sendiri dibedakan: antara ada yang sempurna dan ada yang kurang sempurna. Hal ini didasarkan dari pengamatannya terhadap kenyataan sehari-hari dimana dia melihat banyak hal yang aneh; karena apa yang ada sekarang ini, besok belum tentu ada atau sebaliknya.

Dari pengamatannya akan hal-hal yang senantiasa berubah ini, ternyata dari segi ontologis menimbulkan masalah. Karena itu menurutnya kalau sesuatu itu ada, ....yang harus ada terus; kalau tak ada, ya tak ada. Lalu ada yang dalam relaitas semacam ini, ada macam apa?

Dalam hal ini jalan yang ditawarkannya ialah bahwa ada yang sesuai dengan prinsip ontologis: ada sempurna, ada yang senantiasa tetap. Lalu ada yang tidak sesuai dengan prinsip onotologis berarti ada yang kurang sempurna; ada yang selalu berubah.

Ada yang kurang sempurna dapat kita temukan dalam penangkapan indera kita, karena yang kita inderai inilah yang senantiasa menampakkan perubahan. Dan penilaian manusia atas apa yang diinderainya tidaklah sama (meskipun yang diinderai adalah benda yang sama), sebab penilaian manusia sifatnya obyektif. Sehingga Plato mengatakan bahwa apa yang kita inderai sebenarnya tidak menampakkan kebenaran karena ternyata penginderaan tidak memberikan nilai kebenaran. Bagi Plato yang benar adalah pengertian-pengertian kita (idea) yang sifatnya adalah universal.

Contoh: pengertian tentang meja sebenarnya sama dengan meja itu sendiri; dimana-mana pengertian orang tentang meja adalah sama. Jadi pengertian ini sifatnya universal.

Pengertian universal inilah yang menunjukkan kebenaran karena pengertian ini senantiasa tetap. Inilah yang sempurna. Pertanyaannya sekarang: darimana datangnya ide apriori? Karena dari penginderaan yang kita temui adalah ada yang tidak sempurna. Mengenai hal ini, Plato mencoba menjelaskannya melalui teori dunia idea.

................03. Dunia Ide

Monday, May 08, 2006

PLATO (428-349 A.D)

Sebagai murid Sokrates ia melanjutkan apa yang sudah diajarkan gurunya. Karena itu sulit dibedakan kapan ia membuat sistemnya sendiri dan kapan ia menggunakan ajaran gurunya.

Pokok-pokok Ajarannya
(1) Yang Baik

Dalam mengemukakan ajarannya ini, ia berbeda dengan Sokrates. Bagi Sokrates, manusia akan menjadi orang baik kalau ia mempunyai 3 unsur yaitu konkrit dan realistis. Tetapi bagi Plato ketiga unsur tersebut belumlah cukup apabila tidak disertai dengan unsur pengetahuan. Pengetahuan ini adalah sesuatu yang ada di luar manusia, yang harus dikejarnya. Meskipun demikian, Plato juga melanjutkan apa yang telah diajarkan Sokrates, yaitu bahwa yang baik ditentukan oleh tujuannya. Tujuan inilah yang membuat apakah perbuatan manusia itu baik atau tidak. Dan sekarang apa yang menjadi tujuan manusia?
Manusia harus berusaha mencapai suatu ada yang merupakan dasar metafisis dari semua ada (melanjutkan Sokrates). Karena itu menurut Plato, kebaikan harus tertuju pada ada yang merupakan dasar dari ada manusia, supaya ada manusia yang sesuai dengan ada yang tertinggi. Dan untuk mencapai “Sang Ada” ini perlu adanya usaha untuk mengendalikan nafsu-nafsu. Selanjutnya dia menjelaskan, di samping “Sang Ada” ternyata ada juga realitas yang lain yaitu “ada yang jahat” yang dapat mengganggu budi manusia menuju “Sang Ada”. “Yang jahat” ini hampir sejajar dengan “yang baik”.

............(2) Yang Benar

Thursday, May 04, 2006

ETIKA SOKRATES

ETIKA SOKRATES

Dalam etikanya, Sokrates berusaha mencari yang baik, kebajikan (arete) dan kebahagiaan (=eudaimonia) dengan menggunakan metode maieutisnya.

Yang baik menurutnya bukanlah kebaikan yang relatif, tapi yang mendasar (=agatho). Yang baik bukan pula yang berguna, bukan yang menyenangkan nafsu dan bukan pula kekuasaan. Tetapi orang-orang yang sungguh tahu (arete) bahwa ia adalah manusia. Orang yang demikian ini akan bertindak terhadap sesamanya sebagai manusia sejauh ia mampu. Dan untuk mencapai kebaikan ini dibutuhkan pengendalian diri sendri(eukratia). Dengan demikian kebaikan dan kebahagiaan sesungguhnya terletak pada kebajikan:”seseorang yang berpengetahuan yang mendalam adalah bijaksana, yang bijaksana adalah baik”. Berpengetahuan yang dimaksud di sini erat hubungannya dengan kebajikan.

Arete yaitu tahu dan mampu pada bidangnya masing-masing. Artinya tahu seluk-beluk bidang pekerjaannya, bisa mengerjakan dengan betulbetul mengerjakan. Jadi tidak hanya tahu secara konseptual saja tetapi juga secara praktis-teoritis dalam pelaksanaannya serta ada kemampuan untuk melakukannya. Dan kalau orang-orang sungguh-sungguh memeiliki arete, ia tak akan membuat suatu kekeliruan/ kejahatan. Dan pada akhirnya nanti manusia yang bijak karena arete akan mencapai kebahagiaan (eudaimonia).

Dengan demikian, pada etika Sokrates ada nilai konkrit akan kebaikan yang bisa dicapai oleh manusia. Dan kebaikan itu adalah suatu kebaikan yang bersifat umum-universal. Karena itu, etika bukanlah suatu yang relatif karena semuanya menuju pada agathon yang bersifat universal.

Kritik atas etika Sokrates.
Di dalam etikanya kita tidak bisa menemukan suatu prinsip/ pandangan umum untuk seluruh etika karena kurang sistematis. Yang kita ketahui hanyalah yang ditulis oleh Plato, sehingga yang tidak ditulis, kita tidak tahu. Maka karena sifatnya yang relais-konkrit-praktis, kita tidak bisa mereka-reka untuk masalah etis yang lain (yang tidak ditulis Plato). Karenanya, etika Sokrates juga tidak bersifat intelektualis (konseptualis-teoritis). Sedangkan etika Aristoteles-Thomas Aquinas telah membuat penalaran yang lengkap untuk bisa diterapkan pada semua kasus, tetapi kerap kurang praktis, konkrit dan situasional, sehingga kadang sulit diterapkan.

SOKRATES DAN METODE BERFILSAFATNYA

SOKRATES DAN METODE BERFILSAFATNYA

Sokrates sebanarnya belum merupakan filosof dalam artian membuat sistem karena dia memang tak pernah menulis sesuatu. Dia mengajar dengan meniru para sophis walaupun sebenarnya dia banyak menentang ajaran mereka.

Metode filsafat Sokrates terkenal dengan metode maieutis atau disebut dengan metode dialektis. Metode ini mencoba menemukan kebenaran dengan mencarinya dari diri sendiri. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang memburu ia mencari ciri-ciri persamaan yang ada pada hal-hal yang berbeda. Dengan pertanyaan yang “memburu”, Sokrates ingin mencari ciri pokok yang sama dari hal-hal yang berbeda. Ciri pokok inilah yang pada akhirnya dipakai sebagai definisi akhir.

Dengan demikian ia berusaha mencari ciri yang umum yang dapat mendasari suatu ungkapan atau pengertian. Karena itu dalam berpikir, Sokrates berpikir dengan mengambil ciri umum. Sehingga ditemukan kebenaran yang berlaku umum dan kalau berlaku umum berarti kebenaran bukanlah suatu hal yang relatif. (Sumber: dari bahan-bahan kuliah filsafat, Armada Ryanto CM, dosen STFT Widya Sasana Malang).

Wednesday, May 03, 2006

FILSAFAT DAN KAUM SOPHIS

FILSAFAT DAN KAUM SOPHIS

Sophis (sufi) pertama-tama adalah seorang yang punya keahlian dalam bidang tertentu, seorang bijaksana. Tetapi di kemudian hari, sufi dikaitkan dengan seorang yang menipu orang lain dengan memakai argumentasi-argumentasi yang tidak sah. Mereka juga dikritik karena meminta uang untuk pengajaran yang mereka berikan.

Para sophis sebanrnya mencoba mengarahkan manusia pada suatu arahan baru, yaitu membina kaum muda (latihan berpidato) ke arah sukses di tengah pancaroba politik.

Kemunculan mereka dikarenakan:
(1) Perubahan sosial politik dan ekonomi yang terjadi di Athena. Situasi tersebut membuat Athena menjadi pusat kebudayaan dan intelektual.
(2) Dalam situasi semacam itu, di seluruh Yunani dibutuhkan pendidikan yang mampu mendidik dan membina penganut muda agar dapat memainkan perannya dalam kehidupan berpolitik. Dalam hal ini dipenuhi oleh para sophis dengan mengajarkan matematika, astronomi dan lebih-lebih kemampuan berbahasa (dasar retorika). Sebab kepandaian dalam berbicara akan membuat seseorang mampu memperoleh kedudukan karena dianggap sebagai orang yang vokal yang mampu memimpin, meskipun yang dikatakannya keliru.
(3) Selain itu, perubahan yang terjadi juga melibatkan munculnya ketidakadilan dalam bidang pemerintahan sehingga perhatian orang tertuju pada suatu cara untuk menjamin kehidupannya. Di nilah para sophis kemudian menjual semacam jasa konsultasi untuk melatih orang dalam berbicara.

Ciri-ciri pokok ajaran mereka adalah sebagai berikut:
· sinis, artinya tidak percaya akan adanya suatu yang mutlak, semuanya dinilai secara relatif. Hal ini terutama terjadi dalam bidang etis.
· skeptis, artinya tak percaya akan adanya kebenaran. Sebab yang penting adalah bagaimana cara agar kita mencapai kekuasaan. Karenanya, selama kita masih berkuasa, kita harus menggunakannya dengan sebaik-baiknya.
· relatif, artinya tidak menggunakan prinsip-prinsip yang tetap, kalau ada kesempatan, pergunakanlah sebaik-baiknya demi kepentingan hidup.

Sumber: bahan-bahan kuliah filsafat STFT Widya Sasana Malang.